Sore itu pukul 15.30, hujan turun sangat deras. Aku terbangun dari tidurku. Terakhir ku ingat aku sedang menghafal pelajaran Biologi untuk kuis besok, tapi ternyata, selalu, membaca buku pelajaran adalah cara terjitu untuk mengundang kantuk. Aku beranjak dari tempat tidur, keluar kamar. Ku lihat suasana rumah sepi.
Ayah ternyata belum pulang bekerja. Segera aku berjalan menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Dan..oh. Tak lama aku kembali ke kamar dan mulai mengaduk-aduk lemari pakaianku. Hufth, pembalutku habis. Bingung tiba-tiba berbayang di benakku. Bagaimana ini? di luar hujan sangat deras, enggan sekali rasanya pergi ke warung.
Tiba-tiba teringat Ayah yang masih berada di luar. Segera ku raih ponselku yang tergeletak di tempat tidur. Ku tekan angka 1 daftar panggilan cepat. Terdengar nada sambungan dan,
“Assalamu‟alaikum, kenapa Yas?” terdengar suara Ayah di ujung telepon sana.
“Ayah,..” ucapku lirih. Ada rasa malu menyembul di hatiku. Selama ini aku selalu membeli keperluan pribadiku sendiri dan kini..ohh, betapa kehadiran seorang Ibu sangat berarti di saat-saat seperti ini.
“Kenapa Yas? Yas mau titip sesuatu gak? Kebetulan Ayah lagi di swalayan,”
Dahsyat, intuisi seorang Ayah, batinku. “Ehmm, iya Yah, Yas mau titip sesuatu,” jawabku
“Apa?”
“Mm..pem-balut Yas habis,”ucapku dengan muka yang kurasa mulai memerah
Sedetik, dua detik, tak terdengar jawaban. “Ohh, iya insya allah, Yas tunggu ya, sebentar lagi Ayah pulang..”
Alhamdulillah, ku tarik nafas lega. Sekarang hanya tinggal menunggu Ayah pulang. Tapi mendadak aku teringat Bunda. Meski hanya berkesempatan memandangi wajah teduh itu selama empat tahun, aku sangat bersyukur.
Bunda adalah wanita paling cantik dan anggun yang pernah ku lihat, maka wajar saja Ayah jatuh cinta, aku sendiri jatuh cinta saat pertama kali memandang wajahnya di salah satu ruang bersalin Rumah Sakit beberapa jam setelah aku dilahirkan. Bagaimana aku ingat? Jawabku intuisi seorang anak. Bunda wafat karena sakit saat aku berusia empat tahun.
Aku yang belum mengerti banyak, hanya bertanya, Ayah, Bunda kemana? Dan aku masih sangat ingat jawaban Ayah, Bunda pulang, sayang, ke rumah di surga. Aku mengangguk saja. Suatu hari Bunda pernah bercerita bahwa surga adalah tempat yang sangat indah. Tahu Bunda pulang ke tempat yang indah, membuatku tak terlalu mencemaskan kepergiannya. Bunda sudah di tempat yang tenang sayang, begitu kata Ayah selalu menghiburku saat aku meradang merindukan Bunda.
Sejak saat itu aku dan Ayah hanya hidup berdua. Kami tak hanya seperti seorang anak dengan ayahnya, kadang kala kami lebih sering saling menjaga seperti seorang sahabat. Ayah mampu berperan ganda. Tak sekedar sibuk bekerja, Ayah selalu memasakku makanan yang enak dan tak pernah sekalipun melewatkan moment membaca dongeng sebelum aku tidur, tentu hanya sampai aku kelas empat SD.
Dongeng favoritku adalah Beauty and The Beast. Aku jatuh cinta pada sosok Belle yang sangat mencintai ayahnya. Sama sepertiku, Belle hanya tinggal bersama Ayah meski Belle lebih beruntung karena memiliki dua orang saudara perempuan. Sama seperti Belle, aku mau berkorban apapun demi kebahagiaan Ayah bahkan jika harus terperangkap di istana seorang Beast sekalipun.
Ayahku adalah terhebat. Meski aku hanya mengenal seorang Ibu sampai usia empat tahun saja, tapi Ayah sungguh merawatku dengan baik dan aku tumbuh menjadi gadis yang cantik dan manis. Aku besar menjadi gadis pada umumnya, tak kehilangan sisi feminim meski dirawat oleh seorang pria sedari kecil. Hingga kini aku duduk di bangku kelas satu SMA, aku tak pernah sekalipun mendengar Ayah bermaksud mencari pengganti Bunda. Sepertinya Ayah sudah cukup bahagia dengan hanya mencintai Bunda.
Aku sendiri tak pernah melarang Ayah untuk kembali berhubungan dengan wanita lain. Aku tahu Ayah sudah cukup berusaha untuk merawatku selama ini. Aku sangat tahu bahwa Ayah kesepian. Tapi senyum Ayah selalu menyiratkan memilikiku saja seolah ia pun merasakan kehadiran Bunda. Ya, Ayah memang selalu berkata bahwa aku adalah cetak biru Bunda.
Pukul 16.05 terdengar suara mobil berhenti. Aku tahu Ayah sudah sampai. Aku segera membuka pintu menyambut kehadirannya.
“Assalamu‟alaikum,”
“ „Alaikumsalam,” jawabku berdiri di ambang pintu. Tanganku meraih tangan Ayah dan menciumnya.
“Ini belanjaannya bawa masuk ke dalam, Yas. Ayah mau shalat,” pinta Ayah langsung berjawab anggukanku.
Ku letakkan belanjaan itu di meja ruang TV. Segera ku aduk-aduk belanjaan tersebut mencari pembalut yang ku pesan. Ah, ini dia, seruku riang. Tetapi, rasa senangku sedikit memudar. Memang benar yang Ayah membeli pembalut, tapi Ayah membeli ukuran maxi dan tanpa sayap. Aku tak pernah cocok memakai pembalut macam itu.
“Kenapa Yas?” tanya Ayah yang tiba-tiba melihatku terdiam.
Rasanya ingin memprotes bahwa titipanku salah, tapi rasanya tak tega. Selama ini Ayah tak pernah mengurusi keperluan sangat pribadiku maka wajar bila beliau tidak tahu. “Oh eh, enggak, Yah. Pembalutnya makasih ya Yah,” jawabku.
“Oh..” Ayah tersenyum lalu hilang ditelan pintu kamarnya.
***
Malam ini seorang teman sekolahku datang ke rumah. kami memang sudah sepakat untuk mengerjakan tugas bersama. Di ruang tamulah kami belajar sambil di temani camilan dan diselingi tawa. Putra. Dia salah satu teman dekatku. Sedekat apa? Aku, entah mungkin juga dia, tak tahu. Teman-temanku yang lain sering mengejekku dan mengatakan bahwa sebenarnya Putra menyukaiku. Suka? Ku akui akupun menyukainya, kalau tidak, mana mau aku menghabiskan waktu-waktu seperti ini bersamanya. Ini adalah pertama kalinya aku dekat dengan seorang laki-laki. Tahu bagaimana rasanya? What is flowering in my heart. Aku seringkali berpikir, mungkin ini yang dinamakan cinta dan mohon tidak menambahkan kata monyet dibelakangnya.
“Jadi kamu tinggal berdua aja, Yas?” tanya Putra yang memang baru pertama kali datang ke rumahku.
“Iya..” jawabku sambil menuliskan jawaban pada sebuah pertanyaan di kertas tugas.
“Besok pulang sekolah kita nonton yuk? Ada film bagus lagi tayang loh?” ajak Putra sambil melirik ke arah ruang tv yang memang terhubung langsung ke ruang tamu.
Aku ikut melirik ke arah Putra melihat. Ayah tampak duduk di sofa tv dengan tatapan mata seolah mengawasi kami.
“Ayah kamu kenapa, Yas? Kayaknya dia gak suka aku,” tanya Putra sedikit tak enak karena diawasi macam itu.
Aku sedikit salah tingkah, “oh ehh, gak apa-apa , Put. Ayahku baik kok. Ok, boleh deh besok kita nonton,” jawabku.
“Oohh,” Putra mengangguk lalu melanjutkan mengerjakan tugasnya.
“Anak laki-laki tadi siapa, Yas?” tanya Ayah yang berdiri mematung di depan pintu kamarku yang membuka. Aku tengah membaca novel masih sedikit kesal dengan tindakan Ayah tadi.
“Dia temen Yas, Yah. Namanya Putra. Bukan anak –anak lagi,” jawabku ketus.
“Yas kenapa?” tanya Ayah sambil mengambil duduk di ujung tempat tidurku.
Aku menarik nafas sebelum menjawab pertanyaan Ayah. “Ayah yang kenapa tadi? Pake ngawasi Yas segala? Emang temen Yas maling ya?” jawabku tak bisa menahan kesal lagi.
Ayah terdiam sejenak. “Ayah cuma khawatir, Yas..”
“Yas udah besar Ayah, bukan anak kecil lagi. Yas bisa ngatur hidup Yas sendiri. Ayah begitu terlalu over protective sama Yas,”
“Yas gak suka Ayah begitu?” tanya Ayah lagi.
Aku mengangguk sambil memunggungi Ayah dan meneruskan membaca.
“Ya sudah. Ayah percaya sama Yas. Jangan tidur malem-malem yah,” kata Ayah sambil bangkit dari duduknya. Tak lama terdengar pintu kamarku menutup. Aku menoleh menyadari sosok Ayah yang telah hilang di balik pintu.
***
Aku melirik arloji yang melingkar di tangan kiriku. Sudah pukul 20.00 malam dan aku masih di angkutan umum. Sepulang sekolah tadi aku jalan-jalan dengan Putra. Nonton, makan dan keliling-keliling kota. Ini adalah pertama kalinya aku pulang malam tanpa memberi kabar pada Ayah.
Aku memang sengaja tak memberi tahu Ayah, karena sudah pasti Ayah tak akan pernah mengizinkanku mangkir lepas pulang sekolah, apalagi hanya berdua dengan seorang laki-laki meski dia hanya temanku. Dalam hati aku juga ingin merasakan indahnya masa muda seperti teman-temanku yang lain. Indah seperti apa?
Entahlah, mungkin seperti ini, berkawan akrab dengan lawan jenis, bisa jalan-jalan dan melakukan apapun yang kami mau.
Berkali-kali Ayah menelponku dan aku sengaja tak mengangkatnya. Akhirnya aku sengaja mematikan ponselku. Setengah jam sudah aku diperjalanan. Kini aku sudah berada di depan pintu rumah. Aku tahu Ayah akan sangat marah dan aku sudah bersiap untuk mendapat semprot Ayah. Terkadang butuh keberanian untuk melakukan hal-hal baru, batinku memberi pembenaran.
Perlahan ku ketuk pintu sambil mengucap salam. Terdengar langkah terburu-buru dari balik pintu. Tak berapa lama, pintu di depanku akhirnya membuka.
Tampak Ayah berdiri mematung dengan wajah yang tak biasa. Datar. Aku sudah bersiap untuk menerima wajah marah Ayah. Aku sudah bersiap mendapat semprot dari Ayah. Tapi ternyata, Ayah menampakkan ekspresi yang aneh di sana. Ekspresi yang tak bisa ku artikan apa dan aku jauh tidak siap dengan ekspresi yang amat datar itu. Ayah hanya diam.
“Maaf Yah, Yas tadi main sepulang sekolah,” kataku sambil menundukkan wajah. Hanya kalimat itu yang akhirnya keluar dari mulutku.
Satu, dua, tiga detik, tak ada jawaban dari Ayah. Dari ujung mataku, ku lihat Ayah berbalik meninggalkanku di depan pintu tanpa memberi sepatah katapun. Perasaanku tiba-tiba sakit. Aku berdiri memandangi bayangan Ayah yang bahkan sudah tak tampak lagi. Ayah, panggilku membatin.
***
“Kemarin Ayah kehilangan gadis kecil Ayah yang manis,” ujar Ayah sambil mengolesi roti tawarnya dengan selai kacang ketika aku baru saja sampai di meja makan.
“Maaf, Yah,” jawabku. “Yas kemarin main,”
“Sampai lupa waktu? Dan gak kasih kabar ke Ayah?” tanya Ayah lagi masih dengan emosi datar.
“Karena Yas yakin Ayah gak bakal kasih izin kalo Yas bilang,” jawabku sedikit mengesal.
“Ayah manapun gak bakal kasih izin anak perempuannya untuk melakukan hal-hal yang gak jelas,”
“Gak jelas? Maksud Ayah? Yas cuma main, jalan-jalan. Yas udah besar, Yas juga ingin merasakan kayak temen-temen kebanyakan. Gak melulu terkurung di rumah, sendirian,”
Ayah menatapku.
“Yas udah besar Ayah, berhenti khawatir terhadap Yas. Yas ingin punya kehidupan pribadi juga,” pintaku dan Ayah tetap bergeming menatapku.
***
“Semalam gimana Yas? Kamu gak dimarahin kan sama Ayah kamu?” tanya Putra sambil melahap mie baksonya. Saat ini kami sedang istirahat di kantin sekolah.
“Dimarahin sih enggak, cuma Ayah kurang suka aja aku main gak bilang-bilang.”
“Ooohh...”
“Tapi gak apa-apa kok. Aku udah bilang buat gak usah khawatir lagi sama aku,” tambahku lagi.
Putra mengangguk. “Oh ya, mau ikut ke rumah aku gak siang ini? kebetulan aku punya film baru,” ajak Putra kemudian.
“Siapa aja?” tanyaku balik
“Banyak. Wulan sama Denis juga ikut,”
“Ooohh, boleh,” jawabku sedikit ragu.
Rumah Putra berada di kompleks perumahan yang cukup mewah. Siang itu, tak ada siapa-siapa di rumah Putra. Keduanya orangtuanya sedang ke luar kota menjenguk
Saudaranya yang sakit. Sama sepertiku, Putra adalah anak tunggal. Bedanya Putra masih memiliki orang tua yang lengkap. Segala kebutuhannya dibantu oleh Bi Imah, pembantu rumahnya yang sudah bekerja bahkan saat Putra masih dalam kandungan.
Ditambah aku, ada enam orang yang berkunjung ke rumah Putra. Kami semua menunggu di ruang tv, sedangkan Putra tengah menyiapkan minuman di dapur. Kebetulan Bi Imah sedang ada keperluan menengok anaknya di kampung. Sebelum film di putar aku mendadak ingin buang air kecil.
Akupun segera berlari ke kamar mandi agar tak ketinggalan bagian awal film. Aku sendiri tak tahu film apa yang akan kami tonton, cukup percaya bahwa selera film Putra tak diragukan lagi. Selepas dari kamar kecil, betapa kagetnya aku melihat film apa yang tengah diputar. Sigap aku berlari mendekati tv dan mematikannya.
“Kalian ngapain sih nonton film begitu?” tanyaku dengan nada marah.
“Lu ngapain pake matiin filmnya segala?” tanya Rajes
“Film itu gak pantes kita tonton,”
“Alah, elu Yas, buat refreshing dikit kan gak apa-apa?” timpal teman yang lain.
“Refreshing kalian bilang?!” aku menghela nafas tak habis pikir.
“Gak apa-apa, Yas. Kita gak bakal aneh-aneh kok, percaya deh,” kini giliran Putra yang bersuara.
“Mau gak bakal aneh-aneh kek‟ tetap aja kita gak pantes nonton film begitu. Itu cuma buka peluang merusak kita,” aku berusaha keras mengingatkan teman-temanku.
“Ya udah sih, kalau gak mau nonton, pulang aja. Repot amat,” ketus Wulan berkata.
Aku tersentak, teman sebangkuku sendiri berkata seperti itu. Kecewa, tentu. Dia adalah satu-satunya perempuan di ruanganitu selain aku, tapi dia sama sekali tak mengerti maksudku. Tak ada gunanya aku di tempat itu. Tanpa pikir panjang lagi aku mengambil tasku dan bergegas pulang. Hatiku kecewa, sakit bagai dicabik-cabik.
Teman-temanku yang ku kira menyayangiku, ternyata kurang menyayangi dirinya sendiri. Sambil berlari, aku bertanya, masa muda macam apakah yang sebenarnya aku inginkan? Apa yang seperti ini?? Tak tahu, hanya air mataku terus meleleh. Sedih rasanya menyadariku diriku sendiri yang seperti ini, sedih rasanya menyadari teman-temanku sendiri yang seperti itu.
Sesampainya di rumah ku lihat Ayah sedang membaca buku di ruang tv. Aku mengucap salam dan mencium tangan Ayah lalu bergegas masuk kamar. Ayah kelihatan khawatir melihatku dengan wajah sendu.
“Yas ada apa?”
Aku tak menjawab, hanya terus menghilang dari balik pintu kamarku. Terdengar Ayah masih bertanya sambil sesekali mengetuk pintu kamarku.
“Yas gak kenapa-kenapa Yah,” jawabku dari balik bantal. Selepas itu ku dengar langkah Ayah menjauhi pintu kamarku.
Dalam sepi ruang kamarku, aku masih merasa kecewa membayangkan teman-temanku itu. Saat ini apa yang tengah terjadi pada mereka? Semoga benar kata Putra bahwa tak terjadi hal-hal aneh pada mereka, batinku.
Malamnya aku keluar kamar. Rasa lapar mendorongku untuk mencari sesuatu yang bisa mengganjal perut. Suasana rumah sepi padahal jam di dinding baru menunjukkan pukul 20.30. Biasanya ada Ayah yang menonton berita malam atau sekedar mencari komedi hiburan, tapi tv tak menyala dan tak ada Ayah. Ku julurkan kepala dari balik pintu kamar Ayah yang sedikit terbuka. Terlihat Ayah tengah duduk di salah satu ujung tempat tidurnya sambil membolak-balik sebuah album foto.
Ku beranikan diri mengetuk pintu, “boleh Yas masuk, Yah?”
Ayah menoleh, wajahnya tersenyum memberi anggukan. Aku melangkah segera mengambil duduk tepat di samping Ayah. Ternyata Ayah sedang melihat foto-foto Bunda dan kami berdua.
“Bunda cantik ya Yah?” ujarku sambil menyentuh salah satu foto Bunda.
Ayah mengangguk, matanya masih menatap sekumpulan foto pada album tersebut. “Yas tahu? Sebelum Bunda wafat, Bunda meminta Ayah untuk selalu menjaga dan merawat Yas. Bunda ingin melihat Yas jadi gadis yang cantik dan manis,” cerita Ayah
“Ayah udah merawat dan menjaga Yas selama ini. Bunda pasti senang karena Yas jadi gadis cantik dan manis sekarang,” ujarku sambil menyandarkan kepalaku ke pundak Ayah.
Ayah menghela nafas, “Ayah takut gak bisa menjaga kamu dengan baik Yas,”
“Tapi selama ini Ayah sangat menjaga Yas,”
Ayah terdiam, kembali membalik lembaran album tersebut. “Yas tahu apa yang sangat ditakutkan seorang ayah pada anak perempuannya?” tanya Ayah kemudian.
Aku menggeleng. Memandang Ayah.
“Seorang ayah akan sangat khawatir ketika anak perempuannya mulai dekat dengan laki-laki,”
Keningku berkerut memendam tanya.
“Seorang ayah akan sangat takut permatanya tak terjaga. Kamu satu-satunya permata Ayah dan Ayah tak akan membiarkan kamu terluka oleh tangan siapapun. Ayah tak akan melarang kamu bergaul dengan siapapun selama Yas tahu mana yang baik dan tidak baik. Ayah juga tahu Yas sudah besar, perasaan tertarik pada lawan jenis pasti selalu ada, tapi, sampai saatnya nanti Yas bisa kan cukup jadi anak perempuan Ayah yang manis?” ujar Ayah dengan suara sedikit bergetar.
Aku terdiam.
“Ayah punya satu dongeng buat kamu,” tangan Ayah merangkulku lembut. “Judulnya Beauty and The Best,” Ayah menatapku lembut.
“Beauty and The Beast Ayah?” kataku meralat perkataan Ayah.
Ayah tertawa. “Itu gak adil sayang. Allah sudah menjanjikan bahwa bahwa perempuan yang baik hanya untuk laki-laki yang baik pula. Segala di dunia ini, jika kita terus melakukan perbaikan, menjadi yang terbaik maka kita akan mendapatkan balasan yang indah. Pola beauty and the best ini berlaku untuk semuanya, Yas. Entah itu untuk karir kamu nanti, rezeki kamu bahkan jodoh kamu,”
“Yas gak ngerti, Ayah..”
“Kamu cukup menjadi seorang perempuan yang cantik untuk mendapatkan segalanya yang terbaik,”
“Emang sekarang Yas kurang cantik ya Yah?” tanyaku jahil
Ayah mengelus rambutku, “jadi perempuan cantik di sini, di sini dan di sini,” jawab Ayah sambil menunjuk wajah, kepala dan dadanya. “Itu baru cantik sempurna dan kamu akan dapat apapun yang terbaik. Beauty and The best,”
Aku tersenyum. Aku mengerti nasihat Ayah. Sampai saatnya nanti aku ingin selalu menjadi perempuan yang baik agar kehidupanku mendapat yang terbaik.
“Yas sayang Ayah. Selamanya Yas akan jadi gadis Ayah yang manis,” bisikku tepat di telinga Ayah sambil memeluknya erat.
Penulis ; Larasaty
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H