Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Semalam di Sepikul, Hangatnya Pertunjukan dalam Keterbukaan Budaya Jemberan

16 Maret 2020   23:27 Diperbarui: 23 Maret 2020   12:00 284
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dusun Krajan, Desa Pakusari, Jember, 13 Maret 2020, selepas Maghrib. Ratusan warga yang terdiri dari anak-anak, kaum muda, dan orang dewasa, mulai bergerak meninggalkan rumah masing-masing. Mereka membelah malam dan mengakrabi hawa dingin menuju halaman sebuah masjid. Puluhan penjual mainan, makanan, minuman, dan rokok, mulai menikmati rezeki ekonomi dengan banyaknya warga yang hadir.

Rupa-rupanya, warga segera ingin menikmati bermacam sajian pertunjukan kesenian rakyat dalam event Semalam di Sepikul. Event ini digelar sebagai bentuk 'tanggung jawab untuk membayar hutang' Dewan Kesenian Jember (DeKaJe) dan Pemerintah Desa Pakusari. Mengapa demikian?

Karena dalam event Lembayung di Sepikul yang digelar pada 22 Pebruari 2020 (kompasiana.com), beberapa kesenian tidak bisa tampil karena guyuran hujan yang cukup lebat. Maka, untuk menggantinya, dibuatlah Semalam di Sepikul yang menghadirkan beberapa kesenian seperti reyog Ponorogo, tari ngremong (remo), janger berdendang, kontes ludruk, dan lawakan.

Di halaman depan masjid, panggung tobong ludruk Satriya Mandala (Desa Kamal, Kec. Arjasa) dengan warna dominan merah tampak gagah, seakan siap menyambut semua seniman dan penonton yang hadir. Kerja keras para kru atas arahan seniman ludruk asal Kecamatan Ledokombo, Cak Lipianto, yang sekaligus menjadi person in charge (PIC) acara ini tak sia-sia.

Kehadiran panggung tobong tersebut sekaligus menjadi properti penting dari event ini. Setidaknya, megahnya panggung tersebut  diharapkan selaras dengan besarnya semangat para pengurus DeKaJe, pemerintah desa, seniman, dan rakyat untuk terus mengembangkan dan memajukan beragam kesenian etnis yang hidup di Jember.

Gelar Reyog Ponorogo di Tengah Komunitas Madura
Ketika gamelan reyog ditabuh dan para warok dari Paguyuban Putra Sakti Pakusari bersiap untuk menyuguhkan atraksi pembukaan, para penonton segera memenuhi ruang kosong di depan kalangan dan di teras rumah warga, bahkan di teras masjid. Mereka membentuk formasi setengah lingkaran tanpa harus diatur. Penonton sudah paham kebiasaan ketika menonton pertunjukan di tempat terbuka. 

Warok (dok. pribadi)
Warok (dok. pribadi)

Para warok muda pun secara serentak memperagakan gerakan-gerakan kaki, tangan, dan badan penuh wibawa. Mereka layaknya kekuatan dan keagungan masyarakat Ponorogo yang tidak pernah takut menghadapi bermacam permasalahan dan siap berjuang demi harga diri.

Ini tentu tidak bisa dilepaskan dari sejarah "Bumi Wengker" Ponorogo yang dipenuhi nuansa perjuangan melawan kekuatan-kekuatan dominan dari luar.   

Peononton dan dadak merak (dok. pribadi)
Peononton dan dadak merak (dok. pribadi)
Tidak lama kemudian para bujang ganong yang muda dan energik muncul ke arena pertunjukan dengan mengenakan topeng. Tubuh mereka begitu lincah. Beberapa ganong bahkan memperagakan adegan salto berulang kali. Tentu saja, semua kemampuan koreografis tersebut didapatkan melalui proses latihan rutin dan penuh kedisiplinan.

Bujang ganong (dok. pribadi)
Bujang ganong (dok. pribadi)

Dua jathil perempuan menyusul para ganongan. Mereka bergerak lincah, memainkan kuda yang terbuat dari bambu. Jathil dalam tradisi reyog bukan sekedar melengkapi pertunjukan, tetapi menjadi bagian penting untuk memeriahkan pertunjukan dengan gerakan lincah layaknya kuda.

Meskipun hanya berdua, mereka mampu terus membuat penonton bertahan di tempatnya. Apalagi ketika salah satu dari jathil berdiri di atas sepeda motor yang ditarik oleh salah satu ganong.  

Sebagai penutup, atraksi dua dadak merak semakin meramaikan suasana. Dua pembarong dengan trengginas memainkan dadak merak yang tidak ringan itu. Tubuh mereka meliuk, berputar, bahkan terkadang seperti adegan salto dan bangkit kembali. Tentu saja tidak semua pelaku reyog bisa melakukan adegan tersebut. Dibutuhkan latihan dengan disiplin tinggi.

Jathil (dok. pribadi)
Jathil (dok. pribadi)

Menariknya, para pembarong juga mempersilahkan anak-anak yang mau selfie untuk naik ke atas topeng kepala harimau. Adegan tersebut menandakan bentuk penyerapan terhadap tradisi populer di masyarakat.

Tidak ketinggalan, seorang jathil perempuan juga dipersilahkan naik ke atas topeng kepala harimau. Dengan santai pembarong memainkan dadak merak seolah tidak merasakan berat sama sekali. Penonton menyambut meriah adegan tersebut.   

Apa yang menarik dari pertunjukan reyog ini adalah bagaimana kesenian asli Ponorogo cukup membuat para penonton bergembira. Sebagai komunitas Madura mereka memang jarang menonton pertunjukan reyog.

Bagi warga, kehadiran kesenian khas Ponorogo ini menyuguhkan atraksi kultural yang menjadikan mereka lebih dekat dengan gelaran seni yang mengedepankan gerakan-gerakan gagah tersebut.

dok. pribadi
dok. pribadi
Lebih jauh lagi, kehadiran reyog ini menegaskan kelenturan manusia-manusia Jember yang sudah berdialektika dengan beragam budaya sejak zaman kolonial hingga saat ini. Tidak ada prinsip kaku dalam memahami identitas.

Memang benar warga masih menggunakan bahasa dan mempraktikkan sebagian budaya Madura dalam kehidupan sehari-hari, tetapi mereka juga telah belajar dalam berinteraksi dengan warga dari etnis lain, seperti Jawa, China, Arab, Using, dan yang lain. Mereka bisa menerima atraksi kultural mereka tanpa rasa takut dan rasa curiga.

dok. pribadi
dok. pribadi

Tanpa harus menyebut diri mereka Pandhalungan sebagaimana dikampanyekan beberapa pihak, warga Madura paham bagaimana menjalani kehidupan di tengah-tengah perbedaan.

Menikmati kesenian dari etnis lain merupakan salah satu cara untuk menjadi warga Jember yang cukup beragam tanpa harus kehilangan identitas Madura mereka. Mereka tidak perlu ikut-ikutan latah memakai identitas Pandhalungan hanya untuk merayakan keberagaman.

Bagi warga Madura di Pakusari dan di Jember pada umumnya, identitas Madura itu tidak harus dipandang secara kaku, tetapi bukan pula ikut-ikutan melabeli diri mereka dengan istilah baru mengabaikan fakta-fakta di lapangan. Menikmati pertunjukan reyog adalah cara untuk merawat solidaritas di tengah-tengah perbedaan budaya, sembari memahami budaya etnis lain.

dok. pribadi
dok. pribadi

Fakta menarik lainnya adalah bahwa mayoritas pelaku reyog di Putra Sakti berasal dari etnis Madura. Mereka melampaui batas etnisitas dan identitas demi mempelajari kesenian Ponorogo. Tentu saja dibutuhkan keterbukaan sikap dan pandangan untuk berani dan mau mempelajari kesenian dari etnis lain.

Para seniman muda Putra Sakti membuktikan bahwa menjadi Madura bukan berarti harus tidak bisa memainkan kesenian dari etnis Jawa. Di sinilah saya melihat adanya proses kultural khas diaspora lokal di Jember.

Para seniman muda itu membiarkan pikiran dan tubuh mereka menyerap kesenian Ponorogo untuk kemudian menggelarnya di hadapan penonton dari komunitas Madura.  Ada proses menjadi hibrid yang berlangsung dengan asyik, tanpa harus melupkan identitas awal. Mereka ingin menguasai kesenian khas Ponorogo untuk kemudian digunakan sebagai atraksi yang bisa mendatangkan rezeki ekonomi.

Bergembira Bersama Ragam Kesenian Madura dan Banyuwangi
Tari remong (remo) gaya laki-laki menjadi sajian setelah reyog. Misnayah, salah satu pelaku lengger (kesenian semacam tayub yang dimainkan di tempat publik) legendaris menarikan gerakan-gerakan rancak remong. Gerakan gedruk (menghentakkan kaki di panggun), permainain selendang, gerak tepisan tangan, serta gerak kepala sebagai karakteristik tari remong berhasil membuat konsentrasi penonton.

Seorang diri Misnayah menguasai panggung tobong ludruk dengan gerakan lincah dan rancak dibarengi suara kemrincing lonceng kecil di pergelangan kakinya. Iringan gamelan dari pengrawit Satriya Mandala menjadikan pertunjukan menjadi 'hidup'. Sebagai tari pembuka ludruk, tari remo memang ditujukan untuk menyambut penonton sebagai 'tamu terhormat' dari sebuah pertunjukan.

Remong (dok. pribadi)
Remong (dok. pribadi)

Remong merupakan bentuk penyerapan seniman Madura Jemberan terhadap kesenian serupa dalam tradisi komunitas Jawa Arek. Dalam hal ludruk mereka pun menjadikan pertunjukan yang biasa menggunakan berbahasa Jawa Arek ke dalam bahasa Madura. Itulah mengapa dalam tari remo, tembang yang dinyantikan Misnayah berbahasa Madura.

Keliatan para seniman Jemberan untuk menjadikan pertunjukan ludruk ke dalam bahasa Madura dengan tetap menghadirkan karakteristik tema permasalahan dan sejarah masyarakat lokal seperti Sogol Pendekar Sumur Gemuling menandakan kecerdasan kultural dalam memahami dan meniru budaya dari luar secara lentur dan liat.

dok. pribadi
dok. pribadi

Kalau bicara makna kultural dari tari remong memang banyak pendapat. Gerakan gedruk, misalnya, bermakna kesadaran umat manusia akan kehidupan yang berlangsung di muka bumi, di atas tanah. Semua manusia harus memberikan penghormatan kepada bumi dan proses kehidupan yang berlangsung di atasnya. Namun, penonton tentu tidak akan berpikir banyak tentang makna-makna itu. Mereka hanya ingin menikmati kelincahan gerak penari.

Bagi saya, itu juga bukan masalah serius, setidaknya mereka masih gemar menikmati kesenian yang menjadi tanda indeksikal dengan ke-Madura-an di tengah-tengah modernitas. Merayakan identitas etnis dengan bahagia setidaknya menjadikan mereka terus memupuk komunalisme masyarakat desa dalam menghadapi bermacam situasi sosial, ekonomi, dan politik.

dok. pribadi
dok. pribadi

Setelah tari remong, pertunjukan jeda sejenak untuk penyerahan hadiah kepada tiga pemenang Lomba Foto Media Sosial Lembayung di Sepikul. Uang sebesar Rp. 1.000.000 diberikan kepada Juara I dengan foto berjudul "Selaras".

Untuk Juara II dengan judul "Dancer Sound Mini" mendapatkan uang sebesar Rp. 750.000. Sementara, Juara III mendapatkan uang sebesar Rp. 500.000. Para pemenang adalah para fotografer Jember yang biasa hunting gambar dalam acara-acara yang diselenggarakan DeKaJe.

Lomba foto ini memang dimaksudkan untuk mewadai hasil kreativitas para fotografer serta meramaikan event Lembayung di Sepikul di media sosial sehingga sekaligus bisa menjadi kampanye kegiatan kepada publik luas.

Kontes ludruk dan janger berdendang
Kontes ludruk dan janger berdendang
Dua penari janger berdendang dan empat penyanyi kontes ludruk Jemberan segera menghadirkan keriangan di tengah-tengah malam yang mulai dihiasi gerimis rintik. Para penonton pun tetap bertahan. Janger berdendang merupakan fragmen yang diambil dari pertunjukan janger, sebuah drama berbahasa Jawa Kuno dari Banyuwangi dengan musik menyerupai gamelan Bali.

Awalnya, istilah janger berdendang dipopulerkan oleh (alm) Sayun, salah satu seniman multitalenta dari Banyuwangi. Sayun mengambil fragmen musikal janger untuk disesuaikan dengan selera musikal masyarakat. Sampai di Jember, janger berdendang pun menjadi pertunjukan musik hiburan dengan iringan elektone dan kendang kempul. Aspek hiburan memang cukup kuat.

dok. pribadi
dok. pribadi

Tidak jauh berbeda dengan janger berdendang, kontes ludruk merupakan pertunjukan musikal yang diambil dari pertunjukan ludruk. Dalam adegan ludruk kontemporer, selalu ada adegan kontes di mana para penyanyi bergaya ala model profesional menghibur penonton. Adegan kontes itu sendiri merupakan cara seniman ludruk di Jawa Timur merespon berkembangan budaya di tengah-tengah masyarakat.

Agar masyarakat, khususnya kaum muda, tetap menggemari, maka dibuatlah satu adegan atau fragmen tambahan berisi hiburan. Para seniman ludruk Jemberan pun menyerapnya dalam pertunjukan.

Setelah keluar satu per satu mereka akan bergiliran untuk menyanyi. Irama kendang kempul dan dangdut koplo bergantian menemani goyang dan nyanyian mereka. Menariknya, pada pertunjukan Semalam di Sepikul mereka memakai pakaian Marlena, salah satu model pakaian seperti yang dikenakan Marlena dalam cerita ludruk Pak Sakerah.

dok. pribadi
dok. pribadi

Kehadiran janger berdendang dan kontes ludruk memang diniatkan untuk memberikan hiburan kepada masyarakat. Satu persatu penyanyi menyanyikan lagu-lagu populer dari blantika musik dangdut tanah air, campursari Jawa, dan Banyuwangian. Juragan Empang, Kunci Suwargo, Nglabur Langit, dan yang lain.

Sebagai bentuk apresiasi atas penampilan para penyanyi, Basis Wanto, Bendahara DeKaJe, memberikan saweran kepada mereka. tradisi nyawer memang biasa dilakukan dalam pertunjukan kontes ludruk. Selain semakin membuat semangat penyanyi, pemberian saweran juga menjadi semacam kampanye terselubung untuk terus menghargai para perempuan pejuang seni, sebesar apapun uang yang diberikan.

Bagaimanapun juga, para perempuan hebat tersebut telah memilih jalur kesenian yang tidak sedikit memunculkan stigamtisasi dari mereka yang tidak menyukai, atas nama apapun. Pemberian honor dan sawer, meskipun tidak begitu banyak, merupakan cara sederhana untuk menghormati pilihan dan mengapresiasi perjuangan untuk menghibur rakyat di tengah-tengah beragam permasalahan yang mereka hadapi.

Lawakan (dok. pribadi)
Lawakan (dok. pribadi)

Pertunjukan lawak Jemberan menjadi penutup Semalam di Sepikul. Awalmya dua pelawak lelaki muncul di panggung. Para penonton pun dibuat terpingkal-pingkal dengan lawakan berbahasa Madura. Perbincangan tentang permasalahan sehari-hari dengan bumbu-bumbu kisah cinta mengalir dalam celetukan-celetukan spontan yang cerdas. 

Tidak lama kemudian hadir dua pelawak perempuan. Mereka langsung membuat suasana semakin cair meskipun sudah menjelang tengah malam. Mereka berdua digoda oleh kedua pelawak lelaki, tetapi bisa memainkan peran yang tidak kalah liatnya. Pelawak laki-laki pun semakin penasaran dan terus menggoda.

lawak-2-5e6fa725097f3672de4d60a2.jpg
lawak-2-5e6fa725097f3672de4d60a2.jpg
Menjelang akhir lawakan, dua pelawak lelaki yang lain ikut nimbrung di panggung. Suasana panggung pun semakin meriah. Masih banyak penonton yang belum mau beranjak dari tempat duduk mereka, baik berada di teras rumah, teras masjid, ataupun halaman rumah.

Ini menegaskan bahwa meskipun mengusung tema sederhana, lawakan tetap memiliki tempat tersendiri di hati komunitas Madura. Komedi yang mereka suguhkan mampu menembus batas-batas sosial serta membuat cairnya suasana batin.

Ada semacam mekanisme pelepasan tawa yang menghantarkan energi positif buat warga dusun. Tertawa terbahak-bahak menjadi kesempatan untuk sejenak menikmati kekonyolan dalam kehidupan untuk kemudian mendapatkan energi baru.

Merekam Kegembiraan Rakyat dan Keterbukaan Budaya
Dari setiap pertunjukan kesenian rakyat yang digelar DeKaJe, saya selalu merekam kegembiraan warga masyarakat. Menurut saya, itu tidak bisa dilepaskan dari pilihan-pilihan bentuk acara yang disesuaikan dengan konteks masyarakat, termasuk etnis dan budayanya. Tidak memaksakan pertunjukan yang tidak dimengerti oleh warga masyarakat atau tidak sesuai dengan kecenderungan selera kultural masa kini merupakan rumus untuk bisa menghadirkan massa serta menyampaikan pesan-pesan pemajuan kebudayaan.

Penonton di teras masjid (dok. pribadi)
Penonton di teras masjid (dok. pribadi)
Apa yang cukup menarik untuk ditekankan kembali adalah kesadaran untuk tidak memaksakan identitas tertentu kepada masyarakat Jember. Pertunjukan yang menghadirkan kekayaan seni Ponorogo, Madura, dan Banyuwangi merupakan penghargaan akan selera dan pilihan kultural yang bersifat dinamis dan lentur.

Warga Madura Jemberan bukanlah komunitas yang mudah diarahkan oleh pihak-pihak tertentu, baik intelektual maupun birokrat, untuk mengakui identitas Pandhalungan. 

Meskipun lahir dan tumbuh di Jember mereka tetap menghormati ke-Madura-an, tetapi memiliki cara pandang terbuka terhadap kehadiran budaya-budaya lain yang lebih dominan secara makna. Mereka juga terbiasa menyerap modernitas, tetapi masih tidak ingin lepas dari pengaruh identitas.

Tubuh-tubuh Madura Jemberan adalah tubuh-tubuh yang selalu berdialektika secara kreatif dengan ragam budaya tanpa harus malu mengatakan sebagai subjek Madura.

dok. pribadi
dok. pribadi

Karakteristik geo-kultural Jember sebagai wilayah diaspora translokal sejak era kolonial menghadirkan ruang dan proses sosio-kultural, ekonomi, dan politik yang tidak sesederhana label Pandhalungan, anak hasil perkawinan campur Madura dan non-Madura.

Jember telah membentuk manusia-manusia yang meskipun masih belum bisa menghilangkan sepenuhnya prasangka etnis, tetapi menikmati proses saling melintasi, saling meminjam, saling meniru, dan saling berdialektika dalam ruang pertemuan yang dinamis dan lentur.

Itulah karakteristik Jemberan sebagai ruang geo-kultural dan praktik hibridisasi budaya yang sudah berlangsung sejak era kolonial di mana banyak karya kreatif dan tindakan-tindakan kultural dihasilkan oleh beragam subjek masyarakat yang memilih tinggal di kota lembah ini.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun