Belajar adalah seni tapi bagaimana jika kita membawanya pada istilah seni belajar?
Ketika kita mendengar istilah belajar yang terlintas dalam pikiran kita adalah membaca tumpukan buku yang tebal, duduk di ruang kelas untuk mendengarkan guru atau dosen yang sedang menyampaikan pembelajaran, mengingat satu per satu teori kemudian menjabarkannya dalam rangkaian tulisan yang panjang atau bahkan menghafalkan kata per kata dalam sebuah buku.
Saya masih ingat sewaktu saya masih di kelas 1 Sekolah Dasar, di mana saya pertama kali diperkenalkan dengan Pelajaran Bahasa Indonesia. Namanya, bahasa Indonesia tentu kita akan dilatih dan diajarkan cara membaca.
 Saya akui kala itu saya merupakan 1 dari sekian banyak anak yang belum bisa membaca dengan baik bahkan untuk mengeja saja sulit, meski saya dapat menghafal 26 alfabet dalam 1 tarikan nafas, ya setidaknya itu sedikit membanggakan.
Saya merasa terbebani ketika diminta mengeja kalimat "Ini Ibu Budi, ini bapak budi, Ani saudara Budi. Mereka semua keluarga Budi." Alih-alih berlatih membaca saya justru mencoba mengingat setiap susunan huruf agar bisa menebaknya ketika diminta kembali membaca di depan ibu guru. Orang tua saya baru melihat ketidakmampuan saya dalam membaca sebagai suatu masalah ketika saya sudah berada di kelas 2.Â
Mama saya sendiri juga merupakan seorang guru sehingga mungkin beliau lebih memahami cara mendidik saya sebagai seorang anak sekaligus murid di saat yang bersamaan. Saya masih ingat ketika mama sedang menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), mama memanggil saya untuk membacakan tulisan di dalam sebuah buku tebal dengan dalih untuk mempermudah mama dalam menulis rangkaian RPP yang sedang disusun.Â
Tentu saja saya tidak bisa, kemudian seorang teman bermain saya, dipanggil untuk menggantikan saya membacakan beberapa kalimat di RPP tersebut. Teman saya membacakan kalimat-kalimat tersebut dengan lancar, bukannya merasa lega karena telah dibantu, saya justru merasa malu karena tidak memiliki kemampuan tersebut padahal dia baru SD kelas 1.
Rasa malu itu kemudian mengantarkan saya pada sebuah pertanyaan, apa yang membuat saya tidak tertarik dalam belajar? Mengapa bahasa Indonesia itu menakutkan? Padahal sewaktu di taman kanak-kanak, bahasa Indonesia itu menarik karena setiap hari kami diceritakan tentang cerita timun mas, si kancil dan buaya. Kemudian saya mencari hal lain untuk dibaca.Â
Ketika saya masih kecil, kedua orang tua saya tidak begitu menyadari pentingnya literasi sejak usia 5 tahun sehingga di rumah tak akan ada buku anak-anak yang dapat saya lihat. Kebanyakan buku-buku yang tersimpan di rumah hanyalah buku pegangan guru dan beberapa lembar laporan yang diketik dengan mesin tik oleh bapak saya untuk keperluan tata usaha kantornya. Benar-benar rumah tersebut sangat tidak ramah terhadap literasi anak-anak.
Satu-satunya bacaan yang menarik minat saya hanyalah Alkitab, hal ini dikarenakan dalam Alkitab terdapat kisah-kisah masa lampau yang benar-benar membangun imajinasi saya. Pengetahuan tentang isi Alkitab pun tidak saya dapatkan melalui kedua orang tua melainkan dari guru-guru sekolah minggu yang sering menstimulasi imajinasi kami ketika menceritakan tentang Penciptaan Mula-mula, Taman Eden, Menara Babel, Air Bah dan lain sebagainya.Â
Saya kira karena itulah timbul rasa ingin tahu saya terhadap apa isi Alkitab. Saya tidak ingin menunggu hingga hari minggu untuk mengetahui bagaimana nasib Nuh setelah Tuhan menurunkan Air Bah. Saya tidak ingin menghabiskan 6 hari saya dalam rasa penasaran tentang apakah Yakub berhasil bertemu dengan Yusuf yang telah menjadi penguasa di tanah Mesir. Saya kemudian mengambil Alkitab dan mencoba mengeja tiap huruf yang ada didalamnya.Â
Kata per kata kemudian berhenti dan menanyakan kepada mama bagaimana cara membaca kalimat yang ada huruf "ng" dan "ny" kemudian lanjut kalimat per kalimat, paragraf per paragraf hingga 1 perikop terselesaikan dalam 4 hari. Entah mengapa saya menemukan kepuasan tersendiri padahal saya pernah mendengarkan cerita tersebut.
Kebiasaan baik ini kemudian saya coba di sekolah, tetapi saya tetap tidak dapat melakukannya kecuali ketika membaca cerita-cerita fabel atau cerita rakyat nusantara, semangat saya akan meninggi tidak peduli seberapa sulitnya mengeja kalimat-kalimat yang panjang.Â
Dari situ saya tahu, bahwa saya senang mempelajari sesuatu yang bisa membangun imajinasi saya atau sesuatu yang dapat saya temui dalam kehidupan sehari-hari. Mungkin juga ini alasannya mengapa saya tidak bisa mengeja "ini ibu Budi, ini bapak Budi, Ani adalah saudara Budi" karena saya tidak punya kenalan yang bernama Budi ataupun Ani kala itu, tapi itu hanya pikiran konyol saya ketika kelas 2 SD.
Kemudian berlanjut ke kelas 4 SD hingga kelas 3 SMA, di mana saya lebih menyukai pelajaran Biologi (IPA), Sejarah, Antropologi dan Sastra Indonesia. Entah mengapa keempat pelajaran itu selalu membangun imajinasi saya, seperti biologi yang berkaitan dengan kisah penciptaan mula-mula di Alkitab, sejarah-antropologi yang berkaitan dengan cerita-cerita tempo dulu di mana membangun rasa keingintahuan saya terhadap kehidupan orang-orang di zaman yang berbeda, bagaimana cara mereka berpikir, bagaimana cara mereka menghadapi masalah, dan lain sebagainya.Â
Sedangkan untuk sastra Indonesia, justru mengajarkan saya untuk mengerti setiap rasa yang tersembunyi di balik keindahan rangkaian kata, di mana kita bebas bersuara atau berpendapat tetapi melalui cara yang begitu halus, mengkonstruksi masalah-masalah yang kita alami di dalam sebuah cerita pendek, menciptakan "semesta" yang kita mau di dalamnya. Semuanya itu terasa begitu menarik untuk saya, sehingga pada waktu itu saya tidak terlalu berfokus pada mata pelajaran lainnya seperti matematika, fisika dan kimia, atau pun bahasa Inggris.Â
Berlanjut ke perguruan tinggi, di mana pada tahap ini saya dibentuk secara konsisten mengenai seni belajar. Awalnya saya sedikit ragu untuk mengambil jurusan Ilmu Komunikasi karena saya memiliki anxiety yang cukup mengganggu aktivitas saya ketika berada di keramaian. Alasan lainnya karena kedua orang tua saya tidak mengizinkan saya mengambil jurusan Hubungan Internasional pada salah satu universitas di Jawa Timur karena beberapa alasan pribadi dan kesehatan.Â
Masuk ke jurusan Ilmu Komunikasi, pada semester awal begitu sulit bagi saya untuk menyesuaikan diri karena hampir semua teman-teman saya memiliki kecakapan dalam berbicara di depan kelas. Bahkan, beberapa dari mereka memiliki kemampuan public speaking yang sangat baik menurut saya. Baru pada tahun kedua, saya mampu menyesuaikan diri setelah mengambil mata kuliah Dasar-Dasar Hubungan Masyarakat.Â
Bermula dari dosen saya yang membawakan sebuah isu yang sedang berkembang di masyarakat atau dapat dikatakan populer di media massa, saat itulah saya terpancing untuk mulai berbicara, dan sekali lagi saya menyukai perkuliahan itu karena apa yang diperdebatkan atau dibahas adalah sesuatu yang memang ada di dalam keseharian kita.Â
Setelah tahun ketiga, saya memilih konsentrasi Komunikasi Lintas Antar Budaya, di mana menurut saya konsentrasi tersebut hampir merangkum semua bidang ilmu yang saya sukai seperti antropologi, sejarah, dan sastra dan tentunya komunikasi itu sendiri. Sesuatu yang tidak saya perkirakan sebelumnya, bahwa dosen-dosen konsentrasi komunikasi lintas antar budaya ternyata memiliki kemampuan yang sangat hebat dalam memaknai beberapa bentuk interaksi dari beberapa aspek budaya (kecuali bahasa daerah). Bagaimana melihat setiap aktivitas manusia memiliki simbol yang mengandung pesan tersendiri, setiap film memiliki pesan tersendiri baik dari pemilihan nama tokoh, karakter yang dibangun, musik tradisional dan modern hingga sastra. Sesuatu yang dianggap biasa saja oleh masyarakat luas (seperti iklan, kampanye, debat-opini) justru memiliki pesan yang digunakan untuk mempengaruhi pemikiran mereka. Suatu aktivitas adat yang mungkin dianggap "kolot" justru memiliki filosofi yang bermanfaat bagi penghidupan manusia dan interaksinya dengan alam sekitar.Â
Semua itu diramu di dalam komunikasi lintas antar budaya. Kemudian ada pula Filsafat Komunikasi yang selalu membawa saya pada pertanyaan-pertanyaan baru tentang apakah realita yang saya jalani adalah realita yang sebagaimana mestinya atau realita ini merupakan sebuah konstruksi yang dibentuk dalam masyarakat yang berbudaya melalui media komunikasi.Â
 Pengalaman-pengalaman itu memberikan saya suatu pemahaman bahwa belajar itu seni ketika kita berusaha untuk menjadi yang terbaik dari sekian banyak orang tetapi itu bukanlah seni belajar. Seni Belajar itu merupakan suatu keadaan yang membuat anda mempertanyakan hal-hal yang anda temukan dalam keseharian anda, dia tidak memiliki jawaban mutlak. Seni Belajar membuat anda menjadi anda yang belum mencapai anda yang sebenarnya.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H