Dalam segi bahasa, aqiqah memiliki makna ‘memotong’. Bisa diartikan ‘memotong’ rambut bayi yang baru lahir atau ‘memotong/menyembelih’ binatang berupa satu atau dua ekor kambing.
Dalam tradisi masyarakat Jawa, aqiqah dilakukan dengan mengadakan acara selametan/kenduri. Aqiqah dilakukan ketika bayi berumur tujuh hari atau bersama dengan selapan (selametan ketika bayi sudah berumur satu bulan) sebagai bentuk rasa syukur atas kelahiran sang bayi.Â
Masyarakat Jawa yang beragama Islam percaya bahwa kedua waktu itu merupakan saat-saat yang paling baik untuk melaksanakan aqiqah. Walaupun sebagian lagi percaya bahwa aqiqah bisa dilakukan setidaknya sebelum seorang anak menikah.
Menurut agama Islam, aqiqah disunahkan untuk memberi nama sang bayi serta melakukan pencukuran rambut, beberapa daerah di Indonsia juga menindik telinga bayi perempuan untuk dipasangi anting.Â
Namun, ada juga orang tua yang telah menyiapkan nama semenjak bayi masih di dalam kandungan ibunya. Ketentuan lain dalam agama Islam untuk bayi laki-laki diharuskan menyembelih dua ekor kambing jantan. Sementara, untuk bayi perempuan hanya seekor kambing jantan.
Ada banyak cara penyembelihan dalam tradisi aqiqah masayarakat Jawa di Indonesia, seperti menyerahkan kambing kepada pihak masjid untuk disembelih dan memberi uang belanja (selanjutnya masalah daging akan dimasak atau dibagikan kepada santri atau masyarakat setempat sudah menjadi urusan pihak tersebut).Â
Adapula yang disembelih oleh pihak keluarga dengan bantuan seorang tukang potong atau pemangku adat. Daging-daging tersebut kemudian dimasak dengan disatai atau digulai untuk disajikan kepada kerabat atau tetangga sekitar. Selain itu, keluarga yang bersangkutan juga mengadakan kenduri dengan membagikan daging yang telah dimasak dalam bentuk nasi berkat.
Namun, beberapa tradisi tentang aqiqah dalam masyarakat Jawa perlahan berubah seiring perkembangan zaman. Bukan berarti meninggalkan aqiqah sebagai bagian dari kultur Islam dan tradisi Jawa sepenuhnya, melainkan melaksanakan aqiqah sesuai dengan kepercayaan dan kemampuan masing-masing. Contohnya, beberapa orang tua menunda aqiqah hingga seorang anak berusia satu tahun karena kemampuan finansial yang belum memadai.
Koentjaraningrat menyebutkan dalam bukunya yang berjudul Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan, ada tujuh konsep kebudayaan yang bersifat universal. Tujuh konsep kebudayaan itu terdiri atas: sistem pengetahuan, sosial, religi, peralatan hidup dan teknologi, bahasa, mata pencaharian hidup, dan kesenian.
Aqiqah dapat dikategorikan sebagai salah satu sistem sosial yang dilakukan oleh suatu kelompok masyarakat dengan menyembelih satu atau dua ekor kambing. Daging kambing yang disembelih selanjutnya dimasak dan dibagikan dalam acara selametan/kenduri sebagai kebudayaan fisiknya. Sementara itu, nilai-nilai budaya yang terkandung dalam tradisi aqiqah merupakan sesuatu yang dilakukan untuk mengungkapkan rasa syukur orang tua atas lahirnya bayi mereka.