Mohon tunggu...
Defitri Dwi Nugraheni
Defitri Dwi Nugraheni Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Belajar untuk Menulis!

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Menikmati Suara Dewandaru, Surga Tersembunyi di Kaki Gunung Merapi

13 September 2024   10:20 Diperbarui: 13 September 2024   10:31 296
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruas Bambu Nusa (Dokumentasi Pribadi)

Tak hanya memanjakan lidah melalui menunya yang beragam layaknya kafe pada umumnya, Suara Dewandaru berupaya memenuhi sensory experience para pelanggannya dengan cara yang tak biasa. Harum samar-samar dari dupa yang terbakar tercium ketika kami menginjakkan kaki di teras kafe. Melalui rancangan eksterior dan interior joglo lawas ini mampu menyihir penglihatan kami hingga merasakan kenyamanan dan ketenangan. Peraba kami disentuh oleh hembusan angin sepoi-sepoi melalui jendela yang dibuka lebar. 

Pendengaran kami pun dimanjakan oleh alunan musik yang dihasilkan dari putaran piringan hitam. Di ruang tengah kafe ini, kami dapat menjumpai satu rak kayu yang penuh dengan piringan hitam koleksi sang pemilik. Keberadaan koleksi piringan hitam hingga DJ mixer di sudut kafe ini bukan tanpa alasan. Suara Dewandaru memiliki beberapa program khusus yang disesuaikan dengan minat pelanggannya.

Ruang Dengar (Dokumentasi Pribadi)
Ruang Dengar (Dokumentasi Pribadi)

Pertama, program listening session dengan julukan Ruang Dengar. Program ini menawarkan cara menikmati musik yang berbeda di era modern. Di sini para penikmat musik berkesempatan untuk bertemu dan bercengkerama. Kedua, program Suarasa menawarkan pengalaman mencicipi sajian khusus yang diolah oleh tangan-tangan handal sekaligus menceritakan kisah dibalik suatu hidangan. Ketiga, program Jeda; Raga merupakan wujud keseriusan Suara Dewandaru ke arah wellness tourism yang saat ini sedang banyak digandrungi. Program ini mengajak untuk menyapa dan berdialog kembali antara tubuh dan pikiran melalui gerakan yoga yang diarahkan oleh instruktur profesional.

Ruas Bambu Nusa (Dokumentasi Pribadi)
Ruas Bambu Nusa (Dokumentasi Pribadi)

Kami diarahkan untuk beranjak ke bagian belakang. Terlihat area menyerupai amfiteater berbentuk lingkaran dikelilingi oleh tanaman bambu yang tumbuh menjulang. Kilauan cahaya matahari tampak sesekali mengintip dari sela-sela rimbunnya daun bambu. Amfiteater itu ternyata instalasi bambu berbasis eco-art bernama Ruas Bambu Nusa sebagai mahakarya Bapak Yahya Widya Poerwoko dalam perjalannya memperoleh gelar doktor. 

Beliau merupakan ayah dari keluarga pemilik tempat ini yang berprofesi sebagai seorang desainer dan pemerhati lingkungan. Ide mengenai instalasi bambu ini bermula ketika Pak Yahya melihat potensi keberlanjutan lingkungan dan ekonomi dari tanaman bambu sebagai vegetasi yang paling tumbuh subur di hamparan tanah kering kerontang pascaerupsi Gunung Merapi di tahun 2010. 

Menyadari besarnya peran bambu sebagai katalis pulihnya ekosistem di kawasan tersebut, Pak Yahya terdorong untuk menggarap suatu karya seni dengan memanfaatkan ilmu dan keterampilan yang dikuasainya dengan tujuan mengubah pandangan masyarakat terhadap bambu yang masih sering disepelekan. Berbagai respon positif diberikan atas berdirinya instalasi bambu ini. 

Ruas Bambu Nusa merupakan lokasi yang ideal untuk menggelar berbagai penampilan atau atraksi seni dan budaya serta diskusi alam terbuka. Bahkan, area ini mendukung kegiatan bermalam dengan disediakannya pondokan-pondokan kayu yang berjejer di sisi kanan dan kiri. Tak hanya menawarkan keindahan, berdirinya Ruas Bambu Nusa sarat akan makna, filosofi, dan harapan di masa depan.

Menyusuri Jalan Setapak (Dokumentasi Pribadi)
Menyusuri Jalan Setapak (Dokumentasi Pribadi)

Perjalanan belum usai. Bersama Mas Ade yang masih setia memandu, kami berbaris melangkah jauh lebih dalam menyusuri rimbunnya pepohonan. Udara masih terasa segar meski teriknya sinar mentari semakin terasa. Kami melakukan tebak-tebakan nama tanaman yang kami temui di sepanjang jalan setapak untuk mengisi kekosongan. Kami menjumpai berbagai jenis tanaman di sana, seperti cokelat, kopi, vanili, kelapa, serta bambu. Di perjalanan, kami juga melewati peternakan ayam, kambing, dan sapi. Beberapa kali kami berpapasan dengan penduduk setempat yang dengan ramahnya menyapa kami dan berbasa-basi. Tentunya kami tanggapi dengan senang hati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun