Pagi itu matahari tersipu bersembunyi dibalik awan pucat ketika kaki ini menjejak diatas tanah Sumatra Barat. Hey ho, Bandar Udara Minangkabau, it's great to finally meet you. Kota Padang menyambut Sakaw Travelling dengan udara dingin yang nyaman setelah penat dengan aktifitas penuh keringat di bawah matahari Batam yang kejam (lebih dari ibu tiri). Petualangan "Sakaw Travelling" kali ini beranggotakan saya dan Ayu, seorang backpacker, eater, explorer (semacam Dora), kekasih hati dan teman seperjalanan sejati (Ee ciiee).
Demi semangat bertualang (juga dengan semangat hemat budget), kami menggeleng ketika ditawari tumpangan taksi dan memilih bus Damri untuk mengantarkan kami ke HW Hotel Padang. Namanya backpacker harus bisa bertoleransi sedikit terhadap aroma keringat para uda. Tiba di tujuan, saya sedikit terkejut akan mewahnya hotel kami mengingat harganya yang hanya Rp.300.000,-. A pretty good deal made by Ayu.
HW Hotel Padang
Padang culinary adventure
Motor rental telah kami pesan sebelumnya seharga Rp.500.000,- selama seminggu sebagai moda transportasi kami menjelajahi tanah minang. Setelah teman tunggangan kami yang berwarna hijau itu diantarkan dan tukar kunci terjadi, saatnya Sakaw Travelling mengarungi Kota Padang. Tujuan pertama, jelas, Nasi Padang.
Nasi Padang RM Sari Raso
Dari 2 pilihan antara RM Sederhana dan RM Sari Raso, kami memilih yang terakhir. Kami bisa menikmati RM Sederhana dimanapun di Indonesia, pikir saya. Restoran kecil namun bersih ini berada di Jalan Karya No. 3. Jujur saja, mungkin ini subyektif, namun nasi padang yang dengan rakus saya habiskan ini adalah salah satu yang ter-enak dari seluruh nasi padang yang pernah cicipi selama ini. Apa karena orisinil di tempat asalnya, gitu? Entah, but swear to God it's YUM.
Petulangan kuliner dua omnivora ganas berlanjut. Destinasi nomor 2, Sakaw Travelling mampir ke Soto Padang Simpang Karya, di jalan Dabo 2A. Dinamakan seperti itu karena teletak di persimpangan dekat bioskop Karya. Duh.
Restoran yang mungkin lebih tepat disebut dengan kios ini begitu mungil dan sederhana namun ketenarannya sampai ke level nasional. Kabarnya, mantan Presiden SBY selalu hinggap dahulu ke kios ini apabila berkunjung ke Padang. Soun, perkedel, daging sapi goreng yang besar-besar, kecap, seledri dituangkan kuah kaldu panas. Jangan lupa juga kerupuk Jangek dicelupkan kesana. Terakhir tuangkan sambal melimpah dan nikmati surga Soto Padang panas ditemani hujan rintik. Fyi, saya menulisnya sambil menelan liur yang tergenang tiba-tiba di mulut (penting?).
Perut sudah lebih dari kenyang dan hujan mereda. Sakaw Travelling kemudian menggelinding ke Taman Museum Nagari Adityawarman, museum budaya Sumatra Barat yang sudah berdiri sejak 1977. Nama museum ini diambil dari seorang raja Malayapura pada abad ke 14 yang satu jaman dengan kerajaan Majapahit.
Rumah Adat Minangkabau
Basically, just a public park, museum and monument. Terdapat banyak 2 sejoli berbagi kasih di taman ini jadi apabila sedang jomblo, hindari tempat ini. Kesan tidak terawat dengan koleksi museum yang kurang tertata membuat sedikit ilfeel. Tidak banyak aktivitas yang menarik untuk dilakukan, selain ber-narsis ria, disana. Cukup sejenak mengabadikan singgah lalu berangkat pulang.
Taman Museum Nagari Adityawarman
Kembali ke hotel, kami menikmati sore dengan kegiatan yang produtif yakni, leyeh-leyeh berkualitas. Di dalam perjalanan Sakaw Travelling, terkadang kami harus bermalam di peraduan yang kurang nyaman. Berusaha memejamkan mata diatas ubin dingin atau ranjang kotor beraroma apek itu sudah biasa. Backpacker harus siap menderita untuk bisa survive bertualang dengan budget minim. Karenanya ketika kami diberkahi dengan hotel yang nyaman, sebisa mungkin kami tidak menyiakannya dengan lompat-lompat diatas kasur empuk dan menikmati leyeh-leyeh diatasnya sampai terlelap penuh liur dan syukur. Yes, travelling makes you respect the little things in life.
Malam panjang di Padang
Malam menjelang. Sakaw Travelling sudah harum dan siap melanjutkan petualangan kuliner kami di Padang. One of the perks of travelling is that we can meet and interact with a lot of new interesting character along the way. Malam itu, kami bertemu dan diantarkan oleh sahabat Sakaw Travelling, Ivra Rangga dan 2 temannya untuk gaul berjama'ah. Merasakan denyut Padang di malam hari dan muda-mudinya yang masyuk bercengkrama dan pacaran. Spot pertama adalah menikmati Sate Padang Danguang-Danguang yang ternama dengan bumbu pedasnya di kaki lima Jalan Sawahan. Enak tapi tidak jauh berbeda dengan sate padang depan kos di Batam tercinta.
Sate Padang Danguang-Danguang
Cerita demi cerita bergulir dalam percakapan. Sempat terlontar pertanyaan. Padang sudah seharusnya menjadi kota maju dengan bandara utama di Sumatra Barat. Namun tidak terlihat gedung tinggi khas kota-kota besar. Ternyata Provinsi Sumatera Barat berada di antara pertemuan dua lempeng benua besar (lempeng Eurasia dan lempeng Indo-Australia) dan patahan (sesar) Semangko. Di dekat pertemuan lempeng terdapat patahan Mentawai. Ketiganya merupakan daerah seismik aktif. Kombinasi faktor alam ini membuat Padang sangat rawan akan gempa dan tsunami. Pada gempa tahun 2009, 6000 korban jatuh dan membuat trauma warga kota Padang sampai saat ini. Informasi baru, euy. Lumayan.
Friends in travelling
Malam belum berakhir dan rombongan Sakaw Travelling terdampar di Restoran Es Durian Iko Gantinyo. Serius, itu namanya. :D I'm not a sweet tooth, tapi mencicipi Es Durian khas Padang sepertinya merupakan kunjungan wajib disini. Cita rasa duriannya terasa asli, karena buah durian diolah menjadi seperti saus, kemudian disajikan dengan es serut dan kucuran susu kental manis coklat. Olahan es durian ini sangat terkenal dan dapat ditemui dimana-mana di Sumatra Barat.
Es Durian Iko Gantinyo
A plan gone bad at Mandeh Trip
Pagi menyingsing namun tak kentara karena tertutup hujan deras, di hari berikutnya. Damn. Rencana Sakaw Travelling untuk island hoping Pagang-Pasumpahan atau wisata Mandeh agaknya akan berantakan. Opsi kami adalah berkendara dengan motor di tengah hujan di jalan asing, naik taksi dengan biaya mahal namun nyaman atau membatalkan acara dan tidur. Saya dan Ayu berembuk dan memutuskan mengambil opsi ke 2. Naik Taksi. Betapa sebuah opsi yang luar biasa salah untuk diambil.
Perjalanan dari kota Padang menuju losmen Carlos, pantai Bungus, tempat kami angkat sauh sejauh 56 km. 1,5 jam. Spot tersebut berada di jalur Padang-Painan setelah teluk Bungus. Taksi burung biru yang kami tumpangi berjalan mulus ditengah hujan dan di antara kedongkolan kami menyaksikan argo yang seharusnya dapat kami alokasikan lebih baik. Sedihnya buang-buang uang dalam travelling, but hey, shit happened. Tiba di losmen Carlos, Rp.250.000 keluar dari saku dan kami dengan gontai berjalan ke titik pengumpulan anggota tour.
Dan hari itu memang one of those days in travelling. Cuaca yang kurang baik mengancam keberlangsungan island hoping kami. Waktu keberangkatan ditunda hampir 2 jam. Ha ha ha, kami tertawa getir dengan tatapan nanar. Disana kami bertemu sesama couple traveler dari Jambi. Mereka ternyata sudah datang kemarin dan harus kembali lagi hari ini karena trip kemarin dibatalkan. Hati menjadi semakin gusar. Harus ditenangkan dengan semangkuk Indomie di tepi Pantai.
Indomie telor Pantai Bungus
Legaaaanyaa...
Travelling sering mendatangkan kesempatan bagi saya untuk belajar mengambil keputusan di persimpangan. Travelling juga sering mengajarkan bahwa hidup tidak akan sempurna seperti apa yang kita inginkan. Ketenangan hati untuk menerima itu dan melanjutkan perjalanan dalam setapak yang tidak pasti adalah buah dari perjalanan backpacking yang tentunya dapat diterapkan dalam kehidupan. You will never know what happened along the way, seperti ketika langit membuka dan matahari akhirnya bersinar. Yeaahh. "Thanks God!" ucap kami sembari menari Saman.
Kapal kami akhirnya berangkat membawa kelegaan di hati setiap traveller didalamnya. Sayangnya karena penundaan tersebut, kami tidak dapat terlampau banyak mengunjungi spot-spot indah di wisata Mandeh. Namun hati yang bersyukur adalah hati yang bahagia (dongkol yang terselubung). Sekitar 1,5 jam berlayar, kapal kami berhenti di spot snorkling pertama.
Tingkat visibilitas-nya tinggi dan banyak ikan tropis menari-nari indahnya laut kawasan Mandeh. Sayang terumbu karangnya banyak mati karena ekspolitasi sumber daya laut dan pariwisata yang tidak bertanggung jawab.
Ikan tropis berwarna warni menemani
Puas menyelam, kami melanjutkan perjalanan dan mendarat di pulau Pagang yang memukau. Finally.
Pulau Pagang berpasir putih lembut dengan warna laut hijau toska. Jenis pantai kesukaan Ayu. Apabila dikunjungi dengan laut yang tenang, maka kualitas surgawinya setingkat dengan Karimun Jawa atau Derawan.
The bright side is cuaca yang kurang baik mengakibatkan pengunjung yang tidak terlampau ramai. Sehingga Sakaw Travelling dapat menikmati anugerah alam ini dengan rakusnya sendirian. Narsis mode on. Sebuah dermaga kayu juga digunakan menjadi latar fotografi yang menawan untuk pose klise traveler kami, hadap belakang. :D
Sakaw Travelling melahap makan siang sambil tertiup semilir angin laut. Langit yang mendung membuat kami dengan santai duduk di pasir putih tanpa mencari area teduh untuk berlindung. Mengagumi karya bumi penuh syukur.
Pantai pasir putih Pulau Pagang
Karena cuaca semakin memburuk, snorkling tahap 2 pun akhirnya di batalkan dan island hoping yang berubah menjadi mantai ini harus diakhiri. Rapopo-doesn't mater. I think we will go back here, someday. Kembali ke pantai Bungus, kami mandi dan bersih-bersih. Setelah membayar biaya trip Rp. 300.000,- / orang kami pun bersiap pulang, lalu sambil saling melihat dan senyum pahit kami menanyakan pertanyaan bodoh, mau pulang naik apa?
Jujur saja, we consider our self dumb but very lucky at the same time, right then. Kalau saja island hoping hari itu sampai sore, kami tidak akan dapat kendaran untuk pulang. Taksi carteran seharga Rp.200.000 saja sudah tinggal satu-satunya. Dimana taksi tersebut dengan hati mulia dicarikan guide yang iba dengan keadaan saya dan Ayu yang sudah berkaca-kaca. :D Kebodohan kami terbayarkan dengan kesialan yang sebenarnya sebuah keberuntungan terselubung. Sampai di hotel langit sudah lama gelap dan akhirnya kami berhasil selamat mengarungi sehari lagi dalam petualangan ini.
RM Seafood Fuja
Hari kedua ini diakhiri dengan makan malam nikmat di Taplau atau Tapi Lauik Padang. Kami mengamuk di rumah makan seafood Fuja. Dengan lauk: 1 porsi besar udang bakar raksasa khas Padang. Tidak pernah saya makan udang selembut, sebesar dan sebanyak itu seumur hidup. Ow.. how great life is.
“To my mind, the greatest reward and luxury of travel is to be able to experience everyday things as if for the first time, to be in a position in which almost nothing is so familiar it is taken for granted.” – Bill Bryson
To be continued to West Sumatra Chronicles - Chapter II
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H