Menurut informasi lisan, setidaknya sejak era 1960-an, di Jakarta sudah dijumpai penjual soto Lamongan (baca: ini). Yang  lebih dulu terkenal adalah soto ayam, baru kemudian ditambah varian soto daging. Para penjual soto merantau ke Jakarta untuk mengubah nasib.Â
Pada era itu, banyak warga yang hidup dalam kemiskinan karena keterbatasan lahan pertanian. Banyak dari mereka yang berprofesi menjadi buruh tani atau petani penggarap berlahan sempit. Harapannya, dengan berjualan soto di ibukota mereka bisa mendapatkan kehidupan yang lebih baik.
Pada era 1970-an para penjual soto Lamongan di Jakarta dan kawasan sekitarnya mulai memperkenalkan menu pecel lele di warung mereka (baca: ini).Â
Pecel lele adalah menu lele goreng yang dilengkapi dengan sambal dan mentimun. Perpaduan gurihnya daging lele dan pedas sambal menjadikan menu ini sangat digemari oleh para konsumen. Â
Itulah mengapa, soto Lamongan biasanya selalu dilengkapi dengan pecel lele. Meskipun di wilayah tertentu, terdapat semacam pantangan untuk tidak makan lele karena mitos tertentu (baca: ini), berjualan pecel lele, nyatanya, memberikan rezeki berlimpah bagi banyak perantau dari Lamongan.
Tidak hanya di Jakarta, tetapi juga di kota lain seperti Yogyakarta, Bogor, Bandung, Semarang, Surabaya, dan bahkan di beberapa kota di luar Pulau Jawa, menu soto dan pecel lele bisa kita jumpai.Â
Kedua menu tersebut menjadi penanda  keberadaan para perantau-pedagang asal Lamongan yang memperjuangkan nasib mereka agar menjadi lebih baik.
Di desa tempat saya dilahirkan, Desa Karangsambigalih, Kecamatan Sugio, Lamongan, baru pada era 1980-an, beberapa warga dusun memutuskan merantau ke Jakarta untuk berjualan soto dan pecel lele.Â
Sama dengan alasan para penjual soto lainnya, sempitnya lahan pertanian dan terbatasnya pekerjaan menjadikan mereka pergi ke Jakarta.
Keberhasilan para penjual soto tersebut segera menjadi perbincangan di antara warga. Banyak warga pada era 1990-an awal memutuskan untuk ikut bermigrasi ke Jakarta: menjadi penjual soto dan pecel lele.Â