"Suara itu...suara itu...tidaaaaakkkkk....tidaaaaaaakkkk. Jangan ambil suamiku. Jangan bawa suamiku. Dia tidak bersalah. Dia tidak berdosa. Dia hanya diajak. Kami ini hanya orang miskin. Jangan ambil suamiku. Jangan bawa suamiku. Jangan bunuh suamiku. Dia tidak tahu apa-apa. Anak kami masih kecil. Tolong...jangan ambil suamiku....tolong...jangan bunuh suamiku."
Nenek itu merangkul pohon kanthil dengan penuh perasaan, menangis tanpa air mata. Lalu, senyap. Beberapa orang yang sedang jogging melihatnya dengan rasa heran. Mungkin mereka menganggap si nenek gila atau setengah gila. Ia tidak mempedulikan tatapan mereka. Â
Pada sebuah malam. Sampai pukul 23.00, ia belum bisa tidur. Ia kembali duduk sembari bersandar pada pohon kanthil. Dengan bersenandung, ia menyanyikan lagu Caping Gunung.
Nenek bermimpi suaminya menggandeng beberapa perempuan cantik (adegan siluet atau video klip). Sementara ia hanya bisa memandang. Dalam tidur ia memanggil-manggil suaminya, tapi tak dihiraukan. "Kang...Kang...Kang Parjo...Kang...ini aku Kang...istrimu. Kemarilah Kang. Kemarilah...Mengapa engkau pergi dengan para perempuan itu, Kang. Ia terus memanggil. Sampai suaranya hilang ditelan malam.Â
Temaram. Tengah malam. Nenek membawa satu piring nasi dan ikan pindang, satu gelas kopi, sebatang rokok, dan satu bungkus bunga tujuh warna. Dia membawanya dengan satu baki. Jongkok di bawah pohon kanthil. Sesaat ia seperti menyembah kepada pohon itu, membaca doa lirih. Setelah itu ia taburkan bunga di bawah pohon kanthil. Suara malam, sahdu mengalir.
"Aku bawakan nasi dan kopi serta sebatang rokok klobot kesukaanmu. Ini kan malam Jum'at Legi. Nikmatilah, Kang. Maafkan aku kalau ndak bisa ngasih lebih dari ini. Hasil penjualan nasi aking[1] kemarin cuma bisa buat beli beras satu kilo, gula dan kopi sedikit, serta satu bungkus rokok klobot. Maklum, sekarang banyak orang yang tidak suka makan nasi aking, kecuali mereka yang benar-benar miskin di pelosok. Paling tidak, aku bisa menyuguhkan makanan untukmu malam ini, Kang. Dulu engkau suka sekali kalau sehabis makan ada segelas kopi, meskipun encer. Di surga pasti tidak ada kopi dan rokok klobot, ya...Kang? Kata Pak Ustadz di surga makanan dan minumannya enak-enak. He...he... Berarti di surga penghuninya makmur, ya...Kang?"Â
 Berdiri. Memandangi pohon kanthil secara tajam.
 "Ayo...makanlah, Kang. Jangan diam seperti itu. Apa engkau ndak suka dengan masakanku? Apa lama hidup di surga membuatmu lupa dengan masakan istrimu sendiri? Ayo...Kang...makanlah. Aku sudah bersusah payah mendapatkan ini semua.  Atau...atau...mungkin engaku sudah tidak mencintai aku lagi, istrimu sendiri?"
 Nadanya mulai meninggi. Suara malam terasa semakin senyap.
 "Iya...Kang? Apa engkau benar-benar tidak mencintai aku lagi? Ya...ya...aku tahu, pasti para bidadari di surga lebih cantik dari aku yang sudah reyot ini. Pasti bidadari itu menemanimu setiap hari. Mengantarkan makanan dan minuman lezat setiap hari."
 Nenek memegang dan menggoyang-goyang pohon kanthil dengan penuh kemarahan.