Mohon tunggu...
Defitri Dwi Nugraheni
Defitri Dwi Nugraheni Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Belajar untuk Menulis!

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Langkah-Langkah Cilik untuk Menikmati Bali dengan Cara yang Unik

29 November 2024   11:46 Diperbarui: 29 November 2024   11:53 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tugu Peringatan Kemanusiaan Bom Bali (Dokumentasi Pribadi)

"Ayo segera masuk bus!" "Bentar! Aku mau ambil barangku ketinggalan di kamar" "Jam sembilan kita jalan ya" "Aku rapihin barangku dulu" "Siapa sih yang belum masuk?" "Coba diabsen dulu" "Tolong ditelpon dong temennya yang belum masuk bus"

Sahut-sahutan terdengar riuh dalam rombongan bus kami yang kala itu sedang bersiap untuk memulai hari kedua di Pulau Dewata. Setelah memastikan seluruh peserta duduk rapi di kursi masing-masing, bus pun mulai melaju dari posisi awal di Kota Denpasar menuju ke arah selatan.

Perjalanan kali ini sebenarnya bukan dalam rangka berwisata. Rombongan yang terbagi dalam dua bus ini bertandang ke Bali untuk menjalankan kuliah lapangan. Sederet pemuda-pemudi dengan raut wajah yang nampak gembira ini nyatanya menyimpan beban berupa setumpuk tugas yang menanti untuk dituntaskan. Meski begitu, kami menyisihkannya sejenak dan memilih untuk menikmati apa yang kita hadapi saat ini. That's right, liburan!

Oleh seorang pramuwisata lokal, kami diceritakan tentang pariwisata di Pulau Bali dan ditunjukkan beberapa spot-spot menarik yang kami lewati. Salah satunya, yakni Monumen Bajra Sandhi sebagai monumen peringatan perjuangan rakyat Bali. Kami menikmati penyampaian sang pramuwisata sembari menyamankan diri duduk di balik selimut tipis untuk menyimpan energi. Tak perlu waktu lama, sampailah kami pada destinasi pertama, Pantai Kuta!

Seturunnya dari bus, aku terheran-heran karena bukan hamparan pasir maupun deburan ombak yang kulihat. Rupanya kami masih berada di area parkir. Kami harus menaiki bus yang berukuran lebih kecil untuk menjangkau kawasan pantai. Dari situlah, kami terbagi dalam beberapa kelompok kecil. Aku bersama beberapa teman lainnya pun memperoleh urutan kendaraan ketiga dan bergegas menaikinya.

Bus yang berukuran lebih kecil ini akrab dikenal sebagai "Pajero" merupakan singkatan dari bahasa Jawa panas njobo njero dalam bahasa Indonesia panas luar dalam. Sesuai dengan namanya, kendaraan beroda empat ini tidak dilengkapi dengan AC dan mengandalkan kesegaran angin yang berhembus dari luar pintu dan jendela yang terbuka lebar. Beberapa dari teman-temanku menganggap kendaraan ini memiliki kemiripan dengan Tuk-Tuk, kendaraan tradisional khas Thailand.

Posisiku yang berada di kursi penumpang samping pengemudi memungkinkanku untuk mengamati keadaan sepanjang perjalanan. Pada beberapa menit awal, kondisi jalanan tak jauh berbeda dengan yang kami lewati sebelumnya. Hingga pada saat memasuki area yang cukup padat, jalanan pun menyempit bahkan selebar dengan "Pajero" yang kami tumpangi ini. Dengan lihainya sang pemudi mengarahkan roda kemudi pada kecepatan stabil mengikuti kelokan jalan yang seakan tanpa ujung. Beberapa kali situasi mengharuskannya membunyikan klakson, seperti ketika berpapasan dengan turis-turis mancanegara yang berjalan kaki hingga beberapa hewan yang berkeliaran di tengah jalan.

"Kira-kira jarak dari sini sampai pantai apakah masih jauh, Bli?" tanya salah seorang dari temanku kepada sang pengemudi. "Tidak jauh, sebentar lagi sampai," balasnya. 

Sebagian besar jalan yang kami lewati didesain satu arah. Speed bump pun cukup banyak kami jumpai untuk mengontrol kecepatan pengendara melihat situasi jalanan yang rawan terjadi kecelakaan. Di sepanjang jalan, pemandangan kami diisi oleh area pertokoan oleh-oleh, beragam penginapan, resto dan cafe unik, hingga rumah-rumah penduduk dengan sebagiannya memiliki home industry. Sesuai perkataan sang pengemudi, bus kecil ini berhasil mengantarkan kami ke Pantai Kuta dengan estimasi perjalanan selama 10 menit. Satu demi persatu bus kecil yang mengantarkan teman-temanku pun tiba.

Sejujurnya aku cukup bersemangat dengan perjalanan kali ini. Bukan tanpa alasan. Selain sudah cukup lama tak menikmati suasana pantai, kali ini merupakan kesempatan pertamaku mengunjungi Pantai Kuta sebagai top of mind dari seluruh pantai di Pulau Bali. Meskipun pemandangan pasir putih dan birunya air tak begitu tampak sebab terhalang oleh pagar beraksen bata, beberapa kali aku melihat para turis berlalu-lalang sembari menenteng papan selancar.

Semenjak turunnya kami dari bus kecil itu, bayangan kami bermain ombak dan pasir pantai seketika sirna. Panasnya Bali cukup mengurungkan niat awal kami yang terdengar mengasyikan. Rombongan pun berpencar sesuai dengan tujuan dan kegiatan yang diinginkan masing-masing. Begitu pula denganku dan kelompokku yang memilih untuk  mengerjakan salah satu tugas yang dilimpahkan sebelumnya.

Bukannya masuk ke kawasan pantai seperti sebagian besar teman-teman yang lain, kami bergerak menjauh ke arah sebaliknya. Sebanyak tujuh orang berjalan berbaris dan beriringan sembari menukar mode wisatawan menjadi mode mahasiswa dan mahasiswi pariwisata. Tak dapat dipungkiri setelah berstatus sebagai mahasiswi pariwisata beberapa tahun belakangan mengubah cara pandangku terhadap destinasi-destinasi wisata. Yang awalnya hanya berwisata layaknya wisatawan pada umumnya menjadi lebih memperhatikan secara detail dan mempertanyakan banyak hal. Beberapa temanku pun mengaku turut merasakannya.

Pada dasarnya, tugas yang sedang kami lakukan ini sebatas observasi terhadap public space di kawasan Pantai Kuta dan sekitarnya. Observasi tersebut yang menuntut kami untuk mencatat poin-poin penting serta mendokumentasikan kondisi yang ada. Selanjutnya, kami diminta mengomentari dan menyusun saran pengembangan berlandaskan observasi yang telah kami lakukan.

Sebagai sekelompok orang yang baru pertama kali menginjakkan kaki di wilayah ini, kami memilih jalan secara acak. Ketika menemui persimpangan, kami berdiskusi sebentar untuk memutuskan ke arah mana kami melanjutkan perjalanan. Tak lupa, kami menyempatkan untuk memasuki beberapa gang di antara lapak-lapak yang berjajar apik. Pada salah satu gang, kami menjumpai restoran bergaya unik dengan aksen kayu dan bambu. Pada gang lainnya, kami dihadapkan oleh situasi dan kondisi yang drastis berbeda dengan sebelumnya, yakni pemukiman masyarakat yang biasa dijumpai di Pulau Jawa tanpa ornamen-ornamen khas Bali. Lantas menyadarkan kami bahwa kawasan wisata mana pun pasti memiliki area-area tertentu yang tidak diperuntukkan kepada wisatawan. Ketika kami menelusurinya lebih dalam ternyata gang tersebut buntu sehingga mau tidak mau kami berbalik ke arah semula.

Di sepanjang perjalanan, sebagian dari kami memperhatikan sekitar sembari mengomentari public space dan jalur pedestrian. Sedangkan, sebagian lain sibuk mendokumentasikan hal-hal yang dirasa perlu dikomentari. Sejauh ini, kondisi public space dan jalur pedestrian yang kami lalui dirasa kurang nyaman. Jalur yang tergolong sempit akibat tidak adanya jarak antara lapak-lapak pedagang dengan trotoar mengharuskan kami berbaris satu per satu dan berhenti ketika berpapasan dengan orang lain. Selain itu, keberadaan pepohonan yang terbilang jarang memperparah panasnya sang mentari sekalipun kami mengenakan payung dan penutup kepala.

Ketidaknyamanan kami bertambah ketika lima dari tujuh anggota kelompok kami yang merupakan perempuan memperoleh beberapa kali catcalling dari para lelaki yang tengah bersantai di sepanjang jalur pedestrian. Bahkan, mereka menggunakan bahasa Jawa setelah melihat perawakan dan penampilan kami. Hal ini berbeda dengan wisatawan mancanegara yang mereka perlakukan sebagai target pasar. Dengan ramahnya mereka berupaya untuk menawarkan barang-barang dagangannya sebagai buah tangan.

Setelah terus-menerus menggerakkan langkah kaki, sampailah pada lokasi pertama yang sengaja kami datangi, yakni Tugu Peringatan Kemanusiaan Bom Bali atau Ground Zero Monument. Tugu peringatan ini cukup mencolok dengan gunungan putih beraksen Bali yang menjulang tinggi. Tak lupa, kolam air mancur yang berwarna senada. Seketika bulu romaku berdiri saat diriku berjalan mendekat hingga berhasil membaca daftar nama para korban dari insiden kala itu. Meskipun telah lebih dari 20 tahun berlalu, perasaan berduka tentunya senantiasa membekas. Merasakan panas yang kian menyengat dan lelah yang mulai mendominasi, kami pun bergegas melanjutkan langkah.

Jalur Pedestrian di daerah Legian (Dokumentasi Pribadi)
Jalur Pedestrian di daerah Legian (Dokumentasi Pribadi)

Sepertinya, Dewi Fortuna sedang berpihak kepada kami. Berbeda dengan kondisi jalur pedestrian sebelumnya, jalur pedestrian ini telah dilengkapi dengan pergola berbahan besi yang ditumbuhi oleh tanaman hias rambat di atasnya. Suasana rindang dan sejuk pun dapat kami rasakan. Terlebih lagi, hijaunya tanaman turut menyegarkan pemandangan yang memburam selepas menghalau silaunya terik matahari.

"Selamat datang di Indonesia TIC! Ada yang bisa kami bantu?"

Tebakan kalian benar. Indonesia TIC atau Indonesia Tourism Information Centre menjadi spot kedua sekaligus terakhir kami dalam rangkaian perjalanan kali ini. Bukanlah suatu yang menakjubkan, tetapi kunjungan ini adalah yang pertama kali bagiku. Berbeda dengan TIC yang berada di kota ataupun provinsi lainnya, Indonesia TIC yang berlokasi di Kuta, Badung, Bali ini merupakan pusat informasi potensi dan atraksi wisata yang tidak terbatas pada daerah Bali saja, tetapi juga dari setiap daerah di Indonesia. Berdasarkan penjelasan dari petugas yang sedang berjaga, di awal pendirian Gedung ITIC ini menyediakan petugas perwakilan yang dikirimkan dari masing-masing provinsi di Indonesia untuk menjelaskan sekaligus menawarkan potensi dan atraksi wisata dari daerah masing-masing. Namun, semenjak pandemi melanda petugas perwakilan ditiadakan hingga kini.

Berburu Brosur di Indonesia TIC (Dokumentasi Pribadi)
Berburu Brosur di Indonesia TIC (Dokumentasi Pribadi)

Kami pun disambut dan dilayani dengan sangat ramah. Dengan antusias, para petugas berkenan menjawab seluruh pertanyaan kami yang masih awam dengan ITIC ini. Bahkan, mereka pun tanpa ragu menawarkan berbagai brosur, majalah, hingga buku berisi panduan dan informasi berwisata dari berbagai daerah di Indonesia untuk dibawa pulang secara gratis. Tak ingin membuang kesempatan, kami dengan senang hati memilih sebagian brosur dan buku yang kiranya menarik dari segi desain dan muatan di dalamnya. Hingga tak terasa jarum jam semakin mendekati waktu berkumpul di Pantai Kuta. Untuk itu, kami pun segera berpamitan serta tak lupa mengucapkan terima kasih. Karena kelelahan dan waktu semakin mepet, kami memutuskan untuk kembali ke titik kumpul menggunakan taksi online.

Meskipun terbilang sederhana, pengalaman ini cukup membekas di ingatanku. Bagaimana kami berperang dengan teriknya matahari khas Bali, catcalling yang membuat risih, berpetualang mencari jalan, hingga memperoleh pengetahuan baru tentang ITIC serta berburu brosur sebagai oleh-oleh seakan menjadi potongan-potongan puzzle yang menyatu menciptakan memori dari rangkaian perjalananku di Bali menjadi utuh.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun