Tanpa harus menyebut diri mereka Pandhalungan sebagaimana dikampanyekan beberapa pihak, warga Madura paham bagaimana menjalani kehidupan di tengah-tengah perbedaan.
Menikmati kesenian dari etnis lain merupakan salah satu cara untuk menjadi warga Jember yang cukup beragam tanpa harus kehilangan identitas Madura mereka. Mereka tidak perlu ikut-ikutan latah memakai identitas Pandhalungan hanya untuk merayakan keberagaman.
Bagi warga Madura di Pakusari dan di Jember pada umumnya, identitas Madura itu tidak harus dipandang secara kaku, tetapi bukan pula ikut-ikutan melabeli diri mereka dengan istilah baru mengabaikan fakta-fakta di lapangan. Menikmati pertunjukan reyog adalah cara untuk merawat solidaritas di tengah-tengah perbedaan budaya, sembari memahami budaya etnis lain.
Fakta menarik lainnya adalah bahwa mayoritas pelaku reyog di Putra Sakti berasal dari etnis Madura. Mereka melampaui batas etnisitas dan identitas demi mempelajari kesenian Ponorogo. Tentu saja dibutuhkan keterbukaan sikap dan pandangan untuk berani dan mau mempelajari kesenian dari etnis lain.
Para seniman muda Putra Sakti membuktikan bahwa menjadi Madura bukan berarti harus tidak bisa memainkan kesenian dari etnis Jawa. Di sinilah saya melihat adanya proses kultural khas diaspora lokal di Jember.
Para seniman muda itu membiarkan pikiran dan tubuh mereka menyerap kesenian Ponorogo untuk kemudian menggelarnya di hadapan penonton dari komunitas Madura. Â Ada proses menjadi hibrid yang berlangsung dengan asyik, tanpa harus melupkan identitas awal. Mereka ingin menguasai kesenian khas Ponorogo untuk kemudian digunakan sebagai atraksi yang bisa mendatangkan rezeki ekonomi.
Bergembira Bersama Ragam Kesenian Madura dan Banyuwangi
Tari remong (remo) gaya laki-laki menjadi sajian setelah reyog. Misnayah, salah satu pelaku lengger (kesenian semacam tayub yang dimainkan di tempat publik) legendaris menarikan gerakan-gerakan rancak remong. Gerakan gedruk (menghentakkan kaki di panggun), permainain selendang, gerak tepisan tangan, serta gerak kepala sebagai karakteristik tari remong berhasil membuat konsentrasi penonton.
Seorang diri Misnayah menguasai panggung tobong ludruk dengan gerakan lincah dan rancak dibarengi suara kemrincing lonceng kecil di pergelangan kakinya. Iringan gamelan dari pengrawit Satriya Mandala menjadikan pertunjukan menjadi 'hidup'. Sebagai tari pembuka ludruk, tari remo memang ditujukan untuk menyambut penonton sebagai 'tamu terhormat' dari sebuah pertunjukan.
Remong merupakan bentuk penyerapan seniman Madura Jemberan terhadap kesenian serupa dalam tradisi komunitas Jawa Arek. Dalam hal ludruk mereka pun menjadikan pertunjukan yang biasa menggunakan berbahasa Jawa Arek ke dalam bahasa Madura. Itulah mengapa dalam tari remo, tembang yang dinyantikan Misnayah berbahasa Madura.