Mohon tunggu...
Defrida
Defrida Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis

Tulisanmu adalah bentuk semesta yang kau mimpikan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Papua: Love Me or Leave Me

20 April 2024   13:38 Diperbarui: 20 April 2024   15:48 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kemarin dalam sebuah kegiatan belajar-mengajar yang saya ikuti, kami membahas tentang kondisi pembangunan di Indonesia Timur, khususnya Papua. Banyak hal yang saya dapatkan diantaranya tentang sistem pendidikan yang sampai saat ini belum menemukan cara yang tepat untuk memahami sosio-kultural Papua. 

Saya setuju akan pendidikan yang menyesuaikan dengan sosio-kultural setempat mengingat Indonesia merupakan negara yang memiliki keragaman etnis dan budaya maka pendidikan harus menjadi pengantar yang baik dan mudah dipahami oleh mereka yang hendak belajar, tetapi ada yang kurang dalam alam pikiran saya tentang kondisi Papua atau lebih luasnya Indonesia Timur. 

Di zaman Hindia Belanda, banyak sekali pelajar dari Indonesia Timur yang berkembang dan memiliki prestasi bahkan menjadi penggagas pertama dalam sejarah, setelah kemerdekaan, tak ada lagi prestasi tersebut bahkan Indonesia Timur sering dicap sebagai daerah yang tertinggal secara pendidikan. Kembali lagi muncul pertanyaan, apakah pemerintah Hindia-Belanda lebih mengenal kultur masyarakat Indonesia Timur ketimbang pemerintah Indonesia sendiri? Apakah ini pula yang menjadi alasan dari sikap awal Mohammad Hatta ketika Papua menjadi bagian dari Republik Indonesia?

Dibandingkan Celebes dan Sunda Kecil, Mohammad Hatta lebih mengkhawatirkan Papua, kekuatiran ini bisa saja timbul dari pengalaman beliau ketika diasingkan ke Boven Digoel. Bahkan saat Konferensi Meja Bundar di Belanda, Hatta tidak begitu membahas masalah Papua secara intens dengan perwakilan Belanda, meski Soekarno telah menekankan pada perwakilan Indonesia sebelum menghadiri Konferensi Meja Bundar bahwa Papua harus menjadi prioritas berikutnya setelah pengakuan kedaulatan Indonesia. 

Menurut beberapa catatan alasan Hatta adalah perbedaan budaya yang begitu besar antara Papua dengan sebagian wilayah Indonesia lainnya. Sebagai contohnya adalah perbedaan etnis di mana Indonesia sebagian besar dari bangsa Melayu sedangkan Papua adalah bangsa Melanesia. Hanya saja alasan ini masih janggal bagi saya, jika alasannya adalah melanesia, maka seharusnya NTT dan Maluku pun termasuk di dalamnya. Sampai saat ini bagi saya jawaban dari keraguan Mohammad Hatta terhadap Papua masih belum tersedia, meski katanya sudah terjawab dengan Pepera 1969, yang mana 4 tahun kemudian Freeport mulai menambang di Papua. 

Dalam artikel jurnal Muhamad Febrian yang berjudul "Penyebab Aksi Separatisme OPM Masih Ada Hingga Saat Ini" dijelaskan bahwa pendidikan adalah salah satu cara pemerintah Belanda di tahun 1950an melakukan kaderisasi pemimpin-pemimpin awal gerakan separatis Organisasi Papua Merdeka. Sedangkan cara pemerintah Indonesia di tahun 1966 untuk menangani OPM adalah melalui jalan militer. Bagi saya, sesuatu yang kontradiksi dengan gaya Militer Indonesia saat melawan ideologi komunis di tahun 1950an - 1965, di mana militer lebih rapi membentuk biro khusus yang berisi orang-orang dari kalangan intelektual agar mampu menandingi para kader-kader PKI dan seharusnya dalam menyaingi Belanda kala itu pemerintah Indonesia juga turut melakukan kaderisasi tandingan. 

Kaderisasi tandingan ini memang baru dilakukan 3 dasawarsa setelah Pepera 1969, meski terkesan terlambat tetapi setidaknya masih memberikan sedikit harapan bagi masa depan Papua sebagai bagian dari NKRI. Saat ini pemerintah sedang membereskan "Pekerjaan Rumah" yang banyak terabaikan di Papua sejak tahun 1969. Pekerjaan ini bukan bentuk kebaikan hati Pemerintah Indonesia, tetapi wujud terima kasih karena Papua telah banyak berkorban bagi pembangunan negara. Suka atau tidak itu adalah faktanya, bahwa emas di Papua telah menyokong Indonesia selama bertahun-tahun meski bertahun-tahun pula pembangunan di Papua terabaikan. 

Pendidikan adalah dasar utama untuk mencintai Papua lebih dalam lagi, untuk membuktikan rasa cinta Indonesia pada Papua meski terdapat perbedaan kultural. Sebagian dari kita mungkin pernah melihat beberapa footage video tentang orang Indonesia yang memilih pergi ke Belanda ketika pemerintahan Hindia Belanda berakhir, apakah mereka memilih Belanda karena kesamaan etnis atau suku bangsa? Tentu tidak, mereka memilih Belanda karena merasa dicintai, maka seharusnya pemerintah Indonesia pun belajar untuk menumbuhkan rasa cinta orang Papua terhadap Indonesia. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun