Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Masa Lalu dalam (Cerita) Masa Kini: Poskolonialisme dan Tantangan-tantangannya dalam Kapitalisme Global (1)

30 Oktober 2021   09:10 Diperbarui: 30 Oktober 2021   11:38 866
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi-politik neoliberalisme semakin menyuburkan neokolonialisme di negara-negara pascakolonial.  Pasar memang telah melahirkan apa yang disebut oleh Hardt dan Negri (dikutip Venn, 2006: 136) sebagai kekaisaran baru yang dalam formasi diskursifnya bersifat cair dengan ciri-ciri:  (1) ketidakberadaan pusat kuasa dan tidak bergantung pada batasan-batasan yang tetap; (2) mendesentralisasi dan mendeteritorialisasi aparat kuasa yang secara progresif menginkorporasi dunia global dalam keterbukaan untuk memperluas garis batas; dan, (3) mengelola identitas hibrid, hirarki yang lentur, dan pertukaran beragam melalui aturan berjejaring. Artinya, neokolonialisme sebagai kekaisaran baru bisa mentransformasi kedirian mereka, baik sebagai institusi, person, mekanisme, maupun ideologi, ke dalam ruang-ruang nasional maupun lokal sebuah negara yang secara psikis masyarakatnya juga masih menyimpan dan mendambakan endapan-endapan kemakmuran dan kesejahteraan di tengah-tengah poskolonialitas kultural mereka. 

Kritik-kritik di atas merupakan peringatan akademis kepada para pemikir poskolonial agar tidak hanya bisa melarutkan diri dalam politik keberantaraan yang dibayangkan produkti dan inovatif tanpa menghiraukan fakta masih kuatnya dominasi negara-negara maju. Namun, ketika produk representasional dan praktik kultural sehari-hari diabaikan, tentu saja, kurang tepat. Menurut saya, pengabaian terhadap praktik representasi dan kehidupan sehari-hari yang merupakan medan sesungguhnya bagi beroperasinya praktik hegemoni yang seolah-olah tidak menampakkan relasi kuasa sama halnya dengan mengabaikan relasi kuasa itu sendiri. 

Kajian poskolonial, paling tidak, memberikan sebuah piranti yang bisa dimodifikasi dan dikombinasikan dengan kajian-kajian lainnya, seperti ekonomi-politik, dengan menggunakan makna dan wacana poskolonialitas dalam struktur naratif dan aktivitas kultural sebagai fokus analisis untuk bisa membuka praktik yang dipenuhi prinsip inkorporasi-artikulasi-negosiasi sebagai usaha membangun relasi kuasa-hegemonik. Dari situlah kita bisa melihat, betapa budaya poskolonial yang diproduksi dalam representasi dan peristiwa kultural sebagai bagian dari ideologi atau kepentingan dominan, tidak bisa lagi dilihat sebagai sebuah siasat dan subversi terhadap kekuatan dan ideologi dominan, karena ia telah diinkorporasi dan diartikulasikan dalam bentuk pengetahuan yang “disesuaikan” dengan kepentingan ideologis tersebut.

Berdasarkan pertimbangan di atas, tulisan ini, pertama-tama akan mengelaborasi pemikiran poskolonial Bhabha dalam buku The Location of Culture (1994) yang menjadi pijakan banyak pemikir di ruang akademis metropole ataupun di ruang negara-negara pascakolonial. Argumen dasar buku tersebut, sebagaimana saya ungkapkan di atas adalah politik “melampaui” di mana subjek pascakolonial sebenarnya memiliki kemampuan untuk menghasilkan strategi subjektivitas dan karya kultural dinamis. Beberapa konsep turunan dari konsep melampaui seperti in-betweenness, mimicry/mockery, hybridity,  akan saya paparkan. Fase kedua saya akan memaparkan tantangan-tantangan poskolonialisme di tengan berkembang pesatnya kekaisaran baru yang semakin lentur dan mampu merangkul kekuatan-kekuatan resisten ke dalam medan kuasanya. Tidak lupa, saya juga menyematkan kritik terhadap poskolonialisme Bhabha. Hal itu untuk menegaskan bahwa masih terbuka kemungkinan untuk mengembangkan teori ini dengan menimbang kondisi kontekstual.

Konsep “Melampaui” dan Produktivitas Teoretisnya

Melalui konsep “melampaui” Bhabha berusaha membongkar sekaligus mengganggu keutuhan pengetahuan kultural yang dituliskan dan diwacanakan dalam formasi biner--Barat beradab/superior, Timur tak beradab/inferior--sebagai fondasi keberlangsungan kekuasaan kolonial, serta transformasinya di masa kolonial pascakolonial. Kecintaannya kepada pemikiran kritis Neo-Marxisme dan pascastrukturalisme mendorongnya untuk mengembangkan “dua kesadaran”, teoretis dan historis. Kesadaran teoretis menegaskan bahwa bahwa memang benar ia menggunakan teori wacana/pengetahuan/kuasa Foucault, psikoanalisis Lacan, dan dekonstruksi Derrida yang banyak mendiskusikan persoalan pembentukan “subjek”, dalam artian individu/manusia, wacana/pengetahuan, dan budaya dalam latar metropolitan Barat. 

Dalam wawancaranya dengan Mitchell (1995) dan Anfeng (2009) Bhabha menyatakan bahwa ia menyerap pemikiran Foucult terkait pembentukan dan enunsiasi wacana, khususnya tentang teknik-teknik yang berlangsung di antara kebutuhan diskursif untuk membentuk kode sistemik dan kebutuhan bermacam tindakan diskursif untuk mengganti dan memperbarui kode tersebut. Hal itu terkait dengan konsep wacana yang mejadi bagian integral kuasa, tetapi selalu memunculkan resistensi.

Menurutnya, konsep-konsep tersebut menyisakan ruang untuk memikirkan persoalan ambivalensi, agensi, dan enunsiasi subjek dalam ruang kolonial/pascakolonial sekaligus melakukan resistensi terhadap kekuasaan. Dari Lacan, Bhabha menggunakan konsep subjek yang bisa menjadi subjek hanya melalui hubungan yang bersifat bergantung, hubungan sekunderisasi melalui modifikasi, melalui apa yang disebut “liyan”. Subjek selalu dibentuk melalui contoh yang kabur dan penuh teka-teki. Subjek dibentuk tidak sebagai person secara total, bukan totalitas, bukan pula individual, tetapi sebagai rangkaian hubungan metonimik, sebuah jejaring. 

Dalam tulisan kolonial, subjek terjajah selalu dituliskan sebagai subjek yang bergantung, bersifat sekunder terhadap hegemoni pemikiran barat atau Eropasentrisme. Bagi, Bhabha apa yang menarik dari pemikiran tersebut adalah hubungan tersebut bisa memunculkan kesadaran dari subjek terjajah untuk mendekonstruksi Eropasentrisme yang bersanding dengan kolonialisme. Sementara, dari Derrida, ia banyak menggunakan konsep penundaan dan pengalihan dalam teks. Menurutnya, jika proses penundaan diterima, berarti kita menerima pula bahwa pada titik tertentu terdapat akhir yang bergantung, yang melampaui determinasi epistemologis serta sekaligus mendekonstruksi wacana dan budaya yang menghegemoni subjek terjajah.

Namun, misi akademis sebagai manusia India pascakolonial yang mengalami kompleksitas kultural di negerinya maupun di metropolitan mendorongnya untuk melakukan pembacaan kritis dan modifikasi untuk menemukan celah yang bisa digunakan memformulasi pemikiran-pemikiran yang “melampaui” mereka. Sementara, “kesadaran historis” menjadi tuntutan etis untuk mengoperasikan pemikiran-pemikiran tersebut ke dalam latar kolonial dan pascakolonial di mana persoalan budaya dan wacana-wacana yang mengkonstruksinya secara biner menempatkan subjek subordinat atau minoritas ke dalam struktur sosial dan politik yang tidak setara. 

Pilihan teoretis tersebut memang tidak bisa dilepaskan dari kondisi masyarakat kolonial dan pascakolonial yang hidup, berimajinasi, dan berorientasi kepada nilai dan praktik kultural yang diwarnai oleh dualitas tragis (Mbembe, 2001: 12) atau kegandaan psiko-kultural (Quayson, 2000: 16-17). Di satu sisi, masyarakat pascakolonial berusaha menatap, mengidealisasi, menyerap, dan menggunakan budaya modern karena menghadirkan aspek-aspek kemajuan hidup, dari persoalan pendidikan, politik negara, hingga ekonomi (Baxi, 2005: 540-544; Venn, 2006: 69). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun