Mohon tunggu...
Defrida
Defrida Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis

Tulisanmu adalah bentuk semesta yang kau mimpikan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Drakor dan Dialetika di Timur Jauh

7 Januari 2023   22:09 Diperbarui: 8 Januari 2023   22:29 512
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seorang teman menyarankan saya untuk menonton Video tanya jawab Rocky Gerung dengan anak-anak muda perihal dinamika politik yang dibalut atau dibenarkan melalui pertanyaan-pertanyaan di dunia teknologi yang bagi saya tidak terlalu menarik. Dari kalimat "Lu kan suka sejarah" membuat saya tertantang mengingat Rocky Gerung pernah menemui moment "diam" sejenak saat pernyataannya disanggah oleh Sujiwo Tejo mengenai kekayaan kosakata bahasa Indonesia.

Apa yang saya temukan selain ide tentang masa depan Demokrasi Indonesia, kemanusiaan dan sebagainya dengan melalui sudut pandang Filsuf Yunani. "Rocky Gerung : Alasan Kita Darurat Dialektika" Sebuah judul yang menghantarkan ingatan saya ketika masih berstatus mahasiswa, ada seorang dosen mata kuliah kewirausahaan yang tersinggung saat teman saya mempertanyakan materi kuliah yang tak sesuai dengan kenyataan yang dia temui ketika berdagang bersama orang tuanya. Pertanyaan itu akhirnya membuat teman saya mendapatkan nilai D karena dianggap mempermalukan dosen. Alasan pertama mahasiswa darurat dialektika ialah adanya rasa takut untuk berani berpikir dan berpendapat secara berbeda. Jangankan untuk mengkritisi kebijakan pemerintah, untuk mengemukakan pendapat yang berbeda dalam ruang kuliah saja, mahasiswa masih harus berhati-hati agar tidak melukai hati pengajarnya. Keadaan seperti ini yang mendorong dunia akademika semakin darurat dialektika, seperti kata Rocky Gerung kritik tidak mengenal sopan santun tetapi faktanya bahkan dalam keadaan merendah hati pun, kritik seorang mahasiswa kepada dosennya bisa dianggap melanggar etika. 

Saya beralih pada Demokrasi yang dijelaskan dari pemikiran filsuf barat, karena kata teman yang menyarankan video tersebut, pembahasan dalam video menyerempet perihal sejarah. Video ini mengambil dasar Demokrasi dan segala kemajuan dari cara pikir Barat. Demokrasi seolah baru diterima oleh Budaya Timur saat melakukan interaksi dengan budaya Helenistik atau sekurang-kurangnya ketika Alexander yang Agung melakukan penaklukan di sebagian Wilayah Asia. Mungkin ada benarnya atau mungkin pula ini hanya sekadar kekeliruan garis waktu untuk melihat lebih jauh atau menerjemahkan istilah-istilah Timur tentang pemerintahan yang dipimpin oleh suara rakyat. Sampai hari ini, saya masih meragukan bahwa kemajuan politik, ilmu pengetahuan, pemerintahan, sosial, budaya dimulai dari Barat atau modernitas berawal dari Barat. 

Pernahkah anda menemukan bangunan piramida di daratan Eropa? Selain Stonehenge dan Kuil Athena, tak ada yang tersisa. Atau peradaban tulisan dimulai dari Wilayah Timur atau Barat? Konsep pencatatan pengarsipan lahir dari Budaya Timur atau Barat? Emansipasi wanita dalam politik dimulai dari Budaya Timur atau Barat? Katakan konsep Demokrasi berasal dari Yunani karena memang istilah Demokrasi berasal dari Yunani "Demos" dan "Kratos" lalu bagaimana dengan Budaya Timur, mungkin prakteknya pernah ada tetapi disebut dengan istilah lain. 

Dialektika, salah satu bentuk nyata praktek demokrasi, di mana awalnya perbedaan merupakan hal yang baik. Konsep itu ada pada kisah Menara Babel di tanah Sinear, kesamaan bahasa (pola pikir) membangkitkan penguasa seperti Raja Nimrod (tirani). Tak ada pertentangan, membuat manusia menumpulkan kemampuan berpikir sebagai makhluk yang diciptakan dengan akal budi, untuk mencegah itu Tuhan sendiri turun dan menghancurkan menara Babel serta mengacaukan bahasa mereka, sehingga satu dan lainnya tidak bisa sepaham (berbeda pendapat). Poin ini saya yakini sebagai cara Tuhan untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis manusia. Budaya Timur identik dengan simbolisasi sehingga anda tidak bisa "bersantai" untuk diberikan penjelasan oleh para penulis sejarah serta filsuf dari Budaya Timur. Otak anda akan dipaksa untuk bekerja keras dalam menerjemahkan semiotika tulisan dan karya mereka. 

