Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Andang CY, Lirik Lagu Banyuwangian, dan Stigmatisasi Komunis

29 Oktober 2021   17:18 Diperbarui: 29 Oktober 2021   17:31 820
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada 11 Januari 2018, salah satu sastrawan dan budayawan senior Banyuwangi yang mengalami dampak stigmatisasi pasca tragedi 65, Andang Chatif Yusuf (biasa disingkat CY), meninggal dunia. 

Masyarakat dan seniman Banyuwangi berduka karena Andang CY adalah sastrawan dan penulis lirik-lirik lagu berbahasa Using yang masih digandrungi hingga saat ini seperti Kembang Galengan, Umbul-umbul Blambangan, Luk luk Lumbu, dan masih banyak lagi yang lain. Bahkan, lagu-lagu tersebut sering dimainkan oleh paduan suara dari beberapa universitas di Indonesia dan di mancanegara. 

Saya sangat beruntung pada tahu 2009 sempat berbincang dengan beliau dalam beberapa kesempatan. Fokus perbincangan tersebut berkaitan dengan proses kreatif penciptaan dan topik lagu-lagu yang ia tulis dan musiknya digarap seniman lain seperti B.S. Noerdian dan yang lain. 

Sebagai bentuk apresiasi atas dedikasi Andang CY terhadap pengembangan budaya Banyuwangi, saya sengaja mengunggah kembali tulisan hasil perbincangan tersebut di Kompasiana. 

Tujuannya sederhana, agar publik bisa memahami bagaimana proses berkesenian dan berkebudayaan seringkali harus menghadapi masalah serius ketika penguasa menggunakan kalkulasi politik dalam memahaminya.

***

Ketika stigmatisasi Genjer-genjer sebagai lagu komunis sudah dianggap menjadi rezim kebenaran oleh penguasa dan juga musuh-musuh ideologis PKI, lagu-lagu lain yang diciptakan oleh para seniman yang menjadi anggota Lekra atau simpatisannya ternyata mendapat perlakuan serupa. 

Adalah Andang C.Y., salah satu pencipta lirik lagu yang cukup terkenal di era 60-an, yang pernah merasakan kehidupan menyedihkan akibat proses stigmatisasi dan politisasi lagu-lagu yang liriknya ia ciptakan. 

Kehilangan pekerjaan sebagai guru adalah resiko politik yang harus ia tanggung setelah meletusnya G 30 S karena ia diindikasikan sebagai anggota Lekra. 

Alat untuk memperkuat justifikasi tersebut adalah lirik-lirik lagunya yang bernuansa alam, tetapi secara simbolis lebih dekat dengan persoalan kerakyatan. 

Lagu Kembang Galengan, Perawan Sunti, Luk-luk Lumbu, Kembang Pethetan, Kali Eluh, Kembang Peciring, dan yang lain, memang tidak diplesetkan oleh pihak-pihak tertentu untuk menstigmatisasinya sebagai komunis, tetapi kedekatan tematiknya dengan nasib rakyat jelata serta keterlibatannya di Lekra, menjadikan ia harus merasakan pahitnya hidup dalam penjara.

Andang adalah seniman yang tumbuh dan berkembang dari lingkungan alam dan masyarakat Banyuwangi. Kekayaan alam dan keragaman persoalan sosial rakyat di sekitarnya menjadi inspirasi penciptaan yang memperkaya makna dalam lagu-lagunya. Dengan keindahan lirik, ia berhasil menulis lirik dengan makna simbolis yang begitu mendalam. 

Kolaborasinya dengan Basir Noerdian---sebagai arranger lagunya---menghasilkan komposisi-komposisi yang begitu indah dan menyentuh. Dengan suara lirih tapi tetap energik, ia menuturkan bagaimana proses awal dalam menciptakan lirik sebagai berikut.

"Saya masih ingat ketika kecil dimandikan ibu di sumber (pancaran mata air, pen) sambil dikudang (dinyanyikan lagu daerah, pen). Itu menjadi inspirasi saya. Saya buat lirik-lirik baru yang berisi harapan seorang ibu terhadap anak-anaknya. Kalau laki-laki berjuanglah untuk nusa dan bangsa. Laki-laki dan perempuan harus bergandeng tangan untuk kehidupan bangsa ini. Ada juga lagu Kali Eluh. Itu nama sungai yang membentang dari arah Barat. Kali Eluh itu seperti semangat dari warga Banyuwangi yang tidak pernah berhenti mengalir, pantang menyerah. Makna filosofisnya seperti itu."

Penjelasan Andang tersebut menunjukkan ketiadaan korelasi langsung antara proses penciptaan yang ia jalani dengan ideologi komunis. Kekayaan metafora alam dan kenangan masa kecil ketika "dimandikan ibu" sembari dikudang, menjadi inspirasi utama penciptaan lirik-lirik lagunya. 

Di sinilah sebenarnya letak kehebatan kreatif Andang. Kekayaan metafor alam, seperti Kali Eluh diolah sedemikian rupa sehingga bisa menjadi lirik lagu yang secara filosofis menggambarkan semangat rakyat bumi Blambangan yang harus terus mengalir untuk mengisi dan menuju kehidupan yang lebih baik. Semangat patriotisme juga tidak dipahami secara dogmatis, tetapi dengan bahasa-bahasa lirik lagu yang mendayu-dayu.

Memang ada beberapa pihak dan kondisi tertentu yang mendorongnya untuk menciptakan lirik lagu yang bahasanya memang sangat indah dan penuh makna filosofis. Ia menciptakan lirik sejak 1963 dan rumahnya berdekatan dengan rumah Mohammad Arif, pencipta lagu Genjer-genjer. 

Mereka berdua sangat dekat, bahkan Andang memanggilnya Man Arif. Ia mengakui Arif ikut membentuk karakter kreatifnya. Namun, menurutnya, ibu kandungnyalah yang banyak menginspirasi proses penciptaan lirik-lirik lagunya. Andang merasakannya ketika masih kecil, tepatya ketika sang ibu ngudang dirinya dengan menembangkan lagu-lagu tertentu.

Bisa jadi, kedekatannya dengan Arif memang mempengaruhi proses penciptaan lirik-lirik lagunya yang cenderung dianggap kiri. Namun, kedekatan itu adalah kedekatan kreatif yang menjadikannya lebih dewasa dan lebih mendalam dalam menulis lirik-lirik lagu. 

Akibat kedekatan tersebut, lirik-lirik lagu yang diciptakan Andang memang lebih bermakna simbolis dan filosofis, utamanya yang terkait dengan metafor alam, seperti "kembang", yang mengungkapkan perjuangan rakyat kecil, perjuangan, dan nasehat-nasehat bijak lainnya. 

Meskipun demikian, kekagumannya terhadap sosok Khairil Anwar yang diceritakan oleh guru Bahasa Indonesia di kelasnya sangat mungkin ikut juga mempengaruhi pemilihan diksi dan makna yang ditulisnya.

Lalu, adakah yang salah dengan itu semua? Bukankah semangat patriotisme dan ajaran-ajaran bijak tentang anak muda dan semangat hidup warga Blambangan adalah pesan yang semestinya harus dihargai? 

Apakah ia pantas mendapat stigma komunis? Apakah salah ketika pada masa 60-an ia memilih Lekra sebagai organisasi untuk memperjuangkan kebudayaan rakyat? Pertanyaan-pertanyaan tersebut, sepertinya pantas diungkapkan ketika kita hendak merekonstruksi dan menghargai jasa besar seorang seniman seperti Andang dalam perkembangan kesenian Banyuwangian.

Pilihan bergabung atau tidak ke dalam Lekra ataupun organisasi kebudayaan partisan lainnya, tentu mempunyai rasionalitas dan argumentasinya masing-masing. 

Kedua hal tersebut, sangat mungkin dipengaruhi oleh pengalaman individual, keyakinan ideologis maupun cita-cita dalam berkesenian yang dimiliki oleh masing-masing seniman. Kalaupun Andang memilih Lekra, tentu ada pandangan dan keyakinan pribadi yang melandasinya. Memang, dia tidak secara eksplisit menjelaskannya. 

Namun, dari penjelasan dia tentang kedekatannya dengan Arif dan juga dimuatnya beberapa sajaknya di Terompet Rakjat dan Harian Rakjat, menandakan bahwa Andang adalah tipe seniman yang ingin mengekspresikan persoalan-persoalan sosio-kultural yang dihadapi rakyat secara kritis dan mendalam, bukan sekedar retorika di podium dan mimbar yang menghipnotis. 

Hal itu tentu menjadi cita-cita semua seniman dalam berkarya: pencapaian kualitas karya, sekaligus pembelaan terhadap kepentingan rakyat. Dan, seperti sudah diketahui bersama, Lekra memang secara tegas ingin memperjuangan kepentingan rakyat dan kebudayaannya. Wajar kiranya, kalaupun Andang lebih bersimpati ke Lekra sebagai wadah perjuangannya. 

Menariknya lagi, Andang lebih menyukai penggunaan diksi dan tema yang dekat dengan kehidupan sehari-hari sehingga semakin mempertegas pembelaan dan rasa simpatinya terhadap perjuangan rakyat jelata, yang memang harus terus diperjuangkan. 

Ketika orator-orator politik, wakil rakyat, dan pejabat birokrasi hanya sibuk menata kehidupan feodalistik mereka, maka seniman, sastrawan, dan budayawan memang berhak dan wajib mengambil peran untuk memberikan pencerahan kepada rakyat, bukannya janji-janji ilusif tentang kemakmuran negeri. 

Andang telah memilih memberikan pencerahan melalui kerja kesenian, lewat lirik-lirik lagu yang diciptakan dan, ternyata, disukai banyak orang. 

Banyak pesan-pesan bijak yang bisa dicerna dari lirik-lirik lagu yang ditulis Andang dan digubah lagunya oleh B.S Noerdian maupun Mahfud. Dengan mengggunakan istilah-istilah sederhana dan berhubungan dengan kehidupan sehari-hari, ia memang mampu menghadirkan realitas perjuangan dan persoalan hidup yang dihadapi oleh rakyat kebanyakan. 

Ada juga lagunya yang berasal dari kehidupan sehari-hari, seperti Prawan Sunti. Lirik lagu ini pertama diaransemen Mahfud. Dalam lagu ini ia menggambarkan bagaimana wanita Banyuwangi mencintai kerja, harus berhati-hati di jalan, kalau ada godaan di jalan, misalnya lare angon ngajaki guyon, esemono (kalau ada gembala mengajak bercanda, berilah senyum, pen), cintailah mereka dengan kerja untuk nusa dan bangsa. 

Pernah juga saudara istrinya datang ke rumah mau meminjam pakaian untuk acara pesta perkawinan, Andang menulisnya menjadi lagu yang intinya meskipun sobek-sobek yang penting kepunyaan sendiri. Sementara, lagu yang berkaitan dengan sejarah adalah Umbul-umbul Blambangan.  Lirik lagu ini dimuat di sebuah majalah lokal, lalu Basir Noerdian membacanya dan menjadikannya lagu. 

Begitupula dengan lagu Kembang Galengan, Basirjuga yang membuat lagunya, malah ia tidak tahu awalnya karangan siapa lirik itu, karena Andang memakai nama samaran Manadon. Lalu, Andang memberitahunya. Lagu Kembang Galengan, bahkan sempat naik daun. 

Menurutnya, kembang leng-galengan meletik sing gawa aran/diidek eman-eman, dipetik sing ana doyan, memiliki makna dalam. Kembang di pematang sawah itu indah dan cantik meskipun tidak bernama, kalau diinjak eman-eman, tetapi kalau dipetik tidak ada yang mau, berbeda dengan mawar dengan melati. Jadi seperti orang kecil. Namun, kembang galengan itu juga memandang langit dan pepohonan. Orang kecil itu juga melihat tingkahnya orang di atas. 

Orang kecil itu kritis. Pada bagian lirik terkahir dalam kesimpulannya, kembang galengan iming-imingono emas berlian/alung mituhu nunggu pedhotan. Jadi meskipun hujan emas di negeri orang, memilih hidup di negeri sendiri. Itulah, orang kecil itu selalu mencintai tanah air. 

Andang CY memang banyak menggunakan istilah kembang dalam lirik-lirik lagunya, seperti Kembang Galengan, Kembang Peciring, Kembang Pethetan. Menurutnya kembang banyak yang menggemari dan mudah diingat, selain untuk memberikan makna-makna tertentu. 

Ada juga Kembang Kamboja, agar manusia itu berbuat kebaikan karena semuanya akan berakhir di bawah pohon kamboja. Dengan kata lain, Andang memang menggunakan kata kembang, tetapi bukan kembang secara harafiah. Seperti Mawar Kapuranta, yang ditujukan kepada anak gadis, agar jangan setengah-setengah dalam menjalani kehidupan.  

Kesadaran kritisnya sebagai seorang seniman yang hidup di tengah-tengah masyarakat yang sedang mengalami masa-masa sulit, menjadikan Andang dekat dengan persoalan-persoalan rakyat kebanyakan. 

Lagu Perawan Sunti, yang sampai saat ini masih digemari, adalah salah satu yang memotret persoalan perempuan yang digambarkan akan selalu berjuang menghadapi kehidupan, betapapun sulitnya. Pun demikian dengan Kembang Galengan yang secara simbolis memberikan pesan kepada rakyat jelata bahwa meskipun hidup mereka diinjak-injak dan tidak dimasukkan 'hitungan' oleh mereka yang berkuasa, mereka harus tetap mencintai tanah air sembari terus bersikap kritis.

Pilihan-pilihan tema tersebut menyiratkan harapan besar dari Andang agar masyarakat Banyuwangi, khususnya, dan Indonesia, umumnya, selalu memprioritaskan kecintaan tanah air dengan melakukan perjuangan-perjuangan yang bisa mengantarkan mereka pada masa depan yang lebih baik. 

Bukankah tema-tema tersebut sangat mulia? Ketidakmuliaan lirik-lirik lagu yang diciptakan Andang adalah di mata mereka yang secara ideologis membenci atau bahkan memusuhi Lekra dan PKI karena mempunyai agenda-agenda politis tersendiri. Kondisi itulah yang menjadikan Andang harus berurusan dengan tentara karena lagu-lagunya dianggap berbau komunis, utamanya lagu Perawan Sunti dan Kembang Pethetan. 

Bang-bang wetan, srengenge metu donyane abang. Menurut Andang, Prawan Sunti memang ideal, karena saat pertama ia menciptakan lagu, tahun 66, suasana Banyuwangi mencekam karena peristiwa 65. 

Namun demikian, ada pihak yang menafsirnya secara keliru. Suruh wanci kinangan, suruh itu kan macam-macam tetapi kalau dikunyah itu berwarna merah. 

Andang dituduh dan ditahan karena lagu ini, karena warna merah suruh itu. Ia ditahan lagi bulan di Koramil, karena disangka mau mendatangkan PKI lagi. Tentu hal itu menyedihkan karena ia juga sempat ditahan pasca tragedi 65 karena menjadi pengurus Lekra. 

Waktu itu Komandan Koramil, Pak Supriadi mengatakan, "Kamu kan mau mendatangkan PKI lagi?" Andang pun menjawab, "Lho, Pak, jangan salah tafsir. Kalau wanita Banyuwangi, jangankan nginang, Pak, dekat saja sama wanci itu gatel." Ia mengatakan bahwa lagu ini bercerita tentang perempuan yang memilih bekerja berat, yang memilih jodoh, ditimbang-timbang. Jadi cita-citanya nggayuh lintang, "menggapai bintang", supaya masa depannya lebih cerah. E, malah dianggap lagunya PKI. 

Lagu Kembang Pethetan juga mengalami nasib serupa, dituduh simbolisasi komunis. Itu gara-gara terdapat lirik, sun tandur ring buju petamanan. Ada pihak yang menuduh itu menyimbolkan bendera RRT (Republik Rakyat Tjina, Pen), palu arit. Jadi kembang pethetan itu disamakan dengan benderanya PKI. Bagi Andang tuduhan itu benar-benar tidak masuk akal. 

Sampai-sampai Hasan Ali pernah ngamuk. Meskipun ia dari PNI, Hasan Ali ikut membela Andang dengan mengatakan, "Indonesia Raya itu bisa saya tafsirkan sebagai PKI". Ungkapan Hasan Ali tersebut menegaskan bahwa memang tuduhan itu terlalu mengada-ada. 

Mendekam di penjara adalah sebuah resiko yang harus ia tanggung ketika rezim militer menganggap lagu-lagunya berbau komunis. Tuduhan-tuduhan itu tentu saja hanya didasari tafsir dangkal yang terlalu ideologis, tanpa menimbang makna-makna filosofis yang begitu mendalam. 

Adalah sebuah kekonyolan ketika seseorang yang menulis lirik tentang nasib dan perjuangan rakyat harus dipenjara oleh bangsanya sendiri. Padahal, revolusi kemerdekaan tidak akan pernah lahir ketika rakyat tidak memberikan dukungan seluas-luasnya, termasuk menyediakan logistik untuk laskar pejuang.

Stereotipisasi yang menjurus kepada stigmatisasi secara membabi-buta terhadap mereka yang terlibat Lekra, menjadikan eks-anggota Lekra sebagai liyan yang harus ditertibkan, dipenjarakan, atau bahkan dieksekusi tanpa pengadilan yang jelas. Beruntung kiranya Andang CY masih selamat, meskipun ia harus menanggung beban dan penderitaan politik dan sosial yang luar biasa pada waktu itu. 

Selamatnya Andang, memang tidak bisa dilepaskan dari peran seniman dan budayawan yang peduli terhadap nasib Andang, seperti Hasan Ali (LKN) dan Hasnan Singodimayan (HSBI). 

Kegigihan Hasan Ali ketika mengatakan "Indonesia Raya itu bisa saya tafsirkan PKI" menandakan keberaniannya untuk memberikan argumentasi guna meyakinkan pihak aparat tentang ketidakbersalahan Andang dalam penciptaan lagu-lagu Banyuwangian. 

Apa yang dilakukan oleh Hasnan dan Hasan adalah sebuah perjuangan untuk menyelamatkan kemanusiaan dan kebudayaan. Mengapa? Dengan selamatnya Andang, ia akan tetap bisa berkiprah dalam pengembangan kesastraan, kesenian, dan kebudayaan Banyuwangi. 

Andang adalah aset berharga bumi Blambangan yang kelak di kemudian hari akan ikut mewarnai kehidupan rakyat dan budaya di Banyuwangi. Keberanian Hasnan dan Hasan adalah bentuk keberanian dalam membangun solidaritas antarseniman yang tidak lagi dipisahkan oleh sekat-sekat ideologi partai yang terbukti hanya dimanfaatkan oleh kepentingan elit dan rezim. 

Apa yang menyatukan mereka adalah kebutuhan dan keinginan untuk mengembangkan dinamika kebudayaan Banyuwangen yang mampu memberikan hiburan sekaligus pencerahan bagi rakyat kebanyakan. 

Memang, kerakyatan dalam berkesenian, pada akhirnya, bukan hanya monopoli Lekra dan PKI, tetapi menjadi tanggung jawab bersama para seniman yang merasa punya hati nurani demi melihat persoalan-persoalan sosial budaya yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari.   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun