Mohon tunggu...
Deni Hamkamijaya
Deni Hamkamijaya Mohon Tunggu... wiraswasta -

penggemar cerpen, novel, juga puisi. kadang suka nulis, kadang suka protes , ingin menjadi orang sabar , sungguh tak mudah.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Hanya Entah!

26 Mei 2014   05:52 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:06 247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_338546" align="aligncenter" width="560" caption="Ilustrasi/ Kompasiana (Kompas.com)"][/caption]

Selalu. Kita pulang kembali pada kesendirian, kelenggangan yang dulu kita cemaskan. Bersama risau kita mencoba berdamai. Bersama cemas kita mencoba berbagi. Tak selalu tercapai. Tentu saja. Detak yang lamban. Seperti sebelum-sebelumnya jua.

"Aku tak pernah menyesal mencintaimu ," desisnya. Aku terharu dan merasa gugup. Diluar langit sudah senja. Kami bercakap di teras belakang. Beberapa lampu telah dinyalakan.

Kenangan kiranya, keluhnya, senantiasa membuhulkan gelisah yang tak terkira. Aku mengiyakan sambil memegang tangannya. Angin mengirimkan gigil. Sepi mengetuk-ngetuk jendela hatiku.

Ada gaduh dalam dadaku ketika memeluknya, semacam risau, kemana hubungan ini akan berlabuh.

Di tempat ini, dulu,tak terlalu dulu sesungguhnya. Ia meneguk kenangan. Ini cangkir kopi yang kelima, desisnya. Seolah ia akan meneguk kenangan yang terakhir. "Melipat kenangan susah juga. Dan runyam," teriaknya lantang.

Kenangan dan secangkir kopi, tentu saja dua hal berbeda. Namun ketika risau di puncak ubun-ubun , secangkir kopi bagai bisa yang bisa mementahkan ingatan. Bersama esai panjang tentang angin serta udara, juga malam yang melesat ke gorong-gorong di kota tak bernama.

Ingatan atau kenangan menjadi mahluk yang karib dalam kesendirian. Bertukar harapan. Bertukar cerita. Bertukar tentang kecemasan. Lalu saling merapat. Berdekapan. Di suatu tempat yang jauh dari kegaduhan. Tentu saja.

Namun cukupkah seperti itu, selalu dan selalu. Lantas bergegas dengan cemas pulang  ke rumah masing-masing. Lalu beberapa waktu saling menelpon. Tak berdaya memendam hasrat. Kenangan yang tak juga terlipat. Kenangan yang senantiasa menghisap.

"Cinta yang tersesat ini, cukup manis juga," desahnya sambil tersenyum rawan. Rasa gamang tiba-tiba datang menyentak. Namun dengan datangnya kecupannya yang bertubi-tubi rasa gamang itu perlahan-lahan sirna.

Tentu saja, bukan cuma berahi yang membuat kami senantiasaa ingin bertemu. Kenangan,ya, kenangan yang senantiasa awet berjaga yang membuat kami merasa muda. Sesuatu yang mudah kita duga. Meski pada akhirnya rasa risau serta gaduh membuat kita acapkali bergegas. Tak ada yang mudah pada akhirnya. Namun kerapkali kita bebal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun