Suara dentuman keras masih terdengar bersahut-sahutan. Sudah sejak empat puluh menit yang lalu, Patra berdiri dengan sikap siap yang tegak di tempatnya. Beberapa kali dia harus menahan kakinya agar tidak bergerak melangkah maju, ketika suara teriak kesakitan nyaring menyapa telinga.
Patra menatap pistol di tangan kanan. Jarinya bergetar menggenggam batang hitam yang terbuat dari logam baja tersebut. Bukan, bukan karena perasaan takut. Tapi perasaan tak rela.
Ya, ada rasa tak rela harus diam berdiri dan menunggu, sementara puluhan pasukan berada di garis depan, mempertaruhkan nyawa. Ada rasa tak rela ketika para prajurit dikenang sebagai pahlawan, ketika berhasil membantai musuh. Ada rasa tak rela menggenggam senjata api berukuran kecil, di saat kawan-kawan bertempur menggunakan senapan mesin.
Patra menarik nafas panjang. Kakinya masih saja berontak untuk berlari. "Maju! Maju!" Nalurinya membentak-bentak. Patra menghembuskan nafas pelan dan tenang. Terngiang di kepalanya, sebuah percakapan antara Patra yang baru saja masuk ke akademi militer, dan seorang kolonel yang menjadi staf pengajar.
"Kenapa letnan hanya diberi sebuah pistol, ketika anak buahnya diberi senapan bahkan bermesin otomatis?" Tanya Patra.
"Karena marinir dan prajurit, bertugas di garis depan. Senjatanya untuk menghabisi lawan. Mereka berperang," jawab sang kolonel.
"Bukankah, calon letnan sepertiku juga akan turun berperang? Berada di batas garis depan, pun untuk menghabisi lawan?"
Suara langkah kaki yang berlari semakin dekat membuat Patra siaga. Dipicingkannya mata, menembus belantara hutan yang mulai gelap karena matahari telah jauh turun mendekat perbatasan langit dan bumi. Patra menggeser kepala, mengarahkan telinganya ke arah datangnya suara. Derap sepatu boot semakin jelas terdengar. Tangannya secara refleks mengangkat pistol di tangan, menghadapkan ujung senjata api itu ke tempat yang dia perkirakan akan segera kedatangan seseorang entah siapa.
Seorang lelaki berseragam loreng hijau berhenti di depan Petra.
"Letnan! Musuh semakin dekat! Sebaiknya kita la..."
"DOR!!"
Satu tarikan pelatuk dari telunjuk Petra menggagalkan prajurit itu menyelesaikan kalimatnya. Petra mengusap air mata yang keluar bersamaan dengan timah panas dari senjatanya. Ditegakkannya kepala, kembali siap dan siaga dengan pistol di tangan kanannya. Di kepalanya, seolah sang komandan sedang berbicara,
"Sebagai letnan, kau akan turun berperang, menjaga di perbatasan belakang garis depan, untuk menghabisi prajuritmu yang lari dari pertempuran."
***
[Jakarta, 26 September 2011]
silahkan mampir kesini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H