Tak bisa jauh dari mengingatmu, setiap petang Diki menuliskan hasratnya melalui angin yang datang, yang setengah terpaksa datang ke kamarnya yang pengap. Kertas-kertas berserakan, buku- buku tercecer-cecer, puntung rokok memenuhi asbak yang sepertinya berhari-hari tak dibuang. "Kenangan memang, kadangkala membutakan. Bukan saja cinta !"
" Jika rindu sama dengan gerimis yang tiris ketika petang hampir habis, karena cinta sudah selesai. Apakah tak boleh kita mengenangnya dengan manis sejenak saja. Meski pahit serta menyesakkan ? Barangkali pertanyaan bodoh, namun barangkali boleh jadi bukan pertanyaan itu yang membuatnya merasa sedih. "
 Vie bukan sekedar kenangan yang terindah ketika mengenal pertama kalinya cinta di usia yang dini. Betapa banyak yang terjadi , jejaknya sungguh tak terhapus waktu. " Bukan sekedar cinta pertama," tandasnya. Mengambil cangkir yang berada di depannya , kopinya sudah dingin. Tak apa-apa , sambungnya. Ada yang mau dan bersedia mendengarkan segala cerita yang aku kisahkan, sebuah kebahagiaan yang tak terperi.
Diki tahu pasti, sekedar bermimpipun sesungguhnya ia tak boleh lagi. Namun bermimpi ataupun terjaga, Diki tak bisa lagi membedakannya dengan pasti. Ia merasa ketika tak bisa jauh dari mengingatnya. Tak ada yang bisa diperbuatnya. Menunggu pun seolah menantikan ketidakpastian demi ketidakpastian.
Namun, sayangnya justru disanalah yang membuatnya kangen, kangen, dan kangen....
Lupa uban telah tumbuh di kepalanya. Berserak. Tak cuma satu dan dua.
" Justru uban ini yang membuatku kian bersemangat untuk memahatkan jejaknya yang tak terhapus waktu. Sebuah langkah yang tak bijak, boleh jadi. Begitulah orang memandangnya, "Â keluhnya.
Cinta di usia senja, atau apapun namanya, barangkali bisa menimpa siapa saja. Apapun sebabnya, atau pemicunya, boleh jadi bukan semata rasa sepi yang menggigitnya ketika anak-anak sudah pada gede. Dan kehilangan kepercayaan diri, merasa tak diperlukan lagi misalnya.
tak ada yang lebih arif dari vie
dihapusnya jejaknya yang ragu-ragu
ketika senja tiba