Mohon tunggu...
dian siti s
dian siti s Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

One Life, One Light, Thanks PLN

16 April 2016   08:43 Diperbarui: 16 April 2016   09:04 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejak lulus kuliah S1 tahun 2010, saya berhijrah ke Jakarta karena ditempatkan untuk mengajar di daerah Rawamangun oleh bimbingan belajar tempat saya bekerja. Setelah dua tahun bekerja, pada tahun 2012 saya menikah dan terpaksa harus lebih lama tinggal di Jakarta karena suami juga mencari nafkah di kota metropolitan ini. Suami saya ini adalah lelaki yang saya pilih karena beliau mengizinkan saya untuk melanjutkan sekolah ke jenjang s2 setelah menikah. Oleh karena itu, di tahun 2013, saya minggat ke rumah orang tua saya di Bandung karena saya diterima di program magister Institut Teknologi Bandung (ITB). Di tahun inilah saya mulai mengenal hasil karya PLN, si "listrik pintar".

Awalnya saya mendengar keluhan dari orang tua dan beberapa tetangga saya yang mengatakan, sekarang ribet, bunyi terus meterannya. Ternyata itu adalah pertanda kalau listrik mau habis. Katanya kadang kalau mau beli listrik, warungnya tutup, belum lagi kalau habisnya tengah malam. Sampai sampai mereka menyalahkan orang yang mengusulkan penggantian sistem listrik dari pasca- ke prabayar.

Saya mengerti mengapa mereka mengeluh. Puluhan tahun mereka dimanjakan oleh PLN. Memakai listrik suka-suka, bayar suka-suka. Maksudnya, pakai listrik setiap detik, bayar nunggak beberapa bulan tak jadi masalah karena listrik tetap mengalir sepanjang hari. Saat dapat teguran, baru dibayar. Bayar denda dikit sepertinya bukan beban berat bagi mereka. Sepertinya anggaran untuk membayar listrik setiap bulan selalu terpakai oleh anggaran lainnya yang menurut mereka lebih penting. 

Saya tidak mau membahas bagaimana mereka bisa hidup dengan sistem seperti ini. Yang jelas, langkah pertama yang saya lakukan adalah mengambil alih pembayaran listrik prabayar. Berhubung saya lebih melek internet, saya menggunakan internet banking. tinggal log in ke account bank tempat saya menabung, masuk ke menu bayar, pilih opsi listrik/gas, lalu memilih PLN sebagai layanan, dan terakhir memasukan nomor ID pelanggan. Beres. Tak perlu lari ke warung untuk membeli listrik. Setelah itu saya akan mendapat nomor kode yang harus saya masukan ke meteran listrik di depan rumah. Tingggal naik ke kursi sedikit (maklum tinggi saya semampai, dua meter tak sampai), pencet nomornya, lalu terakhir tombol enter. Taraaaammm..bunyi net not net not berakhir sudah. Kami kembali punya tabungan listrik.

Token listrik seharga 50.000 bisa bertahan sampai seminggu lebih biasanya. Mereka bilang ini lebih boros dari listrik pasca bayar. Mari kita telusuri penyebabnya. Bukan karena meterannya rusak, atau nilai tokennya tidak sesuai dengan harganya. Kebiasaan boroslah yang membuat token cepat habis. Lampu lupa dimatikan, TV menyala terus, atau menyetrika sambil main hp jadi berjam-jam lamanya. Giliran token listrik habis, menyalahkan PLN. Saya sih tak banyak komentar, maklum status saya numpang di  rumah orang tua. Sesekali saya ingatkan untuk lebih hemat listrik. Walau saya sedang kuliah atau nge-lab (melakukan penelitian saya di laboratorium kampus), saya tetap bisa membelikan token listrik untuk keluarga. Tinggal sms kan saja nomor token yang saya beli ke orang rumah, semua beres.

Kalau menurut Gusdur, gitu aja ko repot. Listrik pintar ini memang mudah bagi yang pintar dan mau belajar. Ini hanya sistem baru yang menurut saya lebih mudah, efisien dan (in my humble oppinion) syariah. Agama saja melarang kita berhutang,kalau menunggak bayar listrik kan artinya kita punya hutang ke PLN. Ga baik loh, kasian PLNdiutangin mulu. Kalau yang ngutang satu atau dua orang, mungkin tak apa. Nah ini yang ngutang satu komplek atau satu kampung, bisa tekor PLN-nya. Selain itu, listrik pintarini juga mengajarkan kita untuk hidup sesuai keadaan. Kalau gajinya ga gede gede amat, ya jangan pake banyak alat elektronika yang boros listrik. Katanya kadang ga punya uang saat mau beli listrik padahal udah bunyi net not net not, tapi di rumah TV menyala sepanjang hari, bahkan kabelnya tidak dicabut saat TV mati. Padahal TV tetap menyedot listrik walau sudah dimatikan. Belum lagi kalau ada microwave atau alat elektronik lain yang mewah. Malu dong sama tetangga kalau gaya mentereng tapi bunyi terus meteran PLN nya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun