Mohon tunggu...
Deeyan Rachma
Deeyan Rachma Mohon Tunggu... -

Think like a man of action. Act like a man of thought

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

JJS ke Swedia (1) - Eslov & Island of Ven

17 Juni 2010   14:51 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:28 589
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pada tanggal 19 September - 10 Oktober 2009 lalu alhamdulillah saya berkesempatan untuk mengikuti International Training Programme yang diselenggarakan oleh Lund University-Swedia dan disponsori oleh Swedish International Development Agency (SIDA) mengenai Conservation and Management of Historic Buildings. Kegiatan semacam kursus singkat tersebut sangat menarik karena pengalaman yang saya peroleh sebagai partisipan tidak melulu berupa teori tetapi juga disertai dengan studi ekskursi ke beberapa obyek warisan budaya (baca: arsitektur bersejarah) bangsa Swedia yang memang telah dikonservasi demi menjaga keutuhan fisik dan nilai-nilai sejarahnya.

Studi ekskursi yang pertama pada tanggal 29 September dengan tujuan The Civic Hall (Medborgarhuset) di Eslov dan Tyco Brahe Museum di Island of Ven (Pulau Ven). Saya dan teman-teman peserta lainnya (27 orang dari beberapa negara di Asia, Afrika, dan Amerika Latin) berangkat dengan bus pada pukul 07.20 tepat dari Hotel Planetstaden, Lund (tempat kami menginap selama 3 minggu), dipandu oleh Ingela, salah satu staf pengajar di Lund University, dan Marwa, salah satu mahasiswa doktorat di Lund University.

[caption id="attachment_169478" align="aligncenter" width="300" caption="Pemandangan sepanjang jalan dari Lund menuju Eslov"][/caption]

Perjalanan ke Eslov tidak memakan waktu lama, yaitu sekitar 45 menit. Apalagi pemandangan sepanjang perjalanan begitu menarik. Namun begitu sampai tujuan dan turun dari bus, sedikit gerimis di suhu 8 derajat Celcius lumayan membikin panik saya yang di Indonesia hanya terbiasa dengan dua musim. Pun teman lain dari Asia dan Afrika yang berpengalaman dengan empat musim juga mengeluhkan hal yang sama. Seketika kamipun berlarian masuk ke dalam The Civic Hall yang dari luar sebenarnya tampil megah itu. Pikir kami, belakangan sajalah mengamati fasade bangunannya. Yang penting nggak kedinginan dulu.

[caption id="attachment_168529" align="aligncenter" width="300" caption="The Civic Hall (Medborgarhuset) di Eslov - Tampak Depan"][/caption]

[caption id="attachment_169793" align="aligncenter" width="300" caption="Top Roof The Civic Hall"][/caption]

Benar saja, begitu masuk ke lobby utama bangunan karya arsitek tersohor Swedia -Hans Asplund- itu, kami seketika disergap rasa hangat. Bukan saja karena efek dari penghangat ruangan, melainkan juga karena suasana interiornya yang cozy dengan furnitur yang didominasi oleh material kayu.

[caption id="attachment_168543" align="aligncenter" width="300" caption="Interior The Civic Hall"][/caption]

[caption id="attachment_169797" align="aligncenter" width="300" caption="Ruang Makan - Di The Civic Hall"][/caption] Diresmikan pada tahun 1957, kompleks The Civic Hall terdiri atas empat lantai sebagai fasilitas kantor, dan sebuah massa berbentuk kerucut sebagai tempat pertemuan ( meeting hall), yang dihubungkan oleh sebuah atrium berbentuk oval di pusatnya. Perbedaan fungsi ruangnya -sebagai tempat pertemuan, even dan pertunjukan budaya, pameran, kantor dan restoran- sangat sesuai dengan karakter bangunannya. [caption id="attachment_168556" align="aligncenter" width="300" caption="Meeting Hall "][/caption]

Pada tahun 2001 The Civic Hall masuk dalam kategori monumen nasional. Interiornya secara total direstorasi dan direnovasi untuk mengakomodasi persyaratan kenyamanan dan keamanan secara lebih modern. Fasilitasnya diperlengkap dengan bar, kafe dan dapur, gudang, serta teknologi audio-visual. Aksesibilitas semua ruang, penandaan dan pencahayaan juga ditingkatkan. Furnitur lama yang didesain oleh Hans Asplund direparasi bahkan ditambah dengan furniture baru. Panel-panel dinding dari kayu Ek dan cemara Oregon dibersihkan dan dirawat dengan minyak khusus. Semua bidang yang memakai cat dicat ulang dengan cat emulsi sesuai dengan skema warna aslinya.

[caption id="attachment_168658" align="aligncenter" width="300" caption="Furnitur yang serba kayu"][/caption]

Tidak hanya itu, pemanas ruang hemat energy dan sistem listrik, sistem drainase dan ventilasi juga memakai teknologi baru tanpa mengubah kondisi struktur aslinya. Tak kalah dengan interiornya, plesteran dinding eksteriornya direstorasi menjadi serupa batu alam dengan permukaan kasar. Jendela dan pintu dari kayu Ek yang sempat diganti dengan metal pada tahun 1970, dikembalikan lagi dengan material seperti semula. Kemudian atap aluminiumnya yang asli dibersihkan dan diperbaiki.Detailmarmer pada fasadenya juga dikonservasi.

[caption id="attachment_169845" align="aligncenter" width="300" caption="Dinding eksterior The Civic Hall yang dilapisi aluminium"][/caption]

Pada tahun 2006 The Civic Hall mendapat penghargaan Europa Nostra Award untuk kategori "contoh penting dalam restorasi dan renovasi dalam Moderenisasi Skandinavia, yang memberi sumbangsih bagi kepentingan umum dan manfaat bagi warga Eslov.”

[caption id="attachment_169830" align="alignleft" width="300" caption="View dari Top Roof The Civic Hall"][/caption] [caption id="attachment_168677" align="alignright" width="217" caption="Saya dan teman2 partisipan"][/caption]

Tanpa terasa sudah 1 jam kami melihat-lihat The Civic Hall. Pukul 09.00 Ingela sudah mewanti-wanti kami untuk segera bersiap menuju ke obyek kunjungan berikutnya, yaitu Tycho Brahe Museum di Island of Ven ( Pulau Ven). Perjalanan ke Island of Ven akan memakan waktu kurang lebih 2 jam. Itupun karena kita harus ke kota Landskrona dulu ( kota di ujung Barat Swedia ) untuk kemudian naik feri menyeberang ke Pulau Ven.

Jam 10.00 kami sampai di Pelabuhan feri di Landskrona. Setelah menunggu kurang lebih 15 menit kami lalu memulai pesiar singkat mengarungi Selat Kattegat di Barat Daya Swedia itu. Air lautnya yang biru jernih menandakan belum tercemar oleh limbah dan sampah. Mataharipun bersinar cerah. Walaupun begitu, angin tetap tak mau mengalah untuk tetap memaksa kami memakai mantel tebal andalan.

[caption id="attachment_169484" align="aligncenter" width="300" caption="Pelabuhan feri di Landskrona"][/caption] [caption id="attachment_170492" align="aligncenter" width="300" caption="Laut biru di Selat Kattegat"][/caption]

Begitu mendarat di Pulau Ven 30 menit kemudian, seketika kami terkagum-kagum akan indahnya panorama di sekeliling selat dan pulau kecil itu. Alami namun tertata apik. Kami berjalan kaki menyusuri Pulau Ven menuju ke Tycho Brahe Museum.

[caption id="attachment_169469" align="aligncenter" width="500" caption="Island of Ven"][/caption]

[caption id="attachment_169827" align="aligncenter" width="350" caption="Suasana di Island of Ven"][/caption] [caption id="attachment_169850" align="aligncenter" width="500" caption="Island of Ven"][/caption]

Sejarah kompleks museum ini berawal dari keberadaan seorang Tycho Brahe. Pada abad ke-15, ia memberikan kontribusi penting bagi perkembangan ilmu pengetahuan di bidang astronomi.Tycho Brahe menciptakan instrumen astronomi baru dan memetakan letak bintang-bintang dan planet-planet di alam semesta. Karena paham akan pentingnya penemuan-penemuan Tycho Brahe, maka raja Denmark waktu itu, Raja Frederick II, menghadiahkan Pulau Ven pada Tycho dan membangun pusat sains dan seni yang indah di Pulau Ven hingga terkenal ke penjuru Eropa.

[caption id="attachment_169497" align="aligncenter" width="280" caption="Tyco Brahe Museum (dulunya Gereja Lutheran Allhelgona)"][/caption]

Kunjungan kami diawali dengan bangunan utama Tycho Brahe Museum, yang dulunya merupakan gereja bernamaGereja Allhelgona.Gereja ini dibangun pada tahun 1899, dengan style Neo Gotik. Dan telah digunakan sesuai fungsi aslinya sampai dengan tahun 1996, untuk kemudian dibeli oleh The National Property Boardpada tahun 2003 setelah dinyatakan bukan bangunan suci.Itu merupakan pertama kalinya sebuah gereja Lutheran Swedia telah diadaptasi untuk digunakan secara sekuler.Disini terdapat semacam ruang multimedia mini dimana setiap 15 menit akan memutar film documenteryang akan membawa kita seolah-olah berada di jaman Tycho Brahe semasa masih hidup dan melakukan eleksperimennya.

[caption id="attachment_169552" align="alignright" width="300" caption="Instrumen Astronomi Tyco Brahe"][/caption]

[caption id="attachment_169552" align="alignnone" width="223" caption="Rumah petani yang sempat menjadi museum lama dan kini menjadi toko souvenir"] Interior Tyco Brahe Museum dilihat dari Main Entrance

Setelah puas mengamati hasil eksperimen Tycho Brahe, kami lalu keluar menuju museum lama (dibangun pada abad ke-19) yang dulunya merupakan rumah petani, namun sekarang berfungsi sebagai toko souvenir/merchandise serba Tycho Brahe. Banyak pernik unik yang dijual disana. Seperti mainan anak-anak serupa teropong bintang, pena bulu ayam yang mungkin ngetren di abad ke-15, buku-buku tentang astronomi dan biografi Tycho Brahe, pajangan, dan lain-lain.

[/caption]

Bosan dengan suasana di dalam ruangan, Ingela lalu membawa kami mengunjungi Taman Tycho Brahe.Taman yang asalnya sudah ada sejak tahun 1570 ini merupakan hasil rekonstruksi pada tahun 1992 yang dilakukan oleh Departemen Rekreasi dan Kebudayaan Landskrona dengan Fakultas Ilmu Agrikultural Swedish University. Disainnya didasarkan pada litereatur tentang kebun, dokumentasi foto, dan pada pengetahuan yang mereka miliki tentang taman Renaissance di Denmark dan Skane di masa itu. Salah satu tujuannya adalah untuk menampilkan semua tanaman budidaya kebun bangsa Denmark menjelang akhir abad ke-16. Sekarang taman tersebut merupakan satu-satunya taman peninggalan Renaisans di dunia, yang dilindungi oleh "Perjanjian Venesia".

[caption id="attachment_169818" align="aligncenter" width="300" caption="Taman Renaissance Tyco Brahe"][/caption]

Mengunjungi kompleks Tycho Brahe Museum tentu tidak lengkap tanpa berkunjung ke Observatorium. Bangunan ini didisain berdasarkan pengalaman Tycho Brahe di istana. Sejak tahun1584 ia menempatkan instrument-instrumennya di bawah tanah agar terlindung dari angin dan cuaca. Pondasinya berupa pilar-pilar granit solid. Kubah besarnya bisa berotasi ke segala arah sementara instrumen-instrumen untuk eksperimennya tersembunyi di balik lubang-lubang yang bisa terbuka dan memunculkan instrument-instrumen itu ke permukaan. Konsep ini pada akhirnya menjadi acuan bagi disain observatorium di Eropa.

[caption id="attachment_169821" align="aligncenter" width="300" caption="Observatorium"][/caption]

[caption id="attachment_169823" align="aligncenter" width="300" caption="Instrumen Astronomi peninggalan Tyco Brahe "][/caption]

Tanpa terasa waktu sudah menunjukkan pukul 13.00. Pantas saja perut terasa keroncongan. Sebelum kembali ke Lund, Ingela mengajak kami makan siang terlebih dahulu di Turistgarden, restoran kecil dekat kompleks museum. Syukurlah matahari lebih bersahabat dibanding saat berangkat tadi. Walaupun lelah tetapi minimal kami tidak menggigil kedinginan. *DEEYAN RACHMA*

[caption id="attachment_169826" align="aligncenter" width="300" caption="Turistgarden, restoran kecil dekat kompleks museum"][/caption]

*Artikel ini pernah dimuat di Tabloid HUNIANKU*

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun