Indonesia sebagai negara demokrasi dengan berbagai pluralitas yang dimiliki, sudah seharusnya menjunjung setiap kebebasan berekpresi dalam ranah apapun. Negara harus selalu hadir sebagai garda terdepan dalam menjamin hak-hak untuk berekpresi di muka umum. Namun nyatanya saat ini, negara seakan menunjukkan wajah aslinya kepada rakyat bahwa Indonesia bukan negara yang menjunjung tinggi demokrasi. Negara seolah menutup mata, telinga bahkan semua indera agar tidak mendengar bisingnya suara rakyat. Jika kita semua masih ingat dalam sejarah berdiri Indonesia, masa-masa pra kemerdekaan hingga pasca kemerdekaan, demokrasi selalu hadir sebagai prinsip utama yang harus dijunjung. Hal ini terlihat dalam perumusan dasar negara, ketika para tokoh merumuskan berbagai pendapatnya, menghargai setiap jari payah yang lahir, hal menandakan bahwa Indonesia memang negara demokrasi dimana setiap pendapat akan dihargai, tetapi lihatlah saat ini, semua tindakan yang dirasa menyudutkan pemerintah seakan diberangus, tidak boleh melakukan tindakan apapun yang dirasa dapat membuat citra negara buruk.
Kritik yang menjadi jantung dari demokrasi seakan mati. Banyaknya kasus pembungkaman yang membuat banyak orang takut untuk menyuarakan apa yang ingin mereka suarakan. Hingga pada akhirnya negara melalui pemerintah seolah ingin menutup semua hal berbau kritik dan terkesan anti kritik. Kemajuan suatu negara demokrasi dapat dilihat dari bagaimana negara memperlakukan rakyatnya, seperti penyerapan aspirasi secara penuh lalu menindaklanjuti aspirasi tersebut. Kritik menjadi sebuah jalan bagi rakyat untuk menegur pemerintah sebagai lembaga penyelenggara negara agar sadar akan setiap tindak tanduknya. Kritik tidak akan pernah padam karena pemerintah bukan Tuhan yang selalu benar akan jalan yang telah ditentukannya, setiap tindakan pemerintah akan berdampak dan menyangkut hidup banyak rakyatnya, untuk itu dibenarkan dari segi apapun peredaman kritik dan aspirasi sebagai jalan pemerintah untuk menjalankan berbagai kepentingan pribadi sebagian pihak, hal ini yang dapat membuat citra pemerintah kian buruk dimata masyarakat.
Dalam beberapa tahun terakhir banyak tindakan pemerintah yang menjadi penanda turunnya nilai demokrasi di Indonesia. Salah satu yang banyak menyita perhatian adalah pembubaran salah satu ormas fenomenal yaitu FPI atau Front Pembela Islam. FPI menjadi salah satu ormas yang mendapat bidikan tajam dari pemerintah untuk dibubarkan. Hal tersebut ingin dilakukan pemerintah dengan alasan bahwasannya FPI melakukan berbagai tindakan yang meresahkan masyarakat karena beberapa kali menggunakan kekerasan dalam penyelesaian masalahnya. Selain itu, ideologi yang diusung oleh FPI bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945, atas dasar inilah pemerintah mulai bergerak dan melakukan tindakan untuk membubarkan FPI. Puncaknya adalah ketika ketua umum FPI, Rizieq Shihab memutuskan untuk pulang ke Indonesia yang pada akhirnya malah menimbulkan kemelut dan masalah-masalah baru.
Jika kita tarik kebelakang, lalu melihat kembali sepak terjang yang dilakukan oleh FPI, beberapa tindakan yang sudah dilakukan ormas tersebut sudah dimulai ketika masa peralihan dari Orde Baru menuju Reformasi, dimana FPI turut serta dalam menyuarakan untuk membuka ruang demokrasi untuk berbagai organisasi yang pada masa Orde Baru dikekang habis-habisan. Tindakan lainnya yang dilakukan oleh FPI adalah menggaungkan anti demokrasi karena dirasa sebagai produk Barat. Hal inilah yang sejak lama sudah tidak sejalan dengan apa yang menjadi dasar ideologi negara Indonesia yaitu Pancasila, sehingga sejak masa reformasi pun masalah sudah dengan sengaja diciptakan oleh FPI. Sebenarnya masih banyak masyarakat yang menganggap demokrasi sebagai produk Barat dan ingin menggantinya dengan sistem lain, contohnya khilafah. Tentu negara akan melawan hal tersebut, sebagai contoh HTI mencoba merubah sistem demokrasi dengan khilafah yang pada akhirnya berujung pada pembubaran.
Sistem demokrasi tidak akan stabil jika masih ada anggapan untuk mengganti demokrasi dengan sistem lain. Jika didiamkan maka akan terjadi efek bola salju yang kian lama kian membesar, itu artinya akan semakin banyak yang melawan dan berusaha merubah sistem demokrasi. Dengan melihat hal ini tentunya negara akan berusaha sedemikian rupa untuk mecegah hal tersebut dan hal inilah yang melatarbelakangi banyaknya pergesekan antara pemerintah dan FPI. Namun saya akan menganalisis dari sisi yang berbeda, dimana FPI hadir sebagai pendobrak untuk mengkritisi pemerintah. Kehadiran FPI tentunya membuat dinamika demokrasi di Indonesia terasa dinamis akibatnya banyaknya gejolak perselihan antara FPI dengan pemerintah. Dengan gejolak yang ditimbulkan bukan hanya mengakibatkan demorkrasi terasa dinamis, namun publik seakan dihadirkan berbagai tontonan yang dapat dikaji dari segi keilmuan, terlebih bagi para pengamat. Perbedaan pandangan yang dikemukakan oleh FPI tentunya merupakan suatu konsekuensi dari sistem demokrasi, dimana dalam sistem demokrasi akan banyak muncul berbagai pemikiran, pandangan bahkan ideologi meskipun itu bertentangan dengan demokrasi.
Jika sistem demokrasi saja menghendaki adanya perbedaan, lalu mengapa pemerintah tetap bersikukuh untuk membubarkan FPI ? pertanyaan ini muncul karena sifat pemerintah yang seakan gegabah dalam menindak suatu kasus. Pemerintah terkesan alergi terhadap ormas yang bersifat radikal seperti FPI, sehingga negara mau tidak mau harus mengambil jalan cepat agar tidak menjadi masalah besar dikemudian hari. Memang negara memiliki kewajiban dalam hal memberikan kenyamanan kepada rakyatnya dengan menertibkan ormas yang menggunakan kekerasan dalam penyelesaian masalahnya, namun pembubaran yang dilakukan pemerintah bukanlah jalan satu-satunya dalam menghadapi FPI. Tindakan FPI memang meresahkan dan bagi sebagian orang merasa tidak nyaman, tetapi yang perlu digaris bawahi adalah pemerintah melakukan tindakan sewenang-wenang dan terkesan menutup semua akses untuk melakukan kritik. Pembubaran FPI yang dilakukan tanpa proses pengadilan membrikan bukti nyata bahwa pemerintah mencoba melakukan tindakan peredaman atas kebebasan berkumpul dan berkekspresi dimuka umum.
Tindakan-tindakan semacam itu berpotensi mengambil hak politik dari setiap warga negara. Jika hal ini terus terjadi tidak akan ada bedanya saat ini dengan masa Orde Baru yang penuh pembungkaman. Pembubaran FPI yang dilakukan oleh pemerintah juga menjadi penanda kegagalan pemerintah dalam menciptakan ruang publik yang nyaman dan aman untuk berekspresi sehingga tidak perlu lagi melakukan tindak kekerasan agar memperoleh attention pemerintah. Selain itu pemerintah seolah malas untuk memberantas kekerasan yang dilakuka oleh FPI sehingga pemerintah mencari jalan cepat dengan membubarkan FPI. Dengan berbagai penjelasan yang saya berikan, negara juga turut andil dalam setiap masalah yang hadir akibat pergesak tersebut, namun negara berusaha mencuci tangan agar tindakan kotor yang telah dibuat tidak terlihat dan segala hal yang telah diperbuat seakan sah-sah saja dan tidak ada yang salah. Apa yang dilakukan oleh FPI tidak semuanya berdampak buruk pada masyarakat, pada momen-momen tertentu FPI banyak melakukan tindakan yang bermanfaat seperti kegiatan sosial dan sebagainya. Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya jika pemerintah mau ada sedikit usaha yang dilakukan untuk membawa FPI ke arah yang lebih baik dan mencoba menghilangkan kekerasan dalam setiap tindakannya, tidak akan ada perselihan yang menimbulkan gejolak dalam masyarakat, namun sangat disayangkan pemerintah seolah enggan untuk melakukan hal itu dan memilih jalan cepat dengan membubarkan FPI yang menjadi penanda menurunnya nilai demokrasi.
Pembubaran ormas bukan menjadi satu-satunya tindakan pemerintah yang menjadi penanda turunnya demokrasi di Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir indeks demokrasi di Indonesia mengalami penurunan. Banyak faktor yang mempengaruhi turunnya indeks demokrasi di Indonesia, salah satunya menurunnya tingkat partisipasi masyarakat dalam ruang publik untuk menyampaikan aspirasi. Hal ini terjadi bukan tanpa alasan, masyarakat yang berani dalam mengkritik pemerintah nyatanya harus rela diamankan oleh pihak berwajib atas jerat UU ITE yang berlaku. UU ITE selalu menjadi tameng pemerintah dalam menjerat masyarakat yang berani mengkritik pemerintah di ruang publik seperti di platform media sosial yang cukup diminati banyak masyarakat yaitu Facebook dan Instagram. Perlu diingat bahwa ruang publik merupakan bagian terpenting dari negara demokrasi. Ruang publik menjadi sarana bagi masyarakat untuk menyaampaikan aspirasi yang dimiliki, karena akses langsung untuk bertemu pemerintah yang lumayan sulit, maka ruang publik seperti media sosial lah yang dijadikan sarana untuk menyampaikan beragam aspirasi.
Demokrasi dapat berjalan dengan baik jika negara dapat menjamin kebebasan ruang publik bagi rakyatnya, setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk berpartisipasi. Akan tetapi, pengimplementasian tidak selalu berjalan mulus, negara berusaha menutup akses bagi masyarakat untuk tidak terlalu berisik dimedia sosial dalam mengkritik pemerintah. Pemerintah sadar bahwa di era modern seperti ini banyak kemudahan yang aka dimiliki sehingga sulit mencegah setiap orang untuk tidak menggunakan media sosial, pada akhirnya pemerintah menggunakan UU ITE sebagai tameng untuk memberangus semua kritikan baik yang ringan maupun tajam. UU ITE yang awalnya dipuja karena diharapakan dapat memberikan perlindungan kepada masyarakat dalam berekspresi dimuka umum, namun malah sebaliknya negara menggunakan UU ITE untuk mengecam setiap tindakan kritik terhadap pemerintah. UU ITE yang disalahgunakan oleh pemerintah memberi dampak merosotnya demokrasi, karena kebebasan menyampaikan aspirasi dijegal oleh pemerintah.
Pemerintah seolah menebar ancaman dan ketakutan dengan menggunakan UU ITE, masyarakat pun mulai enggan dalam menyampaikan aspirasinya diruang publik karena takut akan jerat hukum yang akan menimpa siapa saja yang berani mengkritik pemerintah. Pengaturan UU ITE yang terlalu luas tidak sehingga tidak dengan jelas membedakan mana yang dikatakan kritik mana yang dikatakan menghina. Inilah yang menjadi celah bagi pemerintah untuk menggunakan UU ITE sebagai tameng. Sebagaimana beberapa kasus yang sudah terjadi, kritik terhadap kebijakan pemerintahan Jokowi sering dianggap sebagai penghinaan. Bagi yang mengkritik pemerintah akan dianggap sebagai bentuk menyebar kebencian terhadap pemerintah, padahal jika pemerintah tidak terburu-buru dalam menafsirkan pesan yang disampaikan oleh masyarakat dan tidak anti kritik, ada tujuan baik dibalik tindakan masyarakat yang melakukan kritik terhadap pemerintah.
Setiap tahun kasus atas dalih penghinaan presiden terus meningkat, setidaknya 65 orang dari total keseluruhan kasus ditangkap atas dasar penghinaan presiden dimedia sosial, sisanya ditangkap pada saat melakukan demonstrasi. Pemidanaan para korban pasal karet UU ITE dilakukan atas inisitif kepolisian melalui tim cyber. Salah satu kasus yang cukup banyak menyita perhatian adalah kasus yang dialami oleh Ibu Sri Rahayu yang harus rela divonis 1 tahun penjara dan denda 20 juta rupiah atas dasar telah melakukan tindak penghinaan terhadap Presiden Jokowi pada tahun 2017 silam. Ibu Sri hanya 1 dari sekian banyak kasus yang muncul kepermukaan sebagai korban dari jerat pasal karet UU ITE. Jika ditelisik lebih dalam lagi maka akan terlihat fenomena gunung es, banyak ketidakadilan yang dialami oleh masyarakat kita saat ini.