Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Semalam di Sepikul, Hangatnya Pertunjukan dalam Keterbukaan Budaya Jemberan

16 Maret 2020   23:27 Diperbarui: 23 Maret 2020   12:00 284
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dua jathil perempuan menyusul para ganongan. Mereka bergerak lincah, memainkan kuda yang terbuat dari bambu. Jathil dalam tradisi reyog bukan sekedar melengkapi pertunjukan, tetapi menjadi bagian penting untuk memeriahkan pertunjukan dengan gerakan lincah layaknya kuda.

Meskipun hanya berdua, mereka mampu terus membuat penonton bertahan di tempatnya. Apalagi ketika salah satu dari jathil berdiri di atas sepeda motor yang ditarik oleh salah satu ganong.  

Sebagai penutup, atraksi dua dadak merak semakin meramaikan suasana. Dua pembarong dengan trengginas memainkan dadak merak yang tidak ringan itu. Tubuh mereka meliuk, berputar, bahkan terkadang seperti adegan salto dan bangkit kembali. Tentu saja tidak semua pelaku reyog bisa melakukan adegan tersebut. Dibutuhkan latihan dengan disiplin tinggi.

Jathil (dok. pribadi)
Jathil (dok. pribadi)

Menariknya, para pembarong juga mempersilahkan anak-anak yang mau selfie untuk naik ke atas topeng kepala harimau. Adegan tersebut menandakan bentuk penyerapan terhadap tradisi populer di masyarakat.

Tidak ketinggalan, seorang jathil perempuan juga dipersilahkan naik ke atas topeng kepala harimau. Dengan santai pembarong memainkan dadak merak seolah tidak merasakan berat sama sekali. Penonton menyambut meriah adegan tersebut.   

Apa yang menarik dari pertunjukan reyog ini adalah bagaimana kesenian asli Ponorogo cukup membuat para penonton bergembira. Sebagai komunitas Madura mereka memang jarang menonton pertunjukan reyog.

Bagi warga, kehadiran kesenian khas Ponorogo ini menyuguhkan atraksi kultural yang menjadikan mereka lebih dekat dengan gelaran seni yang mengedepankan gerakan-gerakan gagah tersebut.

dok. pribadi
dok. pribadi
Lebih jauh lagi, kehadiran reyog ini menegaskan kelenturan manusia-manusia Jember yang sudah berdialektika dengan beragam budaya sejak zaman kolonial hingga saat ini. Tidak ada prinsip kaku dalam memahami identitas.

Memang benar warga masih menggunakan bahasa dan mempraktikkan sebagian budaya Madura dalam kehidupan sehari-hari, tetapi mereka juga telah belajar dalam berinteraksi dengan warga dari etnis lain, seperti Jawa, China, Arab, Using, dan yang lain. Mereka bisa menerima atraksi kultural mereka tanpa rasa takut dan rasa curiga.

dok. pribadi
dok. pribadi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun