Mohon tunggu...
Defrida
Defrida Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis

Tulisanmu adalah bentuk semesta yang kau mimpikan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Tak Ada 'Makan Siang Gratis' Untuk Menjadi Negara Maju

16 Oktober 2024   10:00 Diperbarui: 16 Oktober 2024   12:08 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa waktu yang lalu saya mengerjakan sebuah tugas ujian akhir semester, ada pertanyaan yang menarik tentang relasi konsep kepemimpinan otoriter dan kemajuan suatu negara. Diambilah contoh Singapura, Korea Selatan dan Taiwan sebagai negara pembanding untuk membuktikan kepemimpinan otoriter turut serta dalam kemajuan suatu negara. Di Indonesia, mungkin diambil contoh pada masa orde baru, di mana Indonesia seketika berubah dari negara miskin menjadi negara yang memiliki power di Asia bahkan dijuluki sebagai Macan Asia di bawah kepemimpinan otoriter.

    Jika dilihat secara umum, memang ada benarnya karena perencanaan dan pengawasan yang lebih terpusat. Sistem otoriter membuat segala keputusan dapat diambil dengan cepat tanpa harus membuang waktu dan uang hanya untuk duduk berdiskusi di dalam parlemen. Jika dicari kesamaan dari Singapura, Korea Selatan dan Taiwan, mereka memang berubah menjadi negara maju terkhususnya dalam bidang ekonomi setelah dipersiapkan oleh para pemimpin otoriter, tetapi jika dilihat sistem ekonomi yang mereka terapkan, apakah kita bersedia untuk menerapkannya juga?

    Faktor yang membuat Singapura, Korea Selatan dan Taiwan tetap menjadi negara maju setelah kepemimpinan otoriter berakhir adalah Ekonomi Pasar Bebas. Sedangkan Indonesia, setelah berakhirnya masa pemerintahan Orde Baru justru ekonomi kita semakin hancur. Rahasia Para pemimpin dari ketiga negara pembanding itu ialah mereka tidak mengatur ekonomi dalam politik tetapi menyerahkannya pada keputusan pasar, sehingga meski berganti pemimpin dari otoriter ke demokrasi, ekonomi mereka tetap berjalan maju dan tidak banyak bergantung pada politik.

    Lagipula sejak dulu kita selalu diajarkan untuk tidak selalu melihat hasil tetapi proses, sehingga untuk menjadi seperti Singapura, Korea Selatan dan Taiwan, kita juga harus melewati proses yang sama. Proses yang paling radikal, mungkin bisa kita pelajari dari Korea Selatan. Setelah masa Perang Korea, Para pemimpin otoriter Korea Selatan melakukan reformasi secara radikal di bidang ekonomi. Jika umumnya setelah mengalami perang, subsidi ekonomi masyarakat miskin yang diutamakan, maka di Korea Selatan justru mengutamakan subsidi pinjaman usaha bagi para pelaku ekonomi dan perusahaan-perusahaan besar di Korea Selatan. Mereka tak mengenal ekonomi kerakyatan yang seperti Indonesia, di mana semangat gotong royong diutamakan. Pemerintah tidak turut campur tangan dalam urusan pasar, semisal mengatur harga bahan pokok di pasar meski sistemnya otoriter. Bantuan sosial bukan menjadi hal yang penting karena harus mengejar ketertinggalan. Mereka yang dirasa menghambat perekonomian akan tersingkirkan dengan sendirinya akibat sistem ekonomi yang tidak berpihak pada rakyat miskin.

    Seperti kata pepatah "tidak ada makan siang gratis" semua hasil kemajuan ekonomi yang dicapai oleh Korea Selatan didapatkan dengan cara mengeliminasi masyarakat kelas bawah, memberikan akses lebih bagi para pengusaha, dan persaingan ekonomi ala rimba pun dimulai, yang mana yang kuat yang bertahan.

Pertanyaan saya, apakah Indonesia siap menjalani proses itu? Mulai dengan meminimalisir bantuan sosial dan difokuskan pada bidang pendidikan dan investasi ekonomi. Bantuan sosial tidak lagi diperoleh secara cuma-cuma, tetapi melalui pinjaman dengan agunan. Kemudian kita menuju pada nilai dasar Indonesia, apakah Nilai-nilai Ekonomi Pancasila dapat berkompromi dengan sistem pasar bebas demi mencapai kemajuan ekonomi negara?

    Mungkin Indonesia harus lebih bersabar dalam menentukan perencanaan kebijakan yang lebih baik, utamanya yang berpihak pada masyarakat. Korea Selatan dan Taiwan tak memiliki karakteristik masyarakat yang multikultural seperti Indonesia. Singapura tak memiliki wilayah dan sumber daya alam sebesar Indonesia. Apabila Indonesia menerapkan sistem ekonomi yang sama seperti Korea Selatan dan Taiwan, bisa saja terjadi kecemburuan sosial di antara masyarakat, dan menghasilkan konflik baru lagi. 

Jika Indonesia menerapkan sistem perekonomian seperti Singapura maka harga bahan pokok di Indonesia Timur akan semakin melonjak karena beban biaya distribusi. Sehingga pada akhir kesimpulan dari lembaran jawaban, saya berpendapat bahwa bukan sistem otoriter saja yang membuat negara menjadi maju tetapi kebijakan ekonomi yang disesuaikan dengan kondisi masyarakat. Indonesia jelas berbeda dengan Korea Selatan, Taiwan dan Singapura, sistem ekonomi yang berhasil di ketiga negara tersebut belum tentu berhasil di Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun