Dusun Krajan, Desa Pakusari, Jember, 13 Maret 2020, selepas Maghrib. Ratusan warga yang terdiri dari anak-anak, kaum muda, dan orang dewasa, mulai bergerak meninggalkan rumah masing-masing. Mereka membelah malam dan mengakrabi hawa dingin menuju halaman sebuah masjid. Puluhan penjual mainan, makanan, minuman, dan rokok, mulai menikmati rezeki ekonomi dengan banyaknya warga yang hadir.
Rupa-rupanya, warga segera ingin menikmati bermacam sajian pertunjukan kesenian rakyat dalam event Semalam di Sepikul. Event ini digelar sebagai bentuk 'tanggung jawab untuk membayar hutang' Dewan Kesenian Jember (DeKaJe) dan Pemerintah Desa Pakusari. Mengapa demikian?
Karena dalam event Lembayung di Sepikul yang digelar pada 22 Pebruari 2020 (kompasiana.com), beberapa kesenian tidak bisa tampil karena guyuran hujan yang cukup lebat. Maka, untuk menggantinya, dibuatlah Semalam di Sepikul yang menghadirkan beberapa kesenian seperti reyog Ponorogo, tari ngremong (remo), janger berdendang, kontes ludruk, dan lawakan.
Di halaman depan masjid, panggung tobong ludruk Satriya Mandala (Desa Kamal, Kec. Arjasa) dengan warna dominan merah tampak gagah, seakan siap menyambut semua seniman dan penonton yang hadir. Kerja keras para kru atas arahan seniman ludruk asal Kecamatan Ledokombo, Cak Lipianto, yang sekaligus menjadi person in charge (PIC) acara ini tak sia-sia.
Kehadiran panggung tobong tersebut sekaligus menjadi properti penting dari event ini. Setidaknya, megahnya panggung tersebut  diharapkan selaras dengan besarnya semangat para pengurus DeKaJe, pemerintah desa, seniman, dan rakyat untuk terus mengembangkan dan memajukan beragam kesenian etnis yang hidup di Jember.
Gelar Reyog Ponorogo di Tengah Komunitas Madura
Ketika gamelan reyog ditabuh dan para warok dari Paguyuban Putra Sakti Pakusari bersiap untuk menyuguhkan atraksi pembukaan, para penonton segera memenuhi ruang kosong di depan kalangan dan di teras rumah warga, bahkan di teras masjid. Mereka membentuk formasi setengah lingkaran tanpa harus diatur. Penonton sudah paham kebiasaan ketika menonton pertunjukan di tempat terbuka.Â
Para warok muda pun secara serentak memperagakan gerakan-gerakan kaki, tangan, dan badan penuh wibawa. Mereka layaknya kekuatan dan keagungan masyarakat Ponorogo yang tidak pernah takut menghadapi bermacam permasalahan dan siap berjuang demi harga diri.
Ini tentu tidak bisa dilepaskan dari sejarah "Bumi Wengker" Ponorogo yang dipenuhi nuansa perjuangan melawan kekuatan-kekuatan dominan dari luar. Â Â
Tidak lama kemudian para bujang ganong yang muda dan energik muncul ke arena pertunjukan dengan mengenakan topeng. Tubuh mereka begitu lincah. Beberapa ganong bahkan memperagakan adegan salto berulang kali. Tentu saja, semua kemampuan koreografis tersebut didapatkan melalui proses latihan rutin dan penuh kedisiplinan.