Salah satu tujuan negara ini adalah mencerdaskan kehidupan berbangsa. Sejak awal negara ini didirikan, pendidikan merupakan salah satu aspek yang paling diperhatikan dalam upaya pembangunan negara.
Selama berpuluh-puluh tahun kepemimpinan Soekarno, bidang pendidikan lebih banyak diupayakan melalui pemberian beasiswa keluar negeri kepada para pelajar utamanya merek yang menggeluti bidang teknologi.
Gelombang pelajar ini, dikirimkan ke Negara Soviet dan Eropa-eropa Timur, hal ini dikarenakan kedekatan politik antara Presiden Soekarno dengan pemimpin-pemimpin dari negara komunis.
Bisa dimaklumi keputusan ini mengingat Presiden pertama Indonesia tersebut memiliki ambisi dalam pertahanan sehingga beliau ingin mengejar ketertinggalan dalam teknologi militer. Tetapi kesempatan ini tentunya terbatas dan tidak semua rakyat Indonesia mendapatkan akses yang sama pada masa itu.
Di era Presiden Soeharto, kebijakan yang sama juga diterapkan, tetapi beliau mengubah negara tujuan para pelajar. Kebencian kepada komunis tak dapat dinafikan sebagai salah satu kemunduran pendidikan Indonesia karena mengeliminasi para pelajar yang telah dikirim terlebih dahulu di masa orde Lama ke negara-negara komunis.
Namun, saya mengakui kecerdasan Presiden Soeharto dalam melakukan kebijakan yang bersifat subtitusi terhadap kebijakan pengasingan para pelajar Indonesia di Eropa Timur. Presiden Soeharto mengeluarkan kebijakan wajib belajar 9 tahun dalam mengentaskan buta aksara di Indonesia. Alih-alih menunggu hasil dari “investasi” pendidikan di luar negeri.
Presiden secara perlahan membangun pendidikan dari dalam negeri. Wajib belajar pada masa itu dibuktikan dengan dibangunnya sekolah berdasarkan instruksi presiden atau yang pernah kita kenal dengan kata sekolah Inpres.
Sekolah ini merupakan wujud pemerataan pendidikan bagi masyarakat desa maupun masyarakat perkotaan dengan penghasilan rendah. Pemerintah juga berusaha membuat sarana prasarana yang setara.
Di era Reformasi, pendidikan menjadi urusan kesekian karena fokus pemerintah terarah pada sektor ekonomi yang goyah setelah tumbangnya pemerintahan Presiden Soeharto.
Kita semakin tertinggal, biaya sekolah semakin membengkak ditambah harga kebutuhan pokok yang merangkak naik. Untuk warga dengan ekonomi kelas bawah justru harus kembali mengubur impian mereka untuk mendapatkan hak pendidikan yang setara. Di masa transisi ini pula, angka putus sekolah semakin meningkat.
Peralihan orde tak banyak mengubah wajah pendidikan Indonesia menjadi lebih baik. Alih-alih mendapatkan ilmu, para siswa juga harus turut terjebak dalam permainan jual beli modul di sekolah yang dilakukan oleh para guru. Bahkan kegiatan ini juga ditutupi dengan kegiatan koperasi sekolah.