Mohon tunggu...
Dees Pena
Dees Pena Mohon Tunggu... Freelancer - DIGITs

DIGITs - Digital Intelligence Initiatives

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Gunung Botak, Nasib Nahas Tanah Emas

17 November 2018   11:24 Diperbarui: 17 November 2018   11:46 274
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

SILAU emas di Gunung Botak, laksana magnet yang menyedot minat manusia mengadu keberuntungan. Tak peduli walau dengan resiko mempertaruhkan nyawa. Mereka berbondong dari Pulau Jawa dan mayoritas dari Sulawesi. Namun naas, nasib lingkungan lokasi tambang yang diyakini menyimpan kandungan emas di Pulau Buru, Maluku ini, seolah memasuki titik nadir membahayakan, akibat kegiatan pertambangan emas liar yang menggunakan bahan beracun berbahaya jenis merkuri serta sianida, tanpa kendali dan pengawasan.

Sejak 2012 hingga 2015, diperkirakan sebanyak 4000 orang pelaku Pertambangan Tanpa Ijin atau disebut PETI di Gunung Botak dan Gogrea, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku. Belakangan, aparat gabungan TNI, Bareskrim Polri dan Polda Maluku melakukan penertiban secara berkala. Namun sayang, belum ada upaya sistematis menghentikan kegiatan mereka secara permanen, sehingga penertiban seolah rutinitas musiman hingga berpuluh kali. Sementara dampak pertambangan ilegal, bukan saja menghancurkan lingkungan sekitar dengan kerugian tak ternilai, melainkan negara juga tidak mendapatkan penerimaan dari praktek tambang ilegal ini.

Tak ayal muncul cerita mengerikan. Nyawa manusia bahkan hewan peliharaan warga seperti sapi dan kambing, juga kerap melayang karena terpapar zat kimia berbahaya yang digunakan penambang liar mendulang emas. Lebih parah lagi, lahan bekas pertambangan emas ilegal tentu saja menimbulkan perubahan lingkungan dan perubahan kimiawi air tanah serta air permukaan, dan secara fisik merubah morfologi dan topografi lahan yang tidak terhindarkan. Selain itu, secara mikro terjadi perubahan iklim, gangguan habitat biologi flora dan fauna, termasuk penurunan produktivitas tanah karena menjadi tandus dan gundul.

Berbagai kerusakan lingkungan terpampang kasat mata di Gunung Botak dan sekitarnya, tetapi kebijakan pemerintah seolah setengah hati untuk menata dan memulihkan kembali lingkungan Gunung Botak yang jadi primadona bagi kegiatan pertambangan liar. Tidak adanya konsistensi kebijakan pemerintah, baik pusat dan daerah tentu saja menimbulkan aneka persoalan di lapangan, mulai dari konflik sosial antar warga. Pastinya, kerusakan lingkungan makin parah, tanpa upaya pemulihan memadai.

Pemerintah Provinsi Maluku, melalui Dinas ESDM memang mencoba menginisiasi penataan lingkungan dan pemulihan bekas lokasi pertambangan emas ilegal Gunung Botak dan Gogrea dengan menggandeng pihak swasta, yang dimulai dari wilayah sungai Anahoni, sebagai langkah normalisasi sungai yang tertutup sedimen akibat kegiatan penambang liar. Namun banyaknya kepentingan bisnis, termasuk transasksi merkuri dan sianida yang diperkirakan mencapai angka 80 miliar rupiah setiap bulan di wilayah Gunung Botak, justru diduga menjadi faktor penghambat tidak berjalannya pemulihan lokasi penambangan tanpa izin tersebut. 

Walau Presiden Jokowi dalam kunjungannya ke Pulau Buru pada medio 2015 lalu, dengan tegas menginstruksikan kepada Gubernur Maluku, agar segera menghentikan dan menertibkan aktivitas Penambang Emas Tanpa Izin di Gunung Botak dan Gogrea, namun lagi-lagi berbagai kepentingan bisni dalam kegiatan pertambangan emas liar di Pulau Buru, seperti saling jegal dan berbenturan satu sama lain. Semisal penataan dan pemulihan lingkungan yang sudah dimulai pihak swasta Buana Pratama Sejahtera sejak 2016 lalu, kini semakin tidak jelas. Padahal, mereka sudah mengantongi berbagai dokumen perizinan dan perjanjian dengan pemerintah, termasuk skema pemberdayaan warga masyarakat melalui koperasi.

Anehnya, upaya pemulihan justru dituding balik merusak lingkungan tanpa disertai bukti dan fakta lapangan. Berbagai sumber menyebutkan,  kebijakan penertiban, penataan hingga pemulihan lingkungan bekas tambang emas liar di Pulau Buru, memang ditengarai bisa mengganggu kepentingan bisnis besar dan sejumlah pihak yang selama ini berpraktek secara ilegal. Tinggal pilihannya, apakah Pemerintah mau membiarkan kerusakan lingkungan secara akut dan tunduk kepada tekanan pihak tertentu, atau dengan tegas, konsisten menata, memulihkan lingkungan, serta melegalkan pertambangan emas di Gunung Botak dan Gogrea di masa datang, sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku di sektor pertambangan.[*

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun