Mohon tunggu...
Deirdre Tenawin
Deirdre Tenawin Mohon Tunggu... -

Instagram : @deirdretenawin

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Setetes Betadine

7 Maret 2013   18:18 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:09 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Suatu pagi di ibu kota. Kicauan burung bersahutan tak lagi mengalun, ditenggelamkan bisingnya kota yang berlomba dengan asa. Yang terdengar hanya suara aduan centong dan panci, yang menyambut pagi dari balik dapur. Sejenak Mbok Darmi meninggalkan kesibukannya dan mengantarkan secangkir kopi hangat ke atas meja makan.

“Korupsi dan korupsi lagi. Yang miskin tambah miskin, yang kaya tambah kaya. Negara ini sudah seperti kapal bocor yang nyaris karam.” Yadi membalik-balikan korannya. Wajahnya pun memerah. Dilemparkannya koran itu ke lantai dan melahap roti di hadapannya. Ada kegeraman di sana. Sementara Widia, putri sulungnya sibuk menarikan jarinya di atas keypad handphone.

“BBMan terus. Makan yang bener.”

“Aku gak BBMan, aku ngetweet kata-kata papa tadi.”

“Apa?”

“Negara ini sudah seperti kapal bocor yang nyaris karam.”

“Dasar caper!” celetuk Palma sembari sibuk mengoleskan selai coklat di atas lembaran rotinya. Baginya, jejaring sosial seperti Twitter itu adalah tempat bagi orang-orang yang kurang perhatian di dunia nyata. Mereka berusaha mencari perhatian lewat 160 karakter yang bertopeng. Tahu apa kakaknya itu tentang politik?

Widia tidak merespon keketusan Palma, ia sudah cukup biasa berhadapan dengan adik laki-lakinya yang dianggapnya aneh dan kuper itu. Tak dihiraukannya Palma, ia asyik dengan handphonenya.

Yadi hanya bisa geleng-geleng kepala melihat ketidakakuran kedua anaknya. Ia menyeruput seteguk kopi hangatnya, kemudian mencoba mengajak bicara putrinya. “Kamu jadinya mau kuliah dimana? Belanda?”

“Itu kan penjajah,” Palma berujar. Lagi-lagi tidak digubris seorangpun di meja makan.

Kali ini Widia menyingkirkan handphonenya sejenak. Meletakkan dagu diantara kedua telapak tangannya dan bertumpu di atas meja. Menerawang langit-langit ruang makan untuk sesaat sebelum akhirnya menjawab pertanyaan yang cukup sulit baginya, “hmm, mungkin di Jepang.” Agaknya ia menimbang-nimbang raut wajah seperti apa yang akan muncul dari ayahnya. Tentunya Jepang bukan negara yang murah.

Memang sudah sejak lama Widia mendambakan Jepang jadi tempat tinggalnya, dimana ia bisa menikmati indahnya kreativitas dan tertular keuletan rakyatnya. Orang Jepang dikenalnya sebagai orang-orang yang rajin dan punya etos kerja yang baik. Lihat saja bagaimana cepatnya mereka bangkit setelah Hirosima diporakporandakan bom Amerika.

“Itu juga penjajah,” celetuk Palma lagi. Kali ini dibarengi tatapan sewot Widia. Palma hanya menaikkan kedua bahunya dan menjulurkan lengannya ketika Yadi memperingatkannya untuk tidak ikut campur. Palma merasa tak ada yang salah dengan kata-katanya. Lagipula mereka memang penjajah, pikirnya ikut sewot.

Yadi sendiri tidak merasa keberatan dengan apapun pilihan Widia, yang penting baginya Widia kuliah di luar, demi pendidikan yang lebih baik. Syukur-syukur jika bisa bekerja di luar negeri dan melayarkan kehidupan di samudra yang lebih baik. Lebih-lebih sebagai pengusaha di Indonesia, ia tak ingin putrinya ikut merasakan muaknya birokrasi berbelit dan penuh nafas korupsi.

“Sudah tahu mau ambil jurusan apa?” tanyanya kemudian.

“Jurusan girlband tuh Pa, JPOP gitu,” celetuk Palma makin asal.

Widia pun kesal dan melemparkan tutup gelasnya pada Palma. “Kamu bawel banget sih Dek!” protesnya.

Dilempar tutup gelas, Palma hanya cengegesan. Ia memang selalu senang menggoda Widia yang selalu dianggapnya galak. Lagipula, ia benci penjajah dan segala hal yang berbau penjajah. Pelajaran sejarah yang diterimanya selama ini telah membuatnya menyalahkan para penjajah itu atas pembentukan mental bangsanya yang tidak matang.

Sementara Widia, baginya terlalu muluk memikirkan masa depan yang lebih baik bagi  bangsa ini dan terlalu naïf menyalahkan penjajah atas kemalasan dan kofidensialitas bangsanya. Ya, itu kenapa Widia dan Palma tidak pernah akur jika dirinya sudah asyik menceritakan cita-citanya akan Jepang.

Widia justru tidak menyangka, kalau-kalau Yadi memberikan lanpu hijau atas pilihannya. Bukan soal penjajah, lebih-lebih soal biaya. Lagi-lagi, Jepang bukan negara murah. Tapi ia tidak menyerah, mumpung ada kesempatan, bergegas disiapkannya kata-kata yang cukup provokatif untuk meyakinkan Yadi, betapa tepatnya Jepang menjadi pilihan.

“Jadi Pa, aku tuh mau ambil jurusan.. ”

“PA! PAPA!” Belum sempat Widia menjawab, terdengar teriakan dari lantai atas.

Yadi mengangkat tangannya seraya menghentikan kata-kata Widia. “Tunggu dulu, kenapa itu sama mamamu?”

“IYA! APA SIH MA??!” teriak Yadi dari tempat duduknya, sambil mendongak pada arah datangnya suara.

“PAPA KE SINI DULU!” kembali teriakan dari lantai atas menggema. Widia pun hanya bisa manyun kehilangan kesempatan meyakinkan ayahnya. Sementara Palma yang mengerti kedongkolan Widia, menahan tawa dengan menyumpelkan penuh mulutnya dengan roti. Kali ini Widia melempar serbetnya tepat ke wajah Palma. Meski tak membuatnya berhenti tertawa.

“MAMA AJA YANG KE SINI!” Yadi sibuk membalas teriakan tersebut.

Tak lama kemudian, seorang wanita menuruni anak tangga sambil menggendong anak perempuan yang terus menangis.

“Kenapa sih?” tanya Yadi kebingungan.

“Ini, anaknya nangis nih gak mau sekolah. Kakinya lecet gara-gara jatuh di kamar mandi tadi,” keluh Dewi sembari menuip-niup kaki Laura, putri bungsunya.

“Ya kalau lecet diobatin dong. Kalau gak diobatin gimana sembuhnya?”

“Udah.. Gimana gitu mau diobatin, baru liat Betadine aja jerit-jerit.” Sahut Dewi masih sibuk meniup dan mengayunkan Laura dalam pelukannya.

Yadi memperhatikan jam di tangannya, sudah saatnya ia berangkat kerja. Ia pun segera berdiri dan dengan lembut menenangkan Laura,”Laura sayang, papa harus pergi kerja. Kamu jangan nangis terus dong. Lukanya diobatin ya sama mama?”

Laura hanya geleng-geleng dan menangis. Yadi mengelus-elus kepala putrinya, mencoba menenangkan. “Kamu kasih eskrim aja, nanti dia diem. Lukanya gak apa-apa kok. Dia masih ngantuk kayaknya, jadi rewel,” pesan Yadi pada istrinya.

Widia, Palma, ayo berangkat!” Yadi mencium manis kening sang istri.

“Tapi kan ceritanya belom selesai Pa?’ protes Widia, meski sambil ikut bergegas ke garasi.

“Ya, lanjutkan di mobil aja. Nanti Papa telat.” Yadi membuka pintu mobil dan menggiring kedua anaknya masuk.

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

“Gimana Pal? Udah dapet ijin liburan ke Bali?” todong Johan dan Gusti menghampiri, begitu melihat Palma.

“Gue belum tanya, soalnya tadi pagi bokap lagi sibuk dengan kapal yang mau karam.”

“Kapal apa yang mau karam?”

