Ada berjuta hal baik yang dapat saya sampaikan bila seseorang bertanya, apa yang dapat mewakili sosok perempuan ini dalam kata. Jangan bandingkan ia dengan putri dari negerinya The Beatles macam Lady Diana atau seorang Shirley Temple di masa-masa berjaya. Bukan karena ia tak berwajah elok atau tak terkenal seperti tokoh-tokoh yang telah saya sebutkan di muka. Ia memang hanya keturunan orang biasa-biasa saja, memiliki pekerjaan biasa-biasa saja, bahkan hidup biasa-biasa saja. Tetapi meskipun demikian, di mata saya ia perempuan yang keindahannya bahkan tak cukup diwakilkan hanya dengan perbandingan rupa, tingginya jabatan atau mudahnya orang asing menyebut namanya meski tak pernah bertegur sapa. Keindahannya sebagai seorang perempuan adalah sebentuk cintanya yang begitu sempurna yang ditangkap pada saya, pada orang-orang yang ada disekitar saya, dan dirinya.
Lidah saya terbiasa menyebutnya Ibu. Sosok yang melaluinya kini saya bisa sampai ke sini, melalui rentetan narasi yang telah saya buat tentangnya hari ini. Sosok ini, memang tak perlu memiliki rambut berwarna emas atau menggunakan perhiasan mahal di sekujur tubuhnya.
Menggunakan baju hansip dan kerudung segi empat macam-macam warna sebelum pergi mengabdi di sebuah Rumah Sakit Umum setiap paginya, Ibu sudah tampak cantik sekali. Apalagi dengan harum wewangian khas yang selalu saya rindukan setiap saat saya berada di perantauan, maka dalam hidup saya pribadi ibu adalah sosok yang tak akan pernah dapat tergantikan. Ribuan helai rambutnya yang telah merupa menjadi uban, kulit yang mengeriput dan badan yang tak setegak dulu adalah saksi tentang banyaknya cerita dan perjuangan bahwa hidup tak semudah menjentikkan tangan-tangan. Ia mengajarkan bahwa hidup tak hanya irama dengan pola 'tik, tik, tik' beraturan dari itu. Ibu saya, cenderung memandang segala sesuatu dengan realistis, bahwa hidup tak melulu kenal simfoni sempurna bahkan kadang bisa buta nada. Sehingga manusia harus bersikap pada segala bentuk lagu yang tak sedap didengar bahkan bila perlu menciptakan irama sendiri untuk didendangkan. Termasuk apa yang sudah ibu tunjukkan pada saya dan adik saya selama ini, bahwa perempuan bisa melebihi satu peran meski dalam satu tubuh. Dimana sepeninggalan ayah sepuluh tahun silam, ia telah merangkap tugas dan tak pernah mengeluh barang sebentar. Â Ia tak sungkan membersihkan kebun belakang dengan arit lalu menyapu, membenarkan genteng dan memaku, bahkan memanjat tangga untuk mengganti bohlam lampu.
Ibu saya memang manusia biasa. Saya tahu persis masa-masa berat itu, terlebih saat saya pernah mendapatinya tanpa sengaja menangis seorang diri di kamar. Menjadi seorang Single Parent, menghadapi problema yang hanya ditanggungnya seorang diri, dan menghadapi kami yang masih kecil (saat itu saya berusia 11 tahun dan adik saya 9 tahun) yang belum tega untuk diajak berbagi masalah di luar kemampuan, bukanlah perkara mudah. Terjebak dalam situasi yang runyam sekali untuk diuraikan dalam bahasa apapun, saya tahu persis bagaimana kondisi itu. Namun Ibu saya, yang hanyalah manusia biasa itu entah bagaimana tetap bisa tersenyum dan pantang terlihat payah di hadapan kami. Ia bekerja mati-matian, pergi pagi pulang petang, lalu  berkutat dengan tumpukan kertas kerja dan telepon yang berdering terus hingga tengah malam. Kadang ia sampai lupa waktu beristirahat dan makan, mengingat untuk meneguk air pun kadang ia tak sempat. Meski waktu kami bersama menjadi berkurang dan saya hanya mampu melihat ibu dalam zona tak tertembus bernama kesibukan itu, apapun yang ibu lakukan tentulah demi kami, agar saya dan adik saya tetap bisa tidur nyaman, makan enak, lalu melanjutkan studi hingga ke Perguruan Tinggi Negeri seperti sekarang ini.
Kebersamaan kami yang berkurang dahulu, bukan karena ia tak mau berbagi atau menganggap kami tak ada, namun Ibu membiarkan saya dan adik saya tumbuh lebih matang dengan mencontoh sosoknya. Ibu yang kini telah menginjak masa lima puluh satu tahun itu adalah perempuan gigih yang berhasil di mata saya. Meski fisiknya tidak setegak dahulu ia tetap perempuan yang kuat. Saya bersyukur kini Ibu tidak lagi sungkan berbagi apa yang ada di dalam hatinya karena kami sudah dianggap cukup mengerti. Kebersamaan itu kini mulai kami rajut lebih kuat lagi.
Ibu saya memang bukan putri dari negerinya The Beatles macam Lady Diana atau seorang Shirley Temple di masa-masa berjaya. Ia memang tak seperti mereka. Namun meski mendapati langkahnya yang mulai kaku, pandangannya yang mulai melamur, dan apapun yang saya katakan mesti saya ucapkan berulang-ulang karena ia tak dengar,  saya akan terus bangga, menyayangi dan menjaganya dalam upaya apapun itu, sama seperti saat ibu menjaga saya dan adik saya ketika Tuhan meminta ayah datang kepada-Nya. Pengorbanan waktu, tenaga, dan apa yang ia rasakan di dalam batin selama ini adalah hal yang tidak dapat saya bayar meski dengan apapun. Ia melahirkan saya dan mengajarkan saya banyak sekali hal. Ibu adalah pelakon yang mengajarkan saya untuk tidak pernah menyerah menjalani hari meski sebagai manusia biasa, menjadi perempuan perkasa, dan tidak bergantung pada apa-apa kecuali Yang Maha Esa. Perempuan yang keindahannya bahkan tak cukup diwakilkan hanya dengan perbandingan rupa, tingginya jabatan atau mudahnya orang asing menyebut namanya meski tak pernah bertegur sapa adalah perempuan biasa yang tidak biasa. Ia adalah perempuan paling besar pengaruhnya, yang namanya akan selalu terlisan dalam doa-doa tulus saya.
Untuk perempuan yang bukan separuh jiwa tapi sepenuhnya aku,
Ibu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H