Mohon tunggu...
Defrida
Defrida Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis

Tulisanmu adalah bentuk semesta yang kau mimpikan

Selanjutnya

Tutup

Politik

Aneksasi Tibet, Ada Nyanyian yang Harus Didengarkan

22 Oktober 2024   10:29 Diperbarui: 22 Oktober 2024   11:50 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Seminggu yang lalu saya mendapatkan notifikasi rekomendasi video dari Youtube untuk ditonton. Sebuah film dokumenter tentang kehidupan para budak di Tibet sebelum China melakukan invasi ke wilayah yang dipimpin oleh Dalai Lama pada tahun 1951. Tibet merupakan suatu wilayah yang menganut sistem pemerintahan Teokrasi, di mana pemimpin agama merupakan pemimpin tertinggi. Sebelum menonton film dokumenter ini, pandangan saya hanya tentang hitam dan putih akan aksi invasi militer China ke "Negeri di atas awan"

Ya, bertahun-tahun media Barat selalu memojokkan China dalam invasi ke Tibet. Bahkan seorang Musisi asal Islandia bernama Bjrk pernah melakukan sebuah aksi kontroversial ketika melakukan konser di Shanghai, dan meneriakan kalimat "Free Tibet!", yang kemudian membangkitkan kemarahan pemerintah China. Aksi kontroversial itu dipuji-puji oleh para liberalism karena melihat aksi Bjrk sebagai aksi yang mendukung kemanusiaan. Sedangkan China masih menjadi aktor "antagonis" dalam sejarah pecinta liberalism.

Benar kata orang, jika sejarah adalah milik pemenang. Akan tetapi bagi saya, jika sejarah tidak diteliti dan dipelajari dari dua perspektif atau lebih, bagaimana manusia di dalam peradabannya mampu membedakan kebajikan dan kefasikan?

Kembali pada konten film dokumenter yang menceritakan kehidupan para budak di Tibet sebelum invasi China. Film dokumenter ini dimulai dari cerita seorang budak bernama Tsering Lhamo yang menghabiskan sekitar 20 tahun lebih dari masa mudanya sebagai seorang budak. Baginya, sebelum invasi China ke Tibet, seorang budak sepertinya atau bahkan leluhur sebelumnya hanya akan mengulangi lingkaran kehidupan yang sama. Lahir dan meninggal sebagai seorang budak, tak ada yang dapat mengubahnya. Tak ada budak yang dapat bertahan hidup hingga usia 50 tahun akibat beban kerja yang berat dan makanan yang tak mencukupi bahkan tak layak. Ketika Lhamo berusia 12 tahun, dia harus dipisahkan dengan ibunya untuk mengabdi pada tuan yang lain, sejak saat itu hingga usianya mencapai 95 tahun, dia tak pernah melihat ibunya lagi. Perihal sang ayah, Lhamo tak dapat mengetahuinya dengan pasti, karena sejak masih bayi, ayahnya telah mengabdi pada tuan lainnya. Meski invasi China ke Tibet dianggap sebagai kejahatan bagi kaum Liberalism, tetapi seorang Lhamo justru merasakan "kemerdekaannya" ketika militer China berhasil menduduki Lhasa, ibukota Tibet. Di usianya yang hampir mendekati seperempat abad, barulah dia memiliki akses untuk mendapatkan pendidikan dasar.

Selain Tsering Lhamo, ada pula pasangan suami-isteri Jian'a dan Tsering Yuzhen yang juga menjalani masa kecil hingga remaja mereka sebagai budak dari satu majikan yang sama. Jian'a bertugas merawat dan mengawasi keledai milik sang majikan. Pekerjaan paling berat bagi Jian'a adalah ketika disuruh membawa keledai-keledai tersebut ke kota Lhasa. Perjalanan dari desa sang majikan menuju Lhasa biasanya ditempuh selama 3-4 hari. Tak jarang Jian'a harus menahan lapar sampai keledai-keledai tersebut terjual di Lhasa. Tsering Yuzhen juga harus merasakan pahit getirnya menjadi seorang budak. Tak jarang mendapatkan pukulan apabila dia tak mampu mengerjakan pekerjaan yang diberikan. Semua beban kerja dan kekerasan yang mereka dapatkan hanya di bayarkan dengan makanan yang tak layak dari pada makanan anjing dan pakaian yang lebih buruk dari milik para pengemis di kota Lhasa. Bukan tanpa perlawanan, Jian'a sering berusaha melarikan diri dari sang majikan, tetapi hidup dalam budaya yang terikat oleh doktrin-doktrin pesimis bahwa "Takdir seorang raja adalah menjadi seorang raja, Takdir seorang budak adalah menjadi seorang budak" membuat orang tua kandung Jian'a yang juga merupakan budak justru memilih mengantarkan anak mereka kembali ke rumah sang majikan. Hidup bagi Jian'a seperti rantai penderitaan yang tak pernah putus. Pada tahun 1951 setelah militer China menduduki Tibet, Jian'a dan Tsering Yuzhen bisa mendapatkan sedikit kemerdekaan mereka sebagai seorang individu yang berhak mendapatkan upah dari hasil kerja keras mereka.

Pada tahun 1959 para aristokrat Tibet berusaha untuk melakukan gerakan perlawanan terhadap pemerintahan China, yang kemudian dibalas dengan tindakan militer secara keras oleh China. Segera setelah itu status otonomi Tibet dihapuskan, otoritas keagamaan di bawah negara atau menurut versi pemerintah China "di bawah pengawasan negara", tanah-tanah Aristokrat Tibet diambil alih oleh negara kemudian diberikan hak pengelolaan dan pemanfaatan kepada para bekas budak. Praktik perbudakan dianggap ilegal oleh pemerintah yang berkuasa, satu-satunya cara mempertahankan para budak hanya melalui sistem pekerja upahan sehingga lambat laun, para budak yang telah dibebaskan oleh para majikan kemudian beralih menjadi para petani di lahan-lahan yang telah disediakan negara. Berdasarkan data sensus penduduk Tibet pada tahun 1950, terdapat 95%  dari jumlah keseluruhan penduduk Tibet merupakan budak dan pengemis, sedangkan 5% merupakan kaum elit yang terdiri dari kelompok keagamaan, Raja/bangsawan dan pedagang. Sebuah perbandingan yang tidak masuk akal bagi saya, bagaimana bisa 95% atau katakanlah 85% penduduk tersebut dapat dikendalikan oleh 5% tanpa ada perlawanan selama ratusan tahun? Apakah harus melalui revolusi militer agar kesadaran itu timbul? Apakah harus sedikit materialis untuk menggugurkan doktrin-doktrin pesimistis?

Puluhan tahun setelah invasi China ke Tibet, Tsering Lhamo dan para budak lainnya berhasil memutuskan rantai kehidupan mereka sebagai budak. Anak dan Cucu mereka bisa hidup sebagai orang-orang yang memiliki akses yang sama dalam pendidikan dan penghidupan mereka.

Hingga tulisan ini dipublikasikan, saya masih berpandangan bahwa invasi militer tak pernah dibenarkan. Apa yang dilakukan China pada masa itu merupakan pelanggaran terhadap kedaulatan suatu wilayah. Akan tetapi, dibalik invasi tersebut ada cerita yang harus dibaca dan ada nyanyian yang harus didengarkan.

Ya, kebajikan dan kefasikan merupakan dua ruang yang berbeda meski berpintu sama. Hanya dengan kebijaksanaan,  kita dapat membedakannya

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun