Suku dayak di Kalimantan Barat menjadi salah satu suku yang dirugikan karena wilayah adat mereka mulai mengalami penggerusan akibat aktivitas penambangan, hukum adat mereka tak mampu menandingi kekuatan hukum dari Peraturan Daerah (Perda) yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah yang memberikan akses bagi perusahaan tambang ke wilayah adat suku Dayak.
Padahal kekuatan Hukum Adat telah diakui oleh Undang-undang Dasar sebagai pedoman dasar dalam pengelolaan sumber daya alam yang aman bagi lingkungan hidup masyarakat sekitar.
Tetapi, siapa yang mau menggubris hukum adat, jika Perda sudah direpresentasikan sebagai “kehadiran negara” dalam memutuskan masalah.
Provinsi Nusa Tenggara Timur juga menjadi salah satu provinsi yang menjadi sorotan di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, mulai dari sumber daya alamnya serta pembangunan ekonomi, sehingga tidak mengherankan jika NTT mulai mengalami pembangunan infrastruktur secara besar-besaran.
Tetapi, pembangunan infrastruktur yang begitu masif tidak disertai dengan melek budaya. NTT merupakan salah satu Provinsi yang masih ketat dalam menjalankan adat-istiadat masing-masing, berbeda dengan kota Kupang, daerah-daerah lainnya di NTT masih mengalami cultur shock akibat pembangunan yang masif, di antaranya perbedaan persepsi tentang wilayah adat, di mana pemerintah NTT melihat wilayah adat sebagai wilayah yang dapat diotorisasi secara penuh jika berpatokan pada UUD 1945 pasal 33 ayat 3, tetapi masyarakat adat pun bertahan pada UUD 1945 pasal 18B ayat 2.
Tetapi, terdapat celah pada pasal 18B ayat 2, di mana hak masyarakat adat dibatasi oleh kepentingan negara / kesejahteraan umum, semisalnya pembangunan infrastruktur dan ekonomi.
Sejak masa pemerintahan Presiden Soeharto yang didengungkan sebagai era pembangunan, tanaman Cendana NTT banyak dieksploitasi demi kepentingan ekonomi, para petani diancam apabila menggunakan cendana demi kepentingan pribadi.
Padahal cendana itu sudah menjadi bagian dalam aktivitas mereka. Merasa dirugikan dan dieksploitasi, konon katanya petani NTT mulai memusnakan tanaman cendana secara diam-diam karena menurut mereka tanaman asli NTT tersebut tak memberikan faedah apa pun terhadap mereka selama pemerintahan Soeharto.
Ternyata akhir pemerintahan Soeharto pun tidak serta-merta menghentikan pengeksploitasian terhadap kekayaan alam guna ekonomi.
Pengeksploitasian tersebut tetap ada, misalnya pengelolaan pertambangan batu mangan, dan pengambilalihan tanah pribadi maupun adat adat tanpa mempertimbangan aspirasi adat masyarakatnya.
Masyarakat adat selalu ditakut-takuti dengan kemiskinan apabila tidak menyerahkan tanah adat mereka untuk dikelola oleh negara atau pun swasta guna pembangunan ekonomi.