Guru adalah penentu maju mundurnya suatu bangsa. Tanpa guru, sebuah bangsa tidak akan maju terutama dari sumber daya manusia yang dimiliki. Jika kita merujuk pada peristiwa bom atom yang dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki pada tahun 1945, maka kita dapat bercermin dari Jepang. Ketika Jepang hancur karena bom atom, Jepang berusaha bangkit. Kaisar Hirohito (1926-1989) pertama-tama memerintahkan menteri pendidikan untuk menghitung jumlah guru yang masih hidup. Beberapa sumber menyebutkan bahwa pada saat itu guru yang tersisa berjumlah 45.000 orang.
Kaisar Hirohito mendatangi para guru dan memberi dukungan dan arahan. Kemudian Kaisar Hirohito memberikan lima butir perintah dan arahan yang harus dilaksanakan oleh para guru agar negara Jepang kembali maju yakni: Pertama, guru harus melaksanakan pendidikan yang bermutu. Faktor-faktor yang menentukan mutu pendidikan terletak pada unsur-unsur dinamis baik di sekolah maupun luar lingkungan sekolah. Maka, guru menjadi pelaksana pendidikan di tingkat institusional dan instruksional.
Kedua, guru harus memberi contoh. Para guru memberikan dan menanamkan nilai-nilai yang terkandung dalam pengetahuan melalui teladan. Dengan demikian peserta didik mampu meneladani tindakan langsung dari seorang guru. Ketiga, guru harus lebih pintar dari peserta didik. Guru harus dipilih dari orang-orang pilihan. Guru dituntut cerdas, mengajar dengan sepenuh hati. Keempat, pendidikan harus memampukan peserta didik untuk siap bekerja di industri (siap kerja). Kelima, mengirim guru untuk belajar keluar negeri. Belajar di luar negeri penting untuk menimba ilmu, menambah pengalaman, wawasan global. Hal tersebut menjadi bekal untuk kemajuan bangsa.
Tindakan yang dilakukan oleh Kaisar Hirohito yang menghargai profesi seorang guru telah membawa perubahan yang luar biasa. Dalam waktu yang singkat, Jepang bangkit kembali seperti sedia kala baik dalam bidang pendidikan maupun bidang lainnya. Berbanding terbalik dengan bangsa Indonesia, di mana profesi guru dipandang sebelah mata. Bahkan bagi banyak orang pilihan terakhir di antara banyak pilihan jurusan ketika kulaih. Pilihan terakhir karena biaya kuliah pendidikan guru bisa dijangkau. Penghargaan dari pemerintah terkaitpun bisa dikatakan minim.
Jangankan memberikan beasiswa kepada guru untuk belajar di luar negeri, kesejahteraan guru saja kurang diperhatikan. Lebih ironis lagi UU No. 14 Tahun 2005 Â Tentang Guru dan Dosen yang diterapkan dengan syarat harus memenuhi kriteria ijazah Strata Satu (S1). Syarat tersebut hanya sekedar syarat administratif untuk menjadi guru. Syarat administratif tersebut terkadang tidak menekankan kualitas kepribadian seorang guru. Akibatnya pendidikan yang diberikan tidak bermutu dan tidak sesuai sasaran. Pendidikan yang tidak bermutu akan berakibat dari menumpuknya pengangguran yang lulus tanpa skill.
Selamat Hari Guru untuk sema Guru di Indonesia.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H