Kemudian diskusi ini juga membuat saya teringat pada kisah pendirian negara Joseon yang dirangkum dalam 2 serial televisi Korea Selatan yakni "Six Flying Dragons" dan "My Country : The New Age". Kedua Serial televisi ini menceritakan tentang pertentangan antara Raja Taejo -- Guru Sambong melawan Pangeran Jeong'an. Raja Taejo di bawah pengaruh guru Sambong percaya akan konsep Demokrasi tetapi alih-alih Demokrasi mereka justru baru sampai pada formula Monarki Parlementer, di mana peran rakyat sangatlah kecil dalam menentukan kebijakan Raja. Sedangkan bagi Pangeran Jeong'an (putra Raja Taejo), entah itu Monarki Parlementer, Monarki Konstitusional atau prototipe Demokrasi sekali pun pada akhirnya hanya menguntungkan para pejabat dari fraksi yang berkuasa. Raja hanya menjadi sasaran kemarahan rakyat akibat keserakahan para pejabat atau anggota dewan. Pangeran Jeong'an memilih jalan Monarki Absolut sembari menunggu formula yang tepat, di mana Raja tetap menjadi pemegang kekuasaan tetapi kebijakan tetap berpihak pada rakyat. Bagi saya, ide Pangeran Jeong'an jauh lebih aneh karena kedua konsep yang dia coba gabungkan terlalu mustahil untuk diterapkan terutama apabila di kemudian hari, Raja yang bertakhta bukanlah pribadi yang bijaksana. Pangeran Jeong'an mungkin sosok pangeran yang bertangan besi tetapi dia adalah orang yang obyektif, terlihat dari caranya memilih penerus takhta ketika dia menjadi Raja Taejong. Beliau lebih memilih putra ketiganya (Pangeran Yi Do) dan mengesampingkan prinsip-prinsip budaya bahwa yang harus menjadi penerus takhta adalah putra tertua. Dia melindungi takhta dari pengaruh para menteri dengan cara mengeksekusi Min bersaudara (Saudara Lelaki dari Permaisurinya, Ratu Wongyeong) serta Menteri Sim On (mertua Pangeran Yi Do).  Hal itu dia lakukan untuk menjauhkan takhta dari segala pertikaian antar saudara yang disebabkan oleh kerabat permaisuri dan calon permaisuri. Memang kejam adanya, terutama bagi Pangeran Yi Do (Raja Sejong yang Agung) tetapi keputusan ini memberikan inspirasi bagi Raja Sejong di kemudian hari untuk mendamaikan pemikiran ayahnya dan guru Sambong. Rakyat jelata di Joseon tidak bisa membaca huruf Hanja yang memiliki ribuan karakter huruf atau dapat dikatakan rakyat non bangsawan banyak yang buta aksara. Raja Sejong berhasil menciptakan huruf Hangeul agar dapat digunakan oleh rakyat jelata. Bahkan jauh sebelumnya, dia telah mendirikan Balai Rakyat yang digunakan untuk berdebat dan berdiskusi mengenai masalah-masalah yang dihadapi oleh rakyat, tujuannya yang pasti untuk mengasah kemampuan berpikir seluruh rakyat Joseon tanpa memandang status sosial. Setelah Raja Sejong mangkat, ternyata sistem yang dia bangun merupakan celah bagi para bangsawan untuk menciptakan perselisihan antara keturunan Raja Sejong untuk mendapatkan takhta. Di sinilah pemikiran Raja Taejong menemukan pembenarannya. Bahwa akses menuju kekuasaan harus dibatasi sesempit-sempitnya karena pada dasarnya seorang Raja mampu mengendalikan Rakyatnya tapi tidak mampu membatasi keserakahan para menterinya. Demokrasi ala Raja Sejong menemui kegagalan di Semenanjung Korea. 

Lalu apakah di Nusantara juga pernah diterapkan sistem Demokrasi? Mengingat sistem pemerintahan mula-mula terinspirasi dari sistem peradaban di tanah Hindus, yang mana dapat dipastikan bahwa sistem kasta memperburuk praktek Demokrasi dalam bentuk dialetika. Alasan saya mengatakan demikian karena pada masa tersebut akses aksara sangat dibatasi oleh sistem kasta, walau aksara Sansekerta dan Pallawa tidak serumit aksara Hanja. Terpikir oleh saya bahwa mungkin praktek Demokrasi pernah diterapkan ketika sistem pemerintahan masih melingkupi sistem kesukuan (kepala suku sebagai kepala pemerintahan) tetapi tidak ada bukti yang tertulis selain pengamatan-pengamatan awam. Setelah ribuan tahun beranjak dari era Kerajaan, akses berdialetika tak lagi hanya sekadar keterbatasan akses untuk mempelajari aksara tetapi akses terhadap informasi. Masyarakat semakin dicekoki dengan beragam pencitraan yang menyebabkan perdebatan semakin terbatas. Kita dipaksa untuk mendirikan "Menara Babel" modern dan mengikuti 1 Raja "Nimrod" yang digambarkan sebagai orang yang sempurna. Sebuah musibah apabila menara itu runtuh, entah seberapa banyak peradaban berubah, hal itu tak bisa merubah sifat dasar manusia untuk menjadi Ilahi bagi sesamanya. 

Seperti sistem astronomi kuno yang diperdebatkan pada abad ke-4 M hingga abad ke-9 M di Eropa (Zaman Kegelapan) mungkin demikian pula praktek Demokrasi. Mungkinkah praktek ini berulang kali menemui kegagalan di budaya Timur sehingga ditinggalkan atau dibuang kemudian dipungut kembali oleh filsuf-filsuf Yunani? Pikiran saya masih terperangkap pada pertanyaan tersebut dan alasan mengapa Dialetika yang liberal berjalan lambat di kebudayaan Timur khususnya Indonesia. 


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun