Adalah kenyataan bahwa saat ini gotong-royong mulai berkurang intensitasnya dalam masyarakat Indonesia. Ketika kebiasaan transaksional berdasarkan untung-rugi menjadi hegemonik di tengah-tengah masyarakat, solidaritas dan kerjasama tanpa pamrih menjadi semakin langkah.Â
Kekhawatiran tersebut bukanlah isapan jempol. Dalam masyarakat desa, tradisi gotong-royong semakin terpinggirkan. Motif ekonomi dari aktivitas pekerjaan, mendorong warga masyarakat untuk selalu berorientasi kepada pencapaian finansial. Ruang dan peristiwa komunal yang meluruhkan beragam motif ekonomi menjadi semakin langkah.Â
Meskipun demikian, saya tidak mengatakan bahwa gotong-royong sudah sepenuhnya hilang dari ruang perdesaan. Kenyataannya, masih saja ada orang-orang yang membantu tetangganya secara sukarela tanpa dibayar, khususnya ketika ada yang ditimpa musibah, memiliki hajatan tertentu.Â
Gotong-royong untuk perhelatan bersama menyambut hari besar nasional atau peringatan hari besar agama masih dengan mudah kita jumpai. Tantangan ke depan adalah mempertahankan atau kalau bisa mengembangkan gotong-royong yang masih ada itu menjadi tradisi komunal untuk kegiatan-kegiatan masyarakat, khususnya untuk kerja-kerja pengembangan dan pemajuan kebudayaan.Â
Dewan Kesenian Jember (DeKaJe), Pemerintah Desa, dan warga Pakusari, Jember, membuktikan bahwa gotong-royong masih bisa diandalkan untuk menyukseskan pergelaran besar, seperti Lembayung di Sepikul. Acara yang diselenggarakan pada Sabtu, 22 Pebruari 2020, dari pagi hingga malam ini membutuhkan waktu persiapan selama sebulan penuh.
Tanpa gotong royong antarelemen, pergelaran di bawah Bukit Sepikul yang menampilkan bermacam atraksi seni dan budaya akan sulit terwujud. Ratusan seniman yang terlibat, eksperimen panggung terbuka di kawasan Sepikul, ketiadaan anggaran dari Pemkab Jember, dan bayang-bayang hujan dengan intensitas tinggi merupakan realitas hambatan yang bisa mengganggu keberlangsungan acara itu. Ketika tidak ada kekuatan dan spirit solidaritas dan kebersamaan antara DeKaJe, pemerintah desa, dan rakyat, event tersebut tidak mungkin berhasil diwujudkan.Â
Gotong-royong, pertama-tama dilakukan DeKaJe ketika harus memutuskan untuk menggelar event seni budaya guna mendukung pengembangan wisata eko-kultural di kawasan Sepikul. Tanpa anggaran dari Pemkab, pengurus DeKaJe mengadakan beberapa kali pertemuan untuk menyelesaikan persoalan anggaran khususnya terkait honor para seniman penampil, sewa panggung dan sound system, dan lighting system.Â
Tentu itu bukan pekerjaan mudah. Beruntunglah salah satu pengurus DeKaJe berani menawarkan dana untuk kegiatan ini. Dana tersebut murni berasal dari tabungannya. Kebaikan pengurus tersebut mendorong pengurus lainnya ikut urunan, menutup biaya yang dibutuhkan. Bagaimana mungkin pengurus DeKaJe rela untuk melakukan urunan? Ada hal-hal dalam menjalani kehidupan yang tidak selalu harus dihitung dengan untung-rugi.Â
Bagi para pengurus yang masih bertahan di DeKaJe, pengabdian mereka adalah pengabdian kepada alam, manusia, dan budaya Jember. Bukan sesuatu yang main-main. Ketika niat tulus itu diperjuangkan, maka semesta dan Tuhan pasti akan banyak memberikan karunia. Dari situlah persoalan dana tidak perlu dirisaukan.Â