[caption id="attachment_97166" align="aligncenter" width="680" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption]
KUTUK KEMBAR ANIMA-ANIMUS
APA YANG AKAN TERJADI JIKA ADA DUA DIRIMU?
Awalnya ia hanya berupa sosok samar dalam mimpi-mimpi buruk Anima. Tak mengganggu, semata pengamat, hanya memantau segala dari kejauhan. Anima tak menggubrisnya, seperti biasa mimpinya sudah cukup dipenuhi berbagai monster dan mahluk fantasi, serta bayang-bayang gelap masa silam yang selalu mengganggu pulas tidurnya. Hingga pada satu malam dalam mimpinya, sosok itu terbayang cukup jelas, tak lagi semata sosok kelam di sudut mimpi dan sontak ia kaget ketika melihat paras sosok itu: bagai memandang cermin, ia adalah pantulan dirinya, walau ada yang berbeda. Bangun tubuhnya sepintas lebih tegap, dan tak ada sedikitpun aura kebaikan, seringai dan dingin sorot mata sosok itu begitu mencekam. Ketika bertatapan, ada yang begitu menakutkan, sorot mata sosok itu seakan penuh dendam. Dan Anima terbangun dari sebuah mimpi buruk dengan peluh yang membasahi tubuhnya, sebentuk teriak tercekat dalam dadanya, urung menggema.
Dan sejak malam itu, sosok sinis itu selalu hadir, menambah kepekatan mimpi-mimpi buruknya. Sosok itu bahkan mulai kurang ajar, dengan berani ia berperan sebagai komandan dan memerintahkan berbagai mahluk jadi-jadian itu untuk mengganggu Anima, bahkan melukainya. Ia akan menyeringai dan tertawa sinis sambil menggemakan kalimat perintah untuk memutar kembali tayangan masa silam yang meninggalkan luka dalam, seolah menyiksa Anima dengan sengaja. Tidur mulai menjadi suatu laku yang menakutkan bagi Anima, sosok kelam itu selalu menghantuinya. Bahkan saat terjaga, Anima mulai merasa tatapan sedingin es sosok itu seakan menghunjam punggungnya, atau dengan sudut kerlingnya seolah menangkap bayangan sosok itu berkelebat menjauh, tahu bahwa Anima bisa merasakan kehadirannya.
**
Perempuan lemah itu yang membelenggunya, perempuan lemah yang menyimpan luka jauh di dalam dan dibiarkan tak tersentuh. Awalnya dia lebih sering mengamati danhanya menjadi saksi darimasa lalu si perempuan yang terjajah pikirannya. Ada marah dan geram ketika perempuan itu akhirnya lebih banyak diam tak berdaya, tanpa berusaha membela hak-haknya. Toh mereka berdua sudah bukan lagi bocah kecil yang tak berdaya, meringkuk ketakutan ketika Bapak (raksasa itu) masih hidup dan menyiksa mereka terus-menerus. Animus merasa muak dan kehilangan kesabaran, sudah terlalu lama si Pengecut itu berkuasa.Maka pada malam-malam seperti biasa, ketika Anima terlelap menjemput mimpinya, Animus ingin menjadi si penguasa tubuh dan berbuat sesukanya. Menjadi pemilik tunggal ketika sang empu asli tengah bermain dengan makhluk-makhluk fantasi dalam akalnya.
Hingga tibalah malam itu, ketika si pengecut terkapar lemah di sudut mimpi buruknya. Untuk kali pertama, Animus bisa merayakan kebebasannya. Malam itu adalah awal dimana dia akanmenjadi komandan mereka, dua jiwa dalam satu tubuh nyata, untuk selamanya.
Merasa terganggu dengan buah dada yang menggantungi bagian depan tubuhnya, Animus membebat payudara dengan selembar kemben ketat. Ia akan segera membeli jaket kulit, jeans belel dan sepatu boots ala koboi, ketika nanti berkelana ke belantara kota. Bukan gaun bunga-bunga yang menjijikkan yang sering dikenakan si Tolol. Dia adalah seorang lelaki utuh dan gagah, bukan bagian dari seorang perempuan kecil yang lemah.
Kaki Animus menuntun langkahnya ke sudut-sudut gelap kota yang selalu dihindari si Pengecut. Pada malam kesekian di depan sebuah bar murahan tepi kota, ia melihat seorang lelaki berumur dengan janggut kasar sedang memukuli perempuan remaja. Animus urung masuk dan memilih untuk memperhatikan mereka dari jarak tak terlalu jauh.
"Berapa kali gue bilang, jangan ganggu kalo gue lagi seneng-seneng! Anak anjing lo ya! Gak bisa banget denger omongan orang tua!" Lelaki itu melayangkan pukulanke pelipis si perempuan remaja yang menyudut rapat pada tembok lembab.
"Aku disuruh mama, Pa," jawab anak perempuan itu terisak. Tangannya menutupi muka, berlindung dari serangan si lelaki.
"Tai lo! Pulang sana! Ganggu aja! Bilang sama nyokap lo, jadi istri jangan cerewet! Babi emang lo semua! Pegi!" Lelaki itu beranjak masuk ke bar setelah mendaratkan kaki ke pinggang anak perempuannya.
Animus mengikuti lelaki berjenggot kasar itu masuk ke dalam bar yang tak terlalu ramai. Lelaki itu duduk bersama seorang perempuan dengan dandanan murahan. Animus mengambil tempat beberapa meja berselang dari mereka, memesan sebotol bir, sambil menikmati pemandangan sang lelaki dan pelacurnya bercumbu tanpa rasa segan. Beberapa botol bir menyusul belakangan, menemani Animus menonton aksimesum sepasang manusia dewasa.
Lelaki itu beranjak bangkit menuju kamar mandi di sudut bar yang remang. Animus bangkit mengikuti, sebelah tangannya masih memegang botol bir. Bayangan Anima kecil yang sering menerima caci maki raksasa besar yang dipanggilnya Bapak, menggantung di pelupuk mata Animus. Emosi yang begitu menyala membuat tangan Animus berkeringat. Dia merasa marah, entah kenapa, ada dendam tak terlampiaskan di dalam sana. Melihat kejadian di luar tadi seperti membawa cerita lama. Saat di mana Animus kecil belum cukup kuat untuk bertindak dan mengambil alih situasi, menggantikan Anima di saat-saat terdesak.
Animus membuka pintu kamar mandi, di dalam tak ada siapa pun kecuali lelaki itu. Animus berjalan pelan menuju jejeran urinoir, lelaki itu masih berdiri di sana, membasuh kemaluannya dengan aliran air pelan. Animus bersiul, lelaki itu menoleh sekilas. Tepat di belakangnya, Animus berhenti. Tak sampai sedetik kemudian, botol bir di tangan Animus telah mendarat dengan keras di kepalanya, bagian bawah botol bir yang tebal pecah sebagian. Lelaki berumur itu berteriak dan refleks memegang luka yang mulai mengeluarkan darah. Ia hendak membalikkan badan dan melihat ke arah anak muda yang menyerangnya tiba-tiba, namun Animus memiting lelaki itu, dan menusukkan pecahan botol tajam yang masih terpegang di tangan pada lehernya. Darah menyembur kencang dari luka tusuk yang dalam, mengotori beberapa bagian jaket kulit dan wajah Animus. Animus melenguh puas. Lelaki itu terkulai meregang nyawa, kepalanya yg bersimbah-darah terantuk urinoir yang berbau pesing. Animus menatap lelaki itu dengan jijik, menjorokkan kepalanya hingga darahnya tercampur dengan air kencingnya sendiri. Dasar kotoran, sampah! Animus mencuci tangan dan membasuh wajah di wastafel, lalu dengan tenang berlalu.
Itu adalah kali pertama dia melampiaskan dendamnya. Dan, ooooh betapa menyenangkan rasanya! Melakukan hasrat-hasrat terpendam Anima, keinginan liar yang tak pernah cukup berani diwujudkan si Bodoh. Membuat perhitungan dan membereskan semua, hal yang tak akan pernah berani dilakukan si perempuan lemah. Animus menjadi raja, seterusnya, pada malam-malam Anima terbaring di tempatnya. Dan saat pagi datang menjelang, Animus akan tertidur manis di kedalaman jiwa Anima.Tapi sekarang tidak terlalu dalam, haha! Sesekali dengan sengaja dia menunjukkan wujudnya di hadapan perempuan itu. Entah melalui cermin, entah mencibir sinis dalam mimpinya. Tak cukup puas, Animus menemukan cara baru untuk mengerjai si Pecundang, ia akan menyembunyikan beberapa barang penting agar si Tolol itu kebingungan, hahaha.Dia ingin menyadarkan si penakut itu, memberitahunya, bahwa mulai sekarang, dialah yang akan menjadi raja dan menentukan jalan cerita.
**
Pagi itu, Anima terbangun dengan rasa ngilu di sekujur tubuhnya. Matanya yang memerah melirik jam weker di samping tempat tidur. Angka 10.23 AM yang tertera di weker digital itu membuatnya terkesiap dan rasa panik langsung menyerangnya. Ia kembali akan terlambat datang mengajar, entah untuk keberapa kali dalam bulan-bulan belakangan ini. Segera ia menyibakkan selimut, dan mengernyit kesakitan ketika kepal kanannya bertumpu pada kasur. Dilihatnya buku-buku tangannya kemerahan, menutupi memar sebelumnya yang belum juga pulih. Sebersit tanya kembali mengganggunya. Memar ini bukan yang pertama terjadi. Ia menghembuskan nafas panjang sembari bergegas melangkah ke shower. Kembali rasa ngilu menyerangnya ketika ia menyambar handuk dari gantungan, kali ini di pangkal lengan kanan.
Anima memejam dibawah kucuran air dingin, berharap semoga tetesnya akan mengurangi rasa ngilu di tubuhnya. Dalam hitam pandangan di balik pejamnya, terbayang sosok yang paling menakutkan di antara semua monster dalam mimpinya. Semalam dalam mimpi buruknya, Anima merasa sosok itu seolah-olah menertawainya dengan geli. Seakan-akan ada sesuatu yang tidak diketahui Anima. Sosok itu sekarang semakin kurang ajar, bukan hanya sekedar cibiran dan olokan lagi, tapi berbagai cacian dan hinaan lantang keluar dari mulutnya. Anima merasa yakin bahwa ia mendengar sosok itu memakinya semalam, “Anak tolol!”. “Perempuan pengecut! Tak pernah berani menerima sakit!” Bagai nyata, bukan dalam mimpi, gaung dari umpatan itu kini masih memantul di dalam kepalanya, tak kuasa ia hilangkan.
Ketika tangan gemetarnya memutar keran wastafel untuk bersiap menyikat giginya, selintas Anima menangkap bayangan dirinya pada cermin kamar mandi dan ia tersentak. Sekilas ia seakan melihat sosok monster keji itu menyeringai dengan culas padanya. Anima memejamkan mata, dan dengan hati berdebar berdoa agar ketika matanya terbuka ia tak akan melihat sosok keji itu. Perlahan, dengan debar jantung yang bertalu-talu ia membuka mata. Ah, ternyata masih dirinya yang ada pada cermin itu, seraut wajah pias dengan air muka yang absurd. Wajah yang asing dengan sebuah goresan luka tipis di dahinya, yang muncul entah tiba-tiba beberapa malam yang lalu. Nafasnya menghembus panjang dengan rasa lega. Ia segera bergegas merampungkan menyikat gigi dan mengeringkan badan.
Sambil mengenakan pakaian, Anima bisa membayangkan betapa malunya ia setibanya di tempat les nanti, terlambat untuk entah keberapa kalinya. Atasannya yang juga mengajar biola, sama seperti dirinya, memanggil Anima tiga hari yang lalu dan menanyakan banyak hal padanya. Alasan mengapa ia sering terlambat datang bekerja, mengapa ia seolah tak bisa memusatkan perhatian ketika mengajar, mengapa ia selalu terlihat kelelahan. Bahkan ada beberapa orang-tua murid yang mulai mengeluh. Anima terpaksa mengatakan bahwa ia memang merasa kurang sehat belakangan, dan berjanji untuk segera memperbaiki segalanya. Padahal ia sendiri tak tahu mengapa bisa seperti itu.
Mungkin ia sedang mengalami gangguan tidur atau sejenisnya, atau mungkin ia sakit, mungkin kelainan darah, yang bisa menjelaskan lebam-lebam yang sering timbul belakangan. Anima bertekad untuk melakukan check up minggu depan, setidaknya mendatangi dokter agar ia tahu apa yang sedang terjadi padanya. Atau mungkin ia perlu mendatangi psikiater? Anima menghela nafas panjang.
Ketika bergegas untuk berangkat ke kantor, Anima menyumpah dalam hati karena ia tak kunjung mampu menemukan kunci motornya. Ia menggeledah tasnyadan lebih kaget lagi ketika dompetnya juga raib. Ia melirik jam tangannya, sudah jam 10.52! Ia terpaksa harus menyetop taksi dan meminjam uang pada temannya agar segera bisa ke kantor. Ia tak mau kehilangan pekerjaannya. Masalah kunci motor dan dompet harus menunggu.
**
Setelah semua drama itu, di dalam taksi Anima memejamkan mata. Kantuk menyerangnya karena ia kelelahan. Anima tertidur, dan dalam separuh lelap, bagai ritual pengantar tidur ingatannya menayangkan adegan dari film lama yang rolnya mungkin sudah kusut karena keseringan diputar. Adegan ketika gelegar suara Bapak (raksasa gelap itu) bergaung di luar kamar, memaki, memarahi dan menyiksa Ibu. Adegan ketika bayangan mereka terlihat jelas dari tingkap kaca di atas pintu, bagai pertunjukan wayang semalam suntuk yang sama sekali tidak menghibur.
Anima merasa kembali menjadi gadis kecil yang meringkuk di sudut kamar gelap ketika episode-episode tayang ulang itu terjadi. Anima kecil selalu berusaha untuk menutup kedua telinganya dengan sepasang tangannya atau dengan bantal, tapi tetap teriakan itu terdengar, gelegar suara Bapak (bayang kelam itu) selalu menemukan celah kecil untuk menelusup masuk ke pendengarannya. Sering Bapak tak puas, dan pukulan serta tamparan juga harus diterima Ibu. Anima kecil selalu merasa bahwa Ibu adalah seorang malaikat bisu, yang mengemban semua lara dan luka dalam keheningan yang stoik. Kadang saja ia bisa mendengar jeritan tertahan dan isak pelan ibunya, wanita malang itu selalu berusaha menutupi deritanya.
Anima kecil tak pernah bisa tidur jika teriakan teler Bapak belum berhenti. Gadis kecil itu akan berusaha untuk tidak mendengar suara-suara itu. Ia akan masuk ke dalam lemari baju sambil memeluk boneka koboi kesayangannya, merangkak ke kolong tempat tidur, atau meringkuk seperti janin di bawah selimut tebalnya, dengan bantal yang menutupi pendengaran dan pandangan dari segala. Ketika ia sudah menjadi gadis remaja, Anima menemukan cara baru yang ampuh untuk meredam suara-suara itu, yaitu dengan mendengar musik lewat ear-phone. Sesudah dewasa sering ia berpikir, musiklah yang telah menyelamatkan dirinya, kewarasannya. Musik, semesta harmoni yang selalu indah, sangtuari dimana Anima mampu melarikan diri dari segala yang tak ingin ia lihat dan dengar, segala yang tak mampu ia cerna.
Bapak (monster itu) ditemukan Anima telah kaku di tempat tidur pada suatu pagi yang kelabu dan basah, nyawa telah meregang dari jasadnya yang masih sangit tuak. Ada luka tusukan dengan pisau dapur yang masih menancap di dadanya. Anima remaja sama sekali tidak menjerit atau menangis saat itu, ia hanya sebentar saja mencari ibunya, dan ketika ia tak menemukannya di manapun di dalam rumah, Anima remaja mengetuk pintu tetangga dan berkata datar: “Bapak sudah mati.” Ibunya, si malaikat cantik yang bisu tak bisa ditemukan dimana-mana. Anima remaja berpikir, Ibu telah mendapatkan kembali sayap peraknya dan telah terbang ke surga. Anima hanya menyesalkan mengapa Ibu tak membuatkan dirinya sepasang sayap kemilau juga, agar dapat terbang berdua dengannya.
Banyak polisi datang, para tetangga sibuk berkerumun. Seorang saudara jauh akan mengurus Anima hingga kelak diketahui akan ditempatkan di panti asuhan mana. Anima remaja rebah meringkuk seperti janin sambil memeluk boneka koboinya yang kumal, ear-phonenya terpasang di telinga.
Dan musik membawanya terbang menyusul Ibu, malaikat bisunya yang cantik dan tabah. Dan sejak pagi celaka itu, monster bayang kelam malaikat bisu pisau dapur darah sayap kemilau selalu menghantuinya, dalam mimpi dan saat terjaga.
**
Lari! Lari! Lari! Animus bisa mendengar dengus nafasnya yang begitu keras, beradu keras dengan derap langkah yang menggema di lorong-lorong sempit ini. Lari! Lari! Lari, Animus, lari! Animus berbelok ke sebuah gang kecil di sisi kiri, ketika dia melihat ke belakang, orang-orang itu hanya berjarak beberapa meter dari punggungnya. Sempat terdengar satu dari mereka berteriak dua kali memperingatkannya untuk menyerah. Animus terjatuh. Bangsat! Tumpukan kardus makanan kemasan di depan mata tak terlihat olehnya. Malam tanpa cahaya di jejeran gang kecil pasar lokal ini terlalu gelap, sudah sejak tadi dia menabrak segala tumpukan barang yang menghadang jalannya. Animus mengacuhkan tangan kanannya yang terhempas ke lantai, dan kembali berlari.
Di depannya sebuah tembok tinggi dengan lilitan kawat duri di atas menghentikan langkahnya. Berkacak pinggang, Animus mengatur nafas, sambil melihat beberapa orang yang mengejarnya, Animus tak tahu jumlah pasti mereka, sudah semakin mendekat. Tanpa pikir panjang, Animus menaiki tumpukan kotak dan melompat ke tembok. Merasa geraknya terhalangi jaket kulit yang cukup tebal, dilemparkannya jaket itu dari atas, tinggal selembar kaos menempel di tubuhnya. Tangan Animus memegang tumpukan kawat berduri, sembarangan. Tak dirasakannya lagi ujung-ujung runcing yang menusuk hampir seluruh bagian tubuhnya, ketika dia harus mengambil posisi tidur menyamping untuk melintasi tembok tinggi. Tenaganya sudah hampir habis. Keringat mengucur deras. Animus menjatuhkan dirinya ke bawah, tak diperhatikannya bagian belakang baju yang menyangkut pada penghujung kawat tajam. Animus berteriak kecil, ketika bagian belakang pakaiannya robek dan tertinggal di sana. Tubuh Animus kini hanya berbalut kemben di bagian dada. Segera disambarnya jaket yang telah lebih dulu jatuh di bawah, dan memakainya sambil meneruskan berlari tergesa.
“Berhenti!”
Salah seorang dari keempat polisi itu memberi perintah. Mereka masih berdiri di atas tumpukan kotak berisi ikan mentah segar yang sebelumnya menjadi pijakan Animus untuk memanjat tembok. Inspektur itu masih bisa melihat sesosok tubuh berlari menyusuri lorong kecil yang panjang, namun tak lagi dia ikuti. Diarahkannya senter yang sejak tadi tersimpan di saku kanan celananya ke arah tubuh itu. Bagian atasnya polos, hanya tertutup sebuah kain yang dibebat rapi di bagian dada. Mungkin sedang terluka, pikirnya. Sang inspektur menajamkan penglihatannya dengan bantuan cahaya di tangannya, memperhatikan buronan yang baru saja menguras habis tenaganya. Sesaat sebelum tubuh itu memakai jaketnya, sang inspektur sempat melihat sebuah gambar di punggung atas, tepat di bawah tengkuknya. Sebuah tato.
Sepasang sayap malaikat yang sedang mengepak.
**
Untuk kesekian kali, Anima terbangun dan mendapati dirinya ternyata tertidur di lantai ruang tamu di rumahnya. Tidak, ini terulang lagi, pikirnya. Anima bangkit dengan lunglai dan akhirnya tersedu, menyuarakan ketakutan dan keputus-asaannya. Waktu-waktu yang hilang, yang tak membekaskan sedikitpun ingatan di benaknya. Terenggut, bagai lembar-lembar yang tergesa disobek dari sebuah buku. Momen-momen yang telah merampas pekerjaannya, teman-temannya, hidupnya. Ia telah kehilangan segalanya.
Anima masih punya sebuah ingatan kusam diantara ingatan-ingatan lain yang mengabur dan hilang, pada suatu siang (entah kapan) ketika ia akhirnya dikeluarkan dari pekerjaannya. Suara atasannya yang kecut menerangkan tentang betapa prihatinnya pihak sekolah musik akan tingkah laku dan absennya dia dari kewajiban mengajar. Betapa mereka merasa diabaikan karena surat-surat peringatan yang diberikan pada Anima tidak digubris. Padahal Anima tak pernah merasa menerima surat-surat itu!
Dan tak hanya itu. Di suatu pagi rambut panjangnya yang legam berubah secara ajaib menjadi pendek, dan Anima menemukan sulur-sulur ikal rambutnya di dalam wastafel! Barang-barang kecil yang penting: kunci-kunci, perhiasannya, parfumnya, sering berpindah tempat atau raib. Anima bahkan mendapati beberapa gaun dan pakaian dalamnya digunting. Uang yang hilang dari dalam dompet, bahkan tabungannya di bank juga menipis. Anima tak mengerti bagaimana itu bisa terjadi, buku tabungannya masih tetap ada dalam laci, dan siapa yang tahu nomor pin ATM-nya? Ia juga menemukan banyak kejanggalan di sekitarnya, barang-barang yang tak pernah ia lihat sebelumnya: botol-botol bir kosong, sebuah jaket kulit, sepatu boots, celana jins belel. Sering ia terjaga di sebuah pagi yang ganjil dengan mengenakan pakaian itu, dengan lebam di badan, kepala berdenyut-denyut dan bau apek pada tubuhnya.
Anima merasa hidupnya tengah berlangsung tanpa kehadirannya. Berbagai kejadian luput dari pengetahuan dan kesadarannya, bagai bulir-bulir pasir yang lolos percuma dari genggaman. Sang lakon yang terkucil di atas panggung sepi: dirinya tak lagi kuasanya. Anima sadar ia sedang terjatuh ke dalam jurang kegilaan, dan sosok keji itulah yang mendorongnya terjun, seringai jahatnya terus menghantui.
**
Animus baru saja menghabiskan botol bir ketiga malam itu, ketika tiga orang lelaki bertubuh besar mendekatinya dari belakang, langsung mencengkeram tangannya.
“Maaf, anda harus ikut dengan kami ke kantor.”
Animus refleks memberontak, tapi tubuhnya terlalu kecil untuk bisa melawan tenaga tiga lelaki dewasa itu. Diperhatikannya wajah mereka satu per satu, wajah yang beberapa kali berlari mengejarnya di remang malam sudut-sudut terlantar kota. Animus memaki dalam hati, dia tahu persis siapa tiga lelaki ini. Dia harus lari, lari, lari! Kalau semua kejahatannya terbukti, dan dia berakhir di balik jeruji, maka semua kesenangan yang dialami Animus akan berubah menjadi neraka. Ada ketakutan yang tiba-tiba menyerang diri Animus. Seketika dia ingin bersembunyi, masuk jauh dan tertidur seperti bayi di dalam sana, di dalam tubuhnya, kemudian membiarkan Anima mengambil alih peran ini.
Animus tersenyum tipis, baru saja sebuah ide pintar melintas dalam kepalanya. Animus memanggil Anima yang sedang tertidur, terlelap bersama mimpinya seperti malam-malam biasa.
“Anima… Anima… Anima…”
Jiwa perempuan itu bergerak gelisah di dalam tidurnya.
“Anima… Anima! Bangun kau, perempuan lemah!”
**
Denyutan di kepalanya membangunkan Anima dari sebuah lelap panjang yang melelahkan. Ia membuka mata dan mencoba untuk mencerap lingkungan asing di sekitarnya. Butuh waktu lama bagi matanya untuk menyesuaikan pandangannya karena kurangnya pencahayaan ruangan. Bayang-bayang dan sudut-sudut gelap tampak sangat asing, dan kedua matanya membesar ketika pelan-pelan ia mengerti ruangan apa itu. Ia sedang berada di sebuah sel! Bui, penjara. Bau apek dan jeruji besi kotor di seberang dipan keras yang ia tiduri meneguhkan keyakinannya.
Anima diserang rasa panik luar biasa. Dimana lagi ia sekarang? Apa yang telah terjadi? Sekuat tenaga Anima memeras ingatannya, mengapa ia di sini, di penjara kotor ini? Apa yang kemarin terjadi? Dan, benarkah ingatan terakhirnya adalah kemarin?
Di pagi yang celaka ini, di dalam sel itu, Anima dicekam kesadaran bahwa sekali ini, sesuatu yang serius telah terjadi dalam hidupnya.
**
Anima tengah duduk memeluk lutut di sudut sel, tubuhnya berayun perlahan mengikuti irama imajiner dalam pikiran kalutnya. Di waktu-waktu seperti ini, ia merasa kembali menjadi gadis kecil yang meringkuk ketakutan di sudut kamar dengan earphone yang melekat di telinga, membendung segala suara. Dan bayang kelam itu, Bapak, kembali menghuni isi kepalanya.
Deritan pintu sel yang menggema menghentakkan Anima. Ia menengadah dari pojok sel, dan langsung gemetar ketakutan melihat seorang polisi menghampirinya.
“Hey kamu, ayo ikut!” ujarnya kasar pada Anima, seraya menarik tangan Anima.
“Kenapa saya ada di sini, Pak? Apa salah saya?” Anima menimpali dengan tangis yang mengumpul di matanya.
“Sudah, jangan banyak bicara, tukang jagal!” Polisi itu menyeret Anima ke luar sel, menuju sebuah ruangan yang agak jauh terpisah dari deretan sel. Bunyi suitan dan teriakan serta tawa dari para penghuni sel lain mengikuti Anima, menambah kalutnya.
Setelah menghempaskan Anima pada kursi di sebuah ruangan tertutup, petugas itu keluar ruangan. Nyaris tak ada apa-apa di ruang sempit tanpa jendela itu, hanya dua kursi dan satu meja. Anima ditinggal sendiri, peluh terasa membanjiri tubuhnya. Pintu terbuka dan masuklah seorang polisi, dari pembawaannya Anima merasa ia mempunyai pangkat yang cukup tinggi.
Polisi itu duduk di kursi yang lain dan diam untuk beberapa saat, matanya seakan mempelajari Anima. Anima gemetar, berbagai pikiran buruk membayanginya. Anima akhirnya bertanya: “Pak, kenapa saya ditahan? Apa salah saya?” Tangis merebak di sepasang matanya.
Polisi itu tetap diam, seakan sedang mengukur sesuatu.
“Pak, saya mohon, saya perempuan baik-baik. Saya tak pernah berurusan dengan polisi atau orang jahat, kenapa sekarang saya ditahan?” Lelehan air mata kini membasahi pipi Anima, tubuhnya terhuyung ke depan. “Tolong, Pak, saya mohon...”
Polisi itu kini mendekatkan mukanya ke arah Anima.
“Kau mengaku tak tahu kenapa bisa berada di sini?” tanyanya dengan pandang mata yang menyelidik.
“Saya bersumpah, Pak, saya tak tahu… Hidup saya memang agak kacau belakangan, tapi saya bukan orang jahat!” Akhirnya tangis Anima meledak, ia menutupi wajahnya dengan kedua belah tangannya yang gemetar dan terbaret goresan luka.
“Kau jangan macam-macam! Semua bukti telah mengarah padamu. Dan masih pula kau menyangkalnya? Ada beberapa orang yang siap bersaksi memberatkanmu!” Suara polisi itu sekarang mulai nyaring.
“Apa yang terjadi? Kesalahan apa? Saya tak tahu apa-apa, Pak…”
“Haahh, kau sudah mengambil nyawa beberapa orang seolah Tuhan, dan sekarang masih juga belagak tak tahu apa-apa?”
Anima langsung tersentak di sela isaknya. Mengambil nyawa beberapa orang? Oh Tuhan, apa yang telah terjadi?
Tiba-tiba polisi itu bangkit, berjalan cepat mengitari meja dan dengan gerakan yang tak terduga menarik kerah belakang Anima.
“Ini buktinya! Saya masih ingat ketika pertama kali mengejarmu, tato sayap yang unik ini bisa saya identifikasi.”
Anima tersentak. Tato? Sayap?
“Saya tak pernah terpikir untuk membuat tato, Pak! Bapak salah menangkap orang! Saya difitnah, Pak, saya bersumpah saya orang baik-baik!”
“Jangan macam-macam, kau pikir saya orang bodoh? Ayo sekarang akui semua perbuatanmu!” Polisi itu duduk lagi sambil menggebrak meja. Wajahnya memerah karena emosi.
Dalam takut dan pilunya, tiba-tiba Anima merasa ada yang menggapai asing dari dalam dirinya. Ada sebersit kemarahan yang ganjil. Wajah polisi itu mengabur, dan seketika semesta Anima gelap.
**
Animus menerobos tembok pembatas antara dirinya dan Anima, tak seperti biasanya, kali ini Animus tak butuh jeda sama sekali untuk mengambil alih tubuh itu. Kedua tangannya yang dibiarkan tak berborgol yang sejak tadi diam di atas kursi kayu dengan cepat mengangkat kursi itu dan melemparkannya ke arah si polisi. Kali ini tak akan dibiarkannya perempuan lemah itu menghadapi sendirian seorang lelaki raksasa seperti Bapak. Melupakan rasa takutnya, Animus memukuli polisi yang terjatuh di lantai itu dengan kursi sekuat tenaga, hingga kursi yang tadinya berbentuk utuh telah patah menjadi beberapa bagian kecil. Animus menduduki polisi yang telah berlumur darah dari luka di kepalanya.
“Bukan dia, tapi aku! Aku tukang jagalnya!”
Animus berteriak seperti orang gila, membenturkan kepala si polisi berkali-kali ke lantai yang keras dan hitam. Melihat si polisi yang masih meronta dan berusaha melawan dengan sisa tenaganya, Animus membuka mulut lelaki besar itu dengan sebelah tangannya, lalu memasukkan kepal tangan yang lain ke dalam. Seolah ingin mencekik tenggorokannya dari dalam, Animus memaksa memasukkan tangannya hingga batas pergelangan. Polisi itu tak mampu lagi bersuara, malaikat maut seperti sudah berada di atas kepalanya. Hingga beberapa detik kemudian suara pintu yang didorong dengan keras diikuti derap langkah beberapa kaki menyela proses si polisi menjemput maut.
Seorang polisi dengan pakaian seragam lengkap menendang Animus tepat di muka dengan sepatu bootnya yang tebal. Animus jatuh ke belakang. Dua polisi lain dengan cepat menimpa tubuhnya. Seorang menimpa tangan dan kakinya, yang seorang lagi menahan kepalanya agar tetap berada di lantai. Suasana panik seketika. Polisi yang berlumuran darah dilarikan keluar ruangan oleh beberapa orang lain yang menyusul masuk belakangan. Masih dalam keadaan berbaring terlentang, dengan dua polisi di atas badannya, Animus tertawa puas, ada nada histeris dalam tawanya.
“Hahahahahahaha… Hahahahahaha…”
Dia merasa menang.
**
Di tempat ini, semua kelabu. Tak ada putih dan tak ada hitam.
Anima yang ringkih duduk di kursi yang berada dekat jendela kamarnya yang berjeruji. Kamarnya adalah sebuah ruangan kecil tanpa banyak perabotan, hanya sebuah dipan, meja dan kursi, lemari baju, jam dinding dan sebuah cermin. Dindingnya kelabu, kelabu seperti hari-hari yang ia lalui di sini.
Sebentar lagi makan siang akan dibawa para perawat, Anima berpikir ketika pandangannya mengarah jam dinding. Padahal ia sama sekali tak lapar. Ia agak terhibur memikirkan berbagai kapsul berwarna-warni yang harus ia minum nanti sehabis makan. Ia sangat suka yang berwarna hijau neon dan merah muda. Kapsul-kapsul itu begitu cerah, membuatnya teringat akan hidupnya yang berwarna dulu. Dulu, sebelum semua ini terjadi. Kapsul-kapsul itu juga membuatnya merasa tenang, atau tepatnya mati rasa, terutama jika ada sesuatu yang menggelegak jauh dalam dirinya. Jika sosok jahat itu berusaha keluar lagi.
Menurut para perawat di sanatorium itu, sekarang Anima sudah jarang mengamuk. Anima percaya pada mereka. Ia merasa ia kembali mulai dapat mengendalikan hidupnya sendiri, kembali berperan. Tidak seperti dulu, bagai neraka jahanam. Dan lihatlah apa yang terjadi dengan hidupnya. Mata Anima membasah, tapi lekas ia hapus dengan punggung tangan. Tapi Anima tak sanggup mengesampingkan rasa bahwa ada yang tetap mengintip dan membayanginya, di dalam. Ia tahu itu akan selalu ada. Tapi sekarang Anima lebih kuat darinya, si Jahat itu.
**
Animus terbaring lemah, dia yang biasa begitu berapi-api dan penuh tenaga, kini menjadi lemas dan bahkan sulit mengendalikan diri, apalagi untuk mengambil alih tubuh Anima. Pasti ini karena pil-pil sialan itu, pikir Animus. Ah, dia bahkan sulit merasakan emosi. Perasaannya begitu datar saat ini. Dia tak tahu apa yang terjadi di luar sana. Terakhir kali kesadarannya utuh, adalah saat Animus diseret paksa menuju Rumah Sakit Jiwa, oleh para polisi bedebah itu. Animus masih dapat mengingat perasaan puas ketika polisi berpangkat tinggi itu bersimbah darah di lantai ruang interogasi, kerajaannya sendiri. Dan dia masih mengingat kesenangan ketika dia memberi Anima kejutan puncak saat gadis itu terbangun dan mendapati dirinya ada di sanatorium, pusat rehabilitasi bagi orang-orang tidak waras.
Tapi saat ini Animus tidak berdaya. Dia bukan lagi raja. Animus berbaring dengan tatapan kosong, di ruang yang kosong pula, di kedalaman tubuh Anima. Dia seperti tak bisa menemukan jalan keluar dari labirin yang entah sejak kapan menjadi benteng diri si perempuan cengeng. Animus mencoba bernyanyi sendiri, terdengar begitu lirih. