Ini menegaskan bahwa meskipun mengusung tema sederhana, lawakan tetap memiliki tempat tersendiri di hati komunitas Madura. Komedi yang mereka suguhkan mampu menembus batas-batas sosial serta membuat cairnya suasana batin.
Ada semacam mekanisme pelepasan tawa yang menghantarkan energi positif buat warga dusun. Tertawa terbahak-bahak menjadi kesempatan untuk sejenak menikmati kekonyolan dalam kehidupan untuk kemudian mendapatkan energi baru.
Merekam Kegembiraan Rakyat dan Keterbukaan Budaya
Dari setiap pertunjukan kesenian rakyat yang digelar DeKaJe, saya selalu merekam kegembiraan warga masyarakat. Menurut saya, itu tidak bisa dilepaskan dari pilihan-pilihan bentuk acara yang disesuaikan dengan konteks masyarakat, termasuk etnis dan budayanya. Tidak memaksakan pertunjukan yang tidak dimengerti oleh warga masyarakat atau tidak sesuai dengan kecenderungan selera kultural masa kini merupakan rumus untuk bisa menghadirkan massa serta menyampaikan pesan-pesan pemajuan kebudayaan.
Apa yang cukup menarik untuk ditekankan kembali adalah kesadaran untuk tidak memaksakan identitas tertentu kepada masyarakat Jember. Pertunjukan yang menghadirkan kekayaan seni Ponorogo, Madura, dan Banyuwangi merupakan penghargaan akan selera dan pilihan kultural yang bersifat dinamis dan lentur.
Warga Madura Jemberan bukanlah komunitas yang mudah diarahkan oleh pihak-pihak tertentu, baik intelektual maupun birokrat, untuk mengakui identitas Pandhalungan.Â
Meskipun lahir dan tumbuh di Jember mereka tetap menghormati ke-Madura-an, tetapi memiliki cara pandang terbuka terhadap kehadiran budaya-budaya lain yang lebih dominan secara makna. Mereka juga terbiasa menyerap modernitas, tetapi masih tidak ingin lepas dari pengaruh identitas.
Tubuh-tubuh Madura Jemberan adalah tubuh-tubuh yang selalu berdialektika secara kreatif dengan ragam budaya tanpa harus malu mengatakan sebagai subjek Madura.
Karakteristik geo-kultural Jember sebagai wilayah diaspora translokal sejak era kolonial menghadirkan ruang dan proses sosio-kultural, ekonomi, dan politik yang tidak sesederhana label Pandhalungan, anak hasil perkawinan campur Madura dan non-Madura.
Jember telah membentuk manusia-manusia yang meskipun masih belum bisa menghilangkan sepenuhnya prasangka etnis, tetapi menikmati proses saling melintasi, saling meminjam, saling meniru, dan saling berdialektika dalam ruang pertemuan yang dinamis dan lentur.
Itulah karakteristik Jemberan sebagai ruang geo-kultural dan praktik hibridisasi budaya yang sudah berlangsung sejak era kolonial di mana banyak karya kreatif dan tindakan-tindakan kultural dihasilkan oleh beragam subjek masyarakat yang memilih tinggal di kota lembah ini. Â