Ketika sedang asyik membaca-baca status Facebook, Sabtu, 12 Juni 2020, mata saya tertuju kepada status seorang kawan yang mengunggah gambar yang disertai caption tentang seorang kepala dinas di Bondowoso sedang main TikTok bersama seorang perempuan di ruang dinasnya.Â
Saya pun langsung mencari kebenaran berita tersebut di media online. Maka, dari Kompas.com saya mendapatkan judul, "Fakta Viral Video TikTok Tarian Pejabat Bondowoso Bersama Perempuan di Atas Meja, Dibuat di Kantor dan Mengaku Khilaf" (kompas.com).Â
Kasus ini memang tidak seheboh kasus video mesum anggota DPR, YZ bersama E, yang sempat heboh tahun 2006. Juga tidak setenar video-video syur lain yang melibatkan pejabat atau ASN di tempat lain. Namun, apa yang menarik dari kasus ini adalah beberapa objek yang bisa dibaca secara asyik, tetapi tetap kritis.Â
Kasus ini menjadi cepat menyebar karena si kepala dinas dan perempuan yang dikatakan sebagai rekanan terkait fashion itu menggunakan aplikasi TikTok dan menyebarluas melalui apikasi WhatsApp.Â
Apa yang membuat saya bertanya-tanya adalah apakah si kepala dinas dan teman perempuannya itu tidak paham bahwa video TikTok bisa diakses banyak orang. Atau, apakah si kepala dinas tidak mengetahui video itu disebarkan? Lalu, siapa yang menyebarkan? Untuk mengetahui siapa yang menyebarkan, tentu akan menjadi wewenang Inspektorat dan BKD, atau kalau perlu dinaikkan ke Komisi ASN di Jakarta.Â
Apa yang menarik adalah kenyataan bahwa si kepala dinas dengan sadar merekam video tersebut bersama teman perempuannya. Dia mengatakan untuk kepentingan hiburan. Berarti, dia memang sadar bahwa rekaman itu bisa disebarluaskan karena makna hiburan itu bukan hanya berkaitan dengan diri sendiri, tetapi juga khalayak kebanyakan.Â
Sangat mungkin dia berasumsi bahwa apa yang dilakukannya tidak akan berdampak apa-apa, apalagi TikTok memang dikenal luas sekedar just for fun. Seandainya yang membuat video itu adalah warga biasa, tentu tidak akan ramai di media sosial, apalagi adegannya cuma menari ala India. Sangat umum.Â
Kedua, tempat mereka membuat video tarian India adalah kantor dinas. Berbicara mengenai kantor dinas, tentu pemahaman kita akan tertuju kepada aturan dan etika yang mengikat para pejabat.Â
Meskipun kantor adalah benda mati, tetapi keberadaannya menyatu dengan aturan yang harus dipatuhi oleh pejabat. Misalnya, mereka boleh melakukan ini, tetapi tidak boleh melakukan itu.Â
Selain itu, mereka juga terikat dengan etika, khususnya terkait kepatutan atas apa-apa yang bisa dilakukan oleh pejabat di kantor. Meskipun tidak tertulis, etika sejatinya menjadi penuntun dalam laku manusia di manapun mereka berada. Apalagi pejabat publik. ASN pula.Â
Maka, kalaupun tidak ada larangan pejabat membuat video TikTok tarian India, tetapi ia sejatinya terikat oleh etika, pantas atau tidak seorang pejabat menari bersama seorang perempuan di atas meja. Apalagi si perempuan dalam posisi berdiri di belakangnya.Â
Pertanyaan lain yang lebih kritis pun bisa dimunculkan. Kalau tidak ada hubungan sangat dekat atau istimewa, mana mungkin si perempuan berani berdiri di atas meja ruang kantor si kepala dinas? Pertanyaan ini sejatinya sangat umum dan saya yakin banyak warga Bondowoso yang memiliki pertanyaan demikian.Â
Logika sederhana kita akan mengatakan bahwa hanya perempuan yang memiliki kedekatan khusus--saya tidak mau menyebutnya macam-macam--yang berani melakukan tindakan atau aktivitas demikian. Saya percaya bahwa mereka tidak berbuat mesum. Si kepala dinas sangat tegas mengatakan itu.Â
Dan, saya pikir, publik tidak perlu menghakimi mereka, terutama si perempuan, dengan sebutan atau tuduhan yang aneh-aneh. Mengapa? Karena hanya dengan menyoroti dimensi etis saja kita bisa tahu ada masalah dalam menyikapi kepatutan kerja birokrasi. Bagaimanapun  juga ASN harus menunjukkan teladan yang baik untuk warga masyarakat, tidak hanya cukup menunjukkan kerja yang bagus, tetapi juga perilaku sehari-hari.Â
Meskipun video tersebut tidak diperuntukkan untuk kepentingan publik, misalnya, perilaku si kepala dinas sudah melenceng dari azaz kepatutan. Apalagi, mereka menar di atas meja yang sangat mungkin biasa digunakan untuk menerima tamu untuk urusan kedinasan.Â
Meja, dengan demikian, merupakan benda fungsional yang juga menghadirkan fungsi birokrasi. Ketika adegan tari berdua yang sejatinya ditujukan untuk kepentingan privat itu dilakukan di ruang dinas, berarti telah terjadi subversi hasrat personal-privat ke dalam ruang birokrasi.Â
Pada tataran inilah kita bisa melihat betapa kacaunya kinerja birokrasi. Bahkan, dalam negara-negara liberal, para pejabat publik akan berpikir berulang-kali untuk melakukan tindakan seperti yang dilakukan si kepala dinas dan teman perempuannya. Mengapa? Karena ada etika birokrasi yang harus selalu dijaga.Â
Kesadaran akan pentingnya new media, seperti FB, Instagram, WA, ataupun TikTok, memang sangat dibutuhkan oleh pejabat publik karena mereka bisa mengkampanyekan atau menyampaikan informasi tentang banyak hal. Apalagi saat ini Bondowoso sedang menggiatkan promosi pariwisata.Â
Saya membayangkan kalau si kepala dinas membuat TikTok dengan si perempuan di tempat wisata dengan tujuan untuk promosi, tentu semua akan baik-baik saja ketika menyebar ke publik. Namun, ketika adegan tersebut dilakukan di kantor kepala dinas, semua pemaknaan berubah. Yang kita tangkap kemudian adalah adanya kegenitan personal si kepala dinas yang mengintervensi ruang birokrasi.Â
Kasus ini tengah ditangani Badan Kepegawaian Daerah Bondowoso. Tentu saja, kita berharap agar kejadian seperti itu tidak terulang lagi. Dan, instansi yang menangani bisa memberikan sanki yang setimpal.Â
Bagaimanapun juga, masyarakat berhak untuk mendapatkan pelayanan maksimal dari pejabat publik terkait pekerjaan yang memberikan dampak langsung, bukan ketenaran si pejabat karena bermain TikTok di kantor dengan adegan yang bertentangan dengan etika birokrasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H