“Udahlah, gak penting. Ngomong-ngomong Erwin mana?’ Aneh bagi Palma, melihat Erwin tidak hadir bersama Johan, yang adalah tetangganya. Erwin memang selalu berangkat bersama Johan ke sekolah. Selain karena rumah mereka berdekatan, juga karena Johan selalu membawa sepeda motor ke sekolah.

“Erwin di skors karena nunggak uang sekolah.” Sekelibat Johan mengusapkan telapak tangan di atas jidatnya yang berkerut, tanda keprihatianan yang bingung harus berbuat apa.

“Kenapa bisa?”

Percakapan itu terhenti ketika Ibu Endang, guru PKN yang bertugas mengajar di jam pelajaran pertama melewati ketiganya sambil tersenyum, Tepatnya senyum yang menyindir keberadaan mereka di luar kelas. Palma, Johan dan Gusti pun buru-buru masuk dan bergabung dengan siswa lainnya.

“Apa masalah yang kalian baca akhir-akhir ini di koran?” tanya Endang begitu berdiri di depan papan tulis dengan kapur putih di tangan, siap untuk menulis jawaban anak-anak.

“Anas ditangkep Bu!”

“Apa yang kamu tahu tentang itu?” lanjut tanya Endang pada Ucok yang melemparkan jawaban.

“Gak tau deh Bu, ribet dah masalahnya kayaknya. Saya sih cuma baca judulnya aja tadi pagi. Anas siapa aja, saya kagak kenal Bu”

“Huuuuuuuuuuu,” sorak seisi kelas.

“Yang penting baca,” protes Ucok dengan cengar cengir. Bu Endang pun ikut nyengir.

“Ada lagi?” tanyanya kembali.

Kelas justru hening. Para siswa justru sibuk celingak celinguk mencari kalau-kalau ada temannya yang bisa menafaskan cerita ke tengah-tengah kelas. Suasana yang sangat biasa setiap kali Bu Endang menanyakan pertanyaan yang sama di kelas-kelas sebelumnya.

Palma mengacungkan jarinya, “apa permasalahan terberat bangsa ini menurut Ibu?” Palma justru memberanikan diri bertanyak balik pada Bu Endang.

“Kemiskinan?”

“Lalu, apa yang sudah Ibu lakukan untuk mengurangi kemiskinan?”

Sengaja dilemparkannya pertanyaan yang ternyata berhasil mendiamkan Endang.

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Tawa Gusti menggema sepanjang koridor menuju kantin. “Lu bener-bener bikin Bu Endang skak mat Pal!”

“Gitu-gitu kan dia pahlawan tanpa tanda jasa Pal?” timpal Johan.

“Tanpa tanda jasa itu kalo ngajar di Papua. Kalo di kelas yang ber AC gini mah bukan pahlawan.”

“Terus emangnya, apa yang bisa kita lakuin buat menyelesaikan masalah di negri ini?” tanya Gusti.

Tidak sengaja pandangan Palma tertuju pada seorang gadis di pinggir lapangan basket yang sedang menyirami kakinya dengan air. Ia memperhatikan gadis itu yang mengipas-ngipaskan lututnya dengan telapak tangan.

Gusti mengguncang-guncangkan tubuh Palma. “Jadi, apa yang bisa kita lakukan?” tanyanya lagi karena merasa tidak digubris.

Sempat Palma kaget ketika tubuhnya diguncang, tapi kemudian ia membalikan tubuhnya. “Ambil betadine,” katanya buru-buru berjalan ke UKS, yang kemudian diikuti langkah kedua temannya.

“Betadine buat apa?” Gusti bertanya.

Palma tidak menjawab. Ia berjalan cepat menuju UKS yang tak jauh dari kantin. Meski tak tahu apa-apa, Johan dan Gusti tetap mengikutinya.

“Betadine buat apa?” tanya Gusti lagi yang kini ikut sibuk membongkar lemari obat di UKS. Lagi-lagi Palma tidak menjawab, hanya tersenyum dan meraih betadine yang akhirnya ditemukan Gusti di antara obat-obat lainnya. Ia berjalan cukup cepat, sehingga menyulitkan kedua temannya mengejarnya. Langkah Johan dan Gusti baru terhenti ketika Palma berjalan menuju lapangan. Mereka memperhatikan Palma dari pinggir lapangan.

“Kurang ajar!” seru Gusti begitu melihat Palma memberikan betadine yang dibawanya pada gadis itu.

“Siapa namanya?” tanya Johan begitu Palma kembali.

“Betadine? Ya untuk obatin luka lah.”

“Jangan ngeles kayak Bajaj. Siapa namanya?” tanya Johan seraya memicingkan mata curiga, meminta pertanggungjawaban.

Palma hanya meleos. “Enggak.”

“Lalu?”

“Luka itu harus diobati, bukan diratapi,” tutur Palma cuek.

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

“Kamu keterlaluan! Ini satu-satunya milik kita!”

“Aku melakukan ini demi keluarga kita. Percaya sama aku, ini cuma sementara.”

“Sampai kapan? Aku bosen percaya sama kamu. Sejak nikah sama kamu, satu persatu perhiasan dari orangtuaku kamu gadaikan, dan sekarang, rumah satu-satunya pun mau kamu gadaikan? Kamu keterlaluan!”

“Kamu dukung aku gak sih? Kalau aku maju, kamu juga kan yang merasakan enaknya?”

“Gimana kamu mau maju kalau kamu keras kepala dengan idealisme kamu itu?

“Aku cuma mau mengembalikan kehormatan perfilman kita.”

“Kehormatan apa? Sejak dulu film-film kita juga sudah erotis dari sananya!”

Sudah sejak lima menit lalu Palma dan Johan berdiri di depan rumah Erwin. Maksud hati menengok keadaan Erwin, tetapi mereka tidak berani masuk karena suara ribut yang terdengar dari dalam rumah.

Palma mengusapkan keningnya yang berkeringat dengan sapu tangan,”gue berasa lagi di ruang rapat Lembaga Sensor Film.”

“Seperti biasa, kalau mereka ribut, suaranya kemana-mana. Kadang-kadang tetangga di sini suka kepo ngupingin,” Johan bercerita. Ia memang sudah sering lewat depan rumah Erwin dan mendapatkan kedua orangtuanya bertengkar.

“Memang apa masalahnya?” tanya Palma penasaran. Palma memang pernah melihat orangtuanya bertengkar, tetapi tak pernah seheboh ini.

“Ayah Erwin itu produser film. Dia punya production house. Tapi ya gitu, film-film karyanya gak laku di pasaran. Awalnya sih istrinya senang-senang aja modalin suaminya dengan minjemin perhiasannya untuk digadaikan, tapi akhirnya, gak ada hasilnya, Padahal pertamanya, istrinya dengan bangga cerita ke tetangga-tetangga kalau suaminya jadi produser, tapi sekarang malah sering berantem terus,” Johan memandangi rumah itu dengan penuh prihatin. Padahal ia dulu sempat ikut bangga ketika ada tetangganya yang jadi produser film.

Palma heran mendengar cerita Johan. Mengapa temannya ini tahu begitu banyak tentang permasalahan keluarga Erwin.“Loe sering ikut ibu-ibu PKK arisan ya Jo?”

“Kenapa?”

“Update gossip banget Bro!”

“Hehehe namanya juga tetangga.”

“Ya, tetangga yang suka gossip.”

Tak apalah, pikir Palma. Terkadang tetangga yang suka gossip mungkin lebih baik daripada tetangga yang tak peduli dengan sekelilingnya. Tetangga-tetangga seperti itulah yang selalu ditemuinya setiap pagi di sekeliling rumahnya. Pagar-pagar tinggi itu telah memisahkan mereka dengan dunia sekitarnya.

Erwin terkejut seketika, ketika melihat dua sosok yang dikenalnya saat hendak menutup gorden jendela kamarnya. Akhirnya ia memutuskan untuk keluar dari kamar dan menghampiri kedua temannya itu setelah seharian mengunci diri.

“Kalian ngapain?” tanyanya menghampiri mereka.

“Erwin. Akhirnya loe keluar juga,” tak ragu Johan membuka pintu pagar dan merangkul Erwin. Kakinya memang nyaris berkonde setelah hampir sejam berdiri.

“Kenapa kalian gak bilang kalau mau dateng? Telepon dulu gitu?”

Palma berpura-pura bodoh, seolah ia tidak mendengar apapun dari Johan. “Loe gak masuk sekolah. Jadi kita khawatir sama loe.”

Erwin bingung harus menjawab apa, ada rasa malu di sana untuk mengungkapkan yang sebenarnya. Namun akhirnya, ia memilih untuk jujur.“Gue diskors.”

“Diskors, kenapa?” tanya Palma.

“Bokap.. Bokap.. lagi.. susah. Belom bisa.. bayar uang sekolah.” ungkap Erwin terbata-bata sambil menundukkan kepala. Ia merasa malu akan kesenjangan dirinya dengan Palma dan Johan. Sekalipun mereka bermain bersama, mereka datang dari keluarga yang jauh berbeda kasta ekonominya.

Palma menghampiri Erwin dan merangkulnya erat, “Tegar Bro!” katanya sembari menepuk keras bahu Erwin.

“Memang bokap loe lagi bikin film apa?” tanya Johan yang diikuti tatapan melotot Palma.

“Film tentang Pramuka. Sebenarnya rencananya film itu akan perdana di semua bioskop pada minggu ini, tapi karena banyak film holywood boxoffice yang masuk, sehingga hanya tayang di beberapa studio 21.” Erwin melanjutkan,”itu yang buat bokap habis-habisan. Ia berencana untuk menggadaikan rumah ini, agar dapat mendapat pinjaman sementara dari pegadaian untuk melunasi hutang-hutang biaya produksi yang belom dilunasi.”

“Kenapa bokap loe bikin film pramuka? Kenapa gak bikin film pocong aja? Biasanya lebih laku tuh Win. Apalagi kalo yang main si Julia Perez,” usul Johan.

Palma yang kesal dengan pertanyaan Johan yang dianggapnya ngawur, menendang kaki Johan. Ditendang kakinya, Johan hanya melemparkan wajah diplomasi.

Melihat tingkah kedua temannya, Erwin tersenyum,“gak apa-apa Pal. Yang Johan bilang itu bener.”

“Tuh. Bener Gue,”sambung Johan membela diri.

“Tapi bokap punya idealisme sendiri. Dia selalu bilang, kalau seniman itu bukan hanya menghasilkan karya film. Tapi karya film itu juga adalah seniman itu sendiri. Artinya, kita gak akan pernah tahu, apa yang bisa dilakukan sebuah film untuk membentuk kehidupan penontonnya. Film itu sebagai senimannya dan hidup penonton itu sebagai karya seninya.” Erwin menjelaskan. Ia memang ikut merasakan susahnya hidup bersama sang ayah. Tapi tak apa baginya, karena ia selalu bangga akan keputusan ayahnya. Ayahnya selalu bilang bahwa rejeki itu dari Yang Mahakuasa, bukan dari film-film hantu porno. Sehingga, seniman harus lebih takut pada Tuhan daripada takut miskin.

Palma mengeluarkan amplop putih dari sakunya,“gue bangga sama pemikiran bokap loe. Gak banyak yang mau repot mikir jauh soal kehidupan orang lain, bahkan yang gak dikenalnya. Tapi loe harus tetep sekolah Win, kalo gak loe bisa ketinggalan pelajaran.” Palma meletakkan amplop putih yang dipegangnya di atas telapak tangan Erwin,“loe bisa pake ini dulu”.

Erwin mengambil amplop putih itu dan memasukkannya ke dalam saku jaket yang dikenakan Palma. “Terimakasih Pal, tapi bokap gue seorang seniman, bukan pengemis.”

“Gue gak maksud begitu Win, gue cuma mau”

“Gue tahu Pal, tapi gue percaya sama bokap gue. Gue percaya kalo film yang dia buat dengan ketulusan itu pasti gak sia-sia,” tutur Erwin sembari berdiri dan bermaksud meninggalkan Johan dan Palma.

Palma menahan bahu Erwin,”sorry gue gak maksud. Apa judul film yang dibuat bokap loe?”

“Kami Pramuka,” jawabnya, kemudian masuk ke dalam rumah tanpa sedikitpun menoleh ke belakang.

“Kenapa dia sensi gitu?” tanya Johan kebingungan.

Palma menarik Johan dan mengajaknya meninggalkan teras Erwin. “Kita nonton Kami Pramuka,” katanya sembari membuka pintu mobil.

“Sekarang????”

Palma tidak menjawab pertanyaan Johan. Ia sibuk mengutak atik ipadnya dan mengecek jadwal tayang film.

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

“Gimana kalau kita ngumpulin duit buat uang sekolah Erwin?” tanya Gusti begitu mendengar cerita Johan di kantin.

“Dia bilang bokapnya seniman bukan pengemis.”

“Dia bilang gitu?”

“Iya, dia bilang gitu.”

Kali ini Palma ikut nimbrung,”mendingan loe nonton Kami Pramuka gih Gus. Cewek loe kan banyak. Banyak yang bisa loe ajak nonton.”

“Men, loe pikir cewek gue polwan apa, ngajakin cewek gue nonton pramuka. Bisa langsung diputusin gue.”

“Cupu loe!” Palma bangkit dari bangkunya, meninggalkan Gusti dan Johan. Batinnya marah mendengar komentar Gusti yang mengecewakannya. Entah mengapa ia merasa begitu marah. Mengapa orang-orang ini begitu merendahkan film Kami Pramuka tanpa pernah menontonnya? Ataukah memang ia terlalu berlebihan jika meminta Gusti menonton film itu? Tidakkah Gusti sadar, kalau satu tiket bioskop yang dibellinya dan waktu 90 menit yang direlakannya di dalam bioskop bisa begitu berarti buat Erwin dan ayahnya? Entahlah. Semua ini terasa begitu menyebalkan.

Palma berjalan menyelusuri lorong kelas ketika dua orang adik kelas yang tidak dikenalnya, menghampirinya dengan membawa kotak yang bertuliskan ‘Sumbangan Pesta Kemerdekaan’.

“Kak sumbang dong, buat acara kemerdekaan kita.”

Palma mengeluarkan selembar lima puluh ribuan dari dalam dompetnya dan memasukkannya ke dalam kota sumbangan. Senyum sumringah terpancar dari wajah kedua adik kelas tersebut.

“Terimakasih banyak kak sumbangannya. Kakak mau ikut lombanya juga?”

“Lomba apa?” tanya Palma setengah peduli.

“Ada lomba balap karung, makan kerupuk, tarik tambang, baca puisi.”

Palma berpikir sejenak, “daftarin gue di lomba baca puisi.”

Dengan senang hati Doni menuliskan nama Palma di buku catatan yang dibawanya,“Udah dicatat Kak! Untuk jadwal tampilnya, nanti kami hubungi.” Doni menutup buku catatannya.

“Loe pada udah nonton film Kami Pramuka?”

Desi dan Doni saling berpandangan. Mereka memang belum pernah mendengar nama judul film itu, “belom Kak. Itu film apa Kak?” tanya Desi penasaran.

“Loe pada harus nonton, filmnya bagus banget.” Katanya pada Desi dan Doni.

Desi dan Doni kembali berpandangan,“nanti kita nonton deh Kak.” Sahut Desi.

Johan dan Gusti menghampiri Palma. Melihat kedua sahabatnya mengejarnya, Palma segera melambaikan tangannya pada Desi dan Doni, dan beranjak. ”Pal. Tunggu!” teriak Johan dan Gusti. Gusti yang berjalan di depan Johan, berhasil merangkul Palma yang hanya diam dan mengabaikan panggilan mereka.

“Jangan ngambek gitu dong, kayak cewek aja!” ujar Gusti.

Palma menepis tangan Gusti.

“Gue cuma bercanda Bro, loe jangan marah terus dong. Ayok deh kita nonton Kami Pramuka.” ajak Gusti. Ia sadar bahwa kata-katanya di Kantin tadi pada Palma, mungkin tak mengenakkan. Bagaimanapun Erwin memang sahabatnya.

Johan menarik tangan Gusti dan Palma. “Ayok ikut gue!” “

Gusti menarik tangannya, “kita mau kemana?” tanya Gusti.

Johan balik menarik tangan Gusti kembali, “loe ikut aja, jangan bawel kenapa sih!”  Sepanjang jalan, Palma dan Gusti masih saling berdiam. Palma enggan untuk berbicara dengan Gusti, karena perasaannya pada Gusti memang sedang tidak enak. Gusti pun tak punya nyali untuk bicara sepatah katapun dengan Palma. Wajah Palma yang tegang membuatnya ikut tegang.

Mereka masuk ke dalam perpustakaan. Johan mengambil tempat di meja komputer yang kosong. Perpustakaan memang menyediakan komputer untuk para siswanya, agar bisa mengakses internet secara gratis. Ruang perpustakaan siang itu ramai karena sedang jam istirahat. Palma dan Gusti terpaksa berdiri karena tidak mendapat tempat duduk.

Palma akhirnya angkat suara, “kita mau ngapain sih?”

“Ini adalah kesempatan melakukan sesuatu untuk Erwin, bapaknya dan untuk bangsa kita,” Johan berujar.

“Apa?” Gusti menunjukkkan wajah lebaynya. Kali ini Johan benar-benar kesambet menurutnya. Ekspresinya tak lain dan tak bukan untuk merespon kelebayan Johan.

“Gue serius!” tukas Johan.

Tak biasanya Johan serius. Bagi Palma dan Gusti yang telah berteman dengan Johan selama 2 tahun, keseriusan Johan adalah peristiwa langka.

“Gus, kenapa orang Indonesia gak mau nonton film Indonesia?” Johan melanjutkan.

“Karena….. Kesannya gak keren mungkin?

“Kita buat keren!” seru Johan.

“Gimana caranya?” tanya Palma.

Johan mengakses situs bioskop, kemudian Facebook dan Twitter yang dimilikinya. Ia memasukkan link film Kami Pramuka yang dicopynya dari situs bioskop ke halaman Facebook dan Twitternya. Beberapa kalimat promosi ditambahkannya.

“Begini caranya!” katanya bangga. Kini Palma mengerti apa yang dimaksud Johan. Begitupun Gusti. Ia segera mengeluarkan handphonenya dan menyebarkan beberapa pesan singkat, mempromosikan film Kami Pramuka pada teman-temannya. Ia juga menawarkan tiket gratis bagi mereka yang mau menemaninya nonton.

Tak beberapa lama, komentar demi komentar di Facebook Johan bermunculan. Menanyakan tentang film Kami Pramuka yang Johan tuliskan sebagai film menarik yang ditontonnya. Johan, Gusti dan Palma tersenyum melihat jempol-jempol yang bermunculan di posting yang mereka buat.

“Gue pikir, ini yang bisa kita lakuin sesuai kapasitas kita sebagai anak SMA,” komentar Johan. Palma tersenyum,”kali ini, loe pinter!”

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Lapangan upacara telah dipenuhi dengan siswa-siswa dari berbagai sekolah. Beberapa diantaranya merupakan tamu undangan. Mereka diundang untuk bersama-sama merayakan kemerdekaan RI di SMA Negri 10. SMA Negri 10 yang menjadi tuan rumah mengadakan berbagai macam perlombaan, mulai dari tarik tambang, makan kerupuk, balap karung sampai baca puisi. Sebentar lagi saatnya para kontestan membacakan puisinya di depan semua penonton.

Palma telah bersiap di pingir lapangan. Ia sudah siap dengan kostum Supermannya.

Gusti membalik-balikan sayap Superman Palma, “loe bener-bener bakalan naik ke panggung dengan kostum ini?”

“Yup,” Palma menganggukan kepala.

“Sejak kapan loe bisa puisi?” tanya Johan heran dengan keputusan Palma untuk ikut dalam kompetisi puisi. Palma yang dikenalnya, nilai pelajaran bahasa Indonesianya aja pas-pasan.

“Gue emang gak bisa,” jawab Palma cuek. Ia langsung naik ke panggung, begitu namanya di sebut.

“Terus kenapa dia naik?” tanya Johan pada Gusti. Gusti hanya mengangkat bahu.

Kini Palma berdiri di depan ratusan orang yang menatapnya dengan kaget. Banyak yang langsung tertawa dan membicarakan kostum Superman yang dikenakannya. Siswa-siswa yang tadinya berkeliaran, sibuk membeli jajanan langsung berkumpul di lapangan, ingin melihat siapa yang menggunakan kostum Superman di atas panggung. Gusti dan Johan yang berdiri di belakang panggung menutup wajah mereka dengan tangan. “Seperti yang gue duga,”ujar Gusti.

Sebenarnya Palma merasa malu mengenakan kostum itu dan ditertawai oleh sekian banyak orang. Dalam sekejab, ia merasa dirinya sukses menjadi badut.  Tapi sudah terlambat untuk mundur, apa yang direncanakannya harus tetap ia lakukan. Palma tersenyum pada penonton dan mengambil mic yang disodorkan panitia.

“Teman-teman dan bapak ibu guru, sebelumnya saya minta maaf, karena saya tidak bisa berpuisi. Tapi apakah gunanya juga saya berpuisi di sini dan kalian memanjat pinang di sini, tarik-tarikan an pakai tali tambang di sini, bahkan loncat-loncat pakai karung itu di sini dan membuang-buang kerupuk untuk main-main di sini. Di luar sana, sebagian besar rakyat kita butuh kerupuk untuk makan sehari-hari. Sebagian besar rakyat kita kelaparan, cuma minum air putih berhari-hari karena gak mampu beli makanan. Sementara presiden tercinta kita menambah hutang negara dengan membeli pesawat mewah. Apa yang sedang kita rayakan?” teriak Palma. Lapangan tiba-tiba berubah menjadi hening. Semua mata tertuju pada Palma.

“Siapa yang sudah nonton film Kami Pramuka?” tantang Palma. Beberapa tangan terlihat terangkat, meski masih kalah dengan tangan-tangan yang sembunyi dibalik saku celana dan rok. “Apa yang sudah kita lakukan untuk menyelesaikan masalah yang ada di bangsa ini? Bahkan untuk nonton film hasil karya bangsa kita aja, kita enggan. Kalau masih ada sineas Indonesia di luar sana yang kelaparan, itu salah kita! Mungkin kita tidak punya hak atas pakaian, sepatu, buku dan gadget yang melekat pada tubuh kita, karena orangtua kita yang memilihkan. Tapi setiap dari kita di sini punya hak penuh ketika datang ke bioskop dan menentukan karcis film apa yang akan kita beli. Kalau hal sesederhana itu saja tak mampu kita lakukan, tak ada gunanya saya baca puisi kemerdekaan sampai monyong di atas sini. Bangsa ini gak butuh omong kosong generasi muda, bangsa ini butuh keterlibatan nyata kita untuk mengisi kemerdekaan. Sekian.” Palma menuruni panggung dan melepaskan kostum Supermannya.

Suasana di lapangan tetap hening. Baik siswa maupun guru di lapangan terdiam sesaat. Bisik-bisik mulai terdengar diantara para siswa ketika MC mengambil alih acara. Johan menghampiri Palma di belakang panggung dan memberikan tepukan tangan untuk sahabatnya, “gue bangga sama loe.”

Lain dengan Johan, Gusti justru mempertanyakan aksi Palma, “sebenarnya apa sih untungnya kita ngelakuin ini semua?  Apa setelah loe bicara di atas sana, akan menolong perfilman Indonesia?”

Palma melepaskan sepatu Superman yang tadi dikenakannya,“mungkin enggak banyak menolong.”

“Lalu?”

“Gue cuma mencoba mengobati luka bangsa ini daripada meratapinya. Khususnya luka yang dirasakan para sineas Indonesia yang karyanya dipinggirkan bangsanya sendiri.”

“Kalau lukanya gak sembuh-sembuh?” tanya Gusti.

Palma mendekatkan dirinya pada Gusti, “pernah dengar peribahasa, karena nila setitik, rusak susu sebelangga?”

“Peribahasa sejak jaman kita SD,” celetuk Johan.

“Mari kita jadi betadine setetes yang mengobati luka sebangsa!” tegas Palma.

Setelah peristiwa di hari kemerdekaan itu, Palma mendapat teguran keras dari kepala sekolah karena dianggap telah merusak acara sekolah. Ia mendapat skors selama dua hari. Meski mendapatkan skors, tak ada penyesalan dalam hati Palma. Lebih-lebih karena Erwin bercerita kalau angka penjualan tiket film Kami Pramuka meningkat hingga 30 persen dari minggu sebelumnya. Kini Palma pun aktif menggunakan situs jejaring sosialnya untuk mempromosikan film-film Indonesia yang tayang di layar lebar. Kalau setiap orang meneteskan betadine, maka satu luka akan terobati. Sebulan kemudian, Erwin kembali ke sekolah. (Deirdre Tenawin)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun