"Apa, Kang? Engkau jatuh cinta sama mereka? Keterlaluan...sungguh keterlaluan. Engkau sudah melupakan semua yang pernah kita rajut. Engkau sudah lupa, Kang. Keterlaluan...ini benar-benar keterlaluan, Kang. Aku tidak bisa terima. Apakah engkau tidak tahu, bagaimana menderitanya hidupku selepas kepergianmu, Kang. Setelah orang-orang itu membawamu ke lereng Merapi. Setelah mereka melemparkanmu ke jurang. Setelah itu, aku tidak punya siapa-siapa lagi kecuali anak kita. Cinta kita, Kang. Apakah engkau tidak tahu bagaimana susahnya kehidupanku? Ketika semua keluargaku tidak peduli, ketika para tetangga mencibir. Perih, Kang..perih."
 Nenek pun mulai menangis. Suara malam menjadi begitu berat.
 "Kang...aku tidak pernah meminta apa-apa darimu. Aku tidak pernah mengharap apa-apa, kecuali kesetiaan yang dulu engkau sampaikan ketika setiap pagi engkau mengantarkanku ke sekolah dengan becak bututmu. Hanya itu, Kang. Mengapa sekarang semua harus berubah, Kang. Mengapa, Kang? Apa hanya karena para bidadari itu lebih cantik?"
 Malam semakin terasa berat dan panas. Nenek marah. Berdiri menantang langit.
 "Bidadari...bidadari...mengapa kalian masih kurang saja dengan kebahagiaan yang diberikan Tuhan? Bukankah kalian sudah enak menikmati hidup di surga. Hidup tanpa beban. Hidup dengan segala kenyamanan. Hidup tanpa penindasan. Hidup tanpa ketakutan. Mengapa kalian masih saja mengambil Kang Parjo, suamiku? Mengapa? Apakah kalian ingin menikmati hidup sebagai manusia? Apakah kalian juga berhasrat, hah? Apa kalian benar-benar ingin melampiaskan hasrat? Ini sudah keterlaluan."
 Lalu, nenek kembali duduk sambil menggaruk tanah. Nadanya rendah, karena dia sudah merasa kalah.
 "Ini sungguh-sungguh sudah keterlaluan, bidadari. Selama ini aku sudah mengalami hidup dalam kekalahan, karena suamiku harus diambil paksa dari sampingku. Sekarang, kalian ambil cinta suamiku. Tentu aku kalah. Aku tidak punya kuasa. Aku tidak punya kecantikan seperti kalian. Pastilah....pasti aku kalah lagi..bidadari..aku kalah."
 Senyap. Sesenyap kekalahan yang hanya ia ketahui dan rasakan. Sesenyap kehidupan yang ia jalani.
 Pada malam berikutnya, susana malam terasa tegang. Panas bercampur keringat manusia hadir memenuhi atmosfer. Daun-daun jatuh berserakan di bawah pohon kanthil. Nenek berjalan membawa kapak kecil. Sejenak ia memandangi pohon kanthil.
 "Biarkan daunmu jatuh berserak, karena engaku telah melepaskan ikatan-ikatan yang mestinya dijaga. Biarkan Sang Bumi membusukkan daun-daun itu, karena hanya dengan itu engkau akan tahu, bahwa kesetiaan semestinya tidak dikhianati. Malam ini, tepat malam pernikahan kita. Malam ini biarlah kesetiaan itu aku hentikan; kesetiaan yang coba aku ukir bersama pagi, siang, dan malam; kesetiaan yang aku bayangkan bersama tumbuhnya pohon kanthil ini. Malam ini biarlah semua harus berhenti, karena aku tidak ingin mati dalam kesetiaan yang melukai."
 Perlahan-lahan ia mengayunkan kapak kecilnya ke pohon kanthil. Suara kapak berpadu dengan kidung malam yang semakin menurun temponya. Lambat, sangat lambat, dan berakhir.