Keliatan para seniman Jemberan untuk menjadikan pertunjukan ludruk ke dalam bahasa Madura dengan tetap menghadirkan karakteristik tema permasalahan dan sejarah masyarakat lokal seperti Sogol Pendekar Sumur Gemuling menandakan kecerdasan kultural dalam memahami dan meniru budaya dari luar secara lentur dan liat.
Kalau bicara makna kultural dari tari remong memang banyak pendapat. Gerakan gedruk, misalnya, bermakna kesadaran umat manusia akan kehidupan yang berlangsung di muka bumi, di atas tanah. Semua manusia harus memberikan penghormatan kepada bumi dan proses kehidupan yang berlangsung di atasnya. Namun, penonton tentu tidak akan berpikir banyak tentang makna-makna itu. Mereka hanya ingin menikmati kelincahan gerak penari.
Bagi saya, itu juga bukan masalah serius, setidaknya mereka masih gemar menikmati kesenian yang menjadi tanda indeksikal dengan ke-Madura-an di tengah-tengah modernitas. Merayakan identitas etnis dengan bahagia setidaknya menjadikan mereka terus memupuk komunalisme masyarakat desa dalam menghadapi bermacam situasi sosial, ekonomi, dan politik.
Setelah tari remong, pertunjukan jeda sejenak untuk penyerahan hadiah kepada tiga pemenang Lomba Foto Media Sosial Lembayung di Sepikul. Uang sebesar Rp. 1.000.000 diberikan kepada Juara I dengan foto berjudul "Selaras".
Untuk Juara II dengan judul "Dancer Sound Mini" mendapatkan uang sebesar Rp. 750.000. Sementara, Juara III mendapatkan uang sebesar Rp. 500.000. Para pemenang adalah para fotografer Jember yang biasa hunting gambar dalam acara-acara yang diselenggarakan DeKaJe.
Lomba foto ini memang dimaksudkan untuk mewadai hasil kreativitas para fotografer serta meramaikan event Lembayung di Sepikul di media sosial sehingga sekaligus bisa menjadi kampanye kegiatan kepada publik luas.
Dua penari janger berdendang dan empat penyanyi kontes ludruk Jemberan segera menghadirkan keriangan di tengah-tengah malam yang mulai dihiasi gerimis rintik. Para penonton pun tetap bertahan. Janger berdendang merupakan fragmen yang diambil dari pertunjukan janger, sebuah drama berbahasa Jawa Kuno dari Banyuwangi dengan musik menyerupai gamelan Bali.
Awalnya, istilah janger berdendang dipopulerkan oleh (alm) Sayun, salah satu seniman multitalenta dari Banyuwangi. Sayun mengambil fragmen musikal janger untuk disesuaikan dengan selera musikal masyarakat. Sampai di Jember, janger berdendang pun menjadi pertunjukan musik hiburan dengan iringan elektone dan kendang kempul. Aspek hiburan memang cukup kuat.