Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Dahsyatnya Gotong Royong dalam Lembayung di Sepikul

28 Februari 2020   00:44 Diperbarui: 28 Februari 2020   00:59 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejatinya, di tengah-tengah modernitas, manusia-manusia lokal masih saja mempercayai praktik yang oleh nalar Pencerahan diposisikan sebagai liyan irasional seperti praktik perdukunan dan keberadaan dunia magis. Bagi pengurus DeKaJe, kesombongan nalar Barat tersebut tidak harus diindahkan karena realitas kultural masyarakat memang masih mempercayai hal-hal irasional. 

Dan, istilah irasional ataupun magis merupakan upaya Barat untuk melabeli sesuatu yang tidak mampu mereka jelaskan dalam ranah ontologis, epistemologis, maupun aksiologis. Salah satu yang masih dilakukan panitia adalah meminta bantuan orang pintar untuk nyarang udan, mengalihkan hujan agar tidak jatuh di kawasan Sepikul.

Sound mini | dokpri
Sound mini | dokpri
Untunglah, DeKaJe memiliki seorang Dewan Pakar yang memiliki kelebihan dalam hal ilmu Jawa. Para pengurus pun memintanya untuk memanjatkan doa dengan ritual-ritual tertentu agar hujan tidak turun. Benar saja, mulai siang sampai selepas Isya' hujan tidak turun, meskipun mendung sempat menggantung di atas Sepikul. 

Kehadiran pawang hujan menandakan bahwa dalam acara-acara yang didesain dengan manajemen modern sekalipun nalar tidak bisa sepenuhnya meninggalkan kekuatan-kekuatan supranatural. Kalaupun akhirnya hujan turun di penghujung acara, itu semua semata-mata karena pengalihan hujan sudah berlangsung sejak siang. Dan, ada kekuatan semesta yang memang menginginkan hujan turun. Saya memaknainya sebagai restu bumi terhadap hajatan yang membuat gembira banyak warga. 

Tidak turunnya hujan menjadikan rangkaian acara pada malam hari berjalan seperti yang diharapkan, meskipun sedikit molor karena check sound. Setelah selesai check sound, untuk mengisi panggung sembari menunggu Bupati Jember, dr. Faida, M.MR datang, seorang pembaca puisi, Affraah, yang berasal dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember dipersilahkan membacakan puisinya yang bertutur tentang Sepikul dan ajakan untuk menjaganya. 

Pembaca puisi kedua, Zaybi, mahasiswa Universitas Nurul Jadid Paiton Probolinggo, asli Pakusari, membacakan tiga puisi tentang keluarga. Menghadirkan kesenian modern ke dalam ruang desa bisa membuka kemungkinan baru bagi para penyair muda untuk berinteraksi secara langsung dengan publik desa. Selama ini, mereka lebih asyik berdialektika dengan publik kampus atau kota. Setidaknya, dengan hadir di tengah-tengah masyarakat desa dan kawasan Sepikul, mereka bisa menyerap energi, permasalahan, dan struktur perasaan mereka untuk selanjutnya bisa melahirkan puisi-puisi baru. 

Mamacah | dokpri
Mamacah | dokpri
Penampilan berikutnya adalah kidung mamacah dan pembacaan puisi. Pak Yasin dan Pak Wakiq, dua seniman mamacah senior Jember, menembangkan tembang pendek yang mendayu. Sony Cimot, guru SMA Muhammadiyah Jember, pun menyautnya dengan membaca puisi Memikul Cinta yang bertutur tentang bagaimana kecintaan terhadap Bukit Sepikul dan komunitas warga yang tinggal di bawahnya. 

Perpaduan manis antara mamacah dan puisi membuktikan bahwa pertemuan kesastraan modern dan kesastraan rakyat bisa menghadirkan sajian menarik. Ini juga bisa memunculkan kreativitas para seniman dalam berkarya tanpa harus mempertentangkan secara biner, mana yang tradisional mana yang modern. Masyarakat desa, dengan idiom dan suara khas desa yang disajikan oleh pembaca puisi, bisa menikmati, meskipun secara makna masih utuh didiskusikan lebih lanjut. 

Kehadiran Bupati Jember dan rombongan disambut secara kultural oleh Kepala Desa dan Camat Pakusari beserta perangkat yang mengenakan pakaian Madura ala Sakerah dan Marlena. Bupati dinaikkan kereta bendi yang sudah dihias sedemikian rupa ala kereta kerajaan. Bupati pun tampak bahagia ketika diarak oleh para perangkat dan warga. 

Meskipun lewat jalan gelap dan berlubang, tetapi ia menikmati perjalanan menuju panggung. Sambutan ini tentu bisa dimaknai sebagai kebahagiaan Pemdes dan warga Pakusari karena pimpinan mereka berkenan hadir di desa yang sebelumnya tidak pernah dikunjungi. 

Pembacaan puisi | dokpri
Pembacaan puisi | dokpri
Turun dari kereta, di bagian depan jalan masuk ke lokasi panggung, Bupati dan rombongan disambut dengan hadrah yang mendendangkan shalawat. Sembari menyalami para warga, Bupati berulang kali mengucapkan terima kasih. Dr. Eko Suwargono, M.Hum., Ketua DeKaJe menyambut kehadiran Bupati dengan senyum bahagia. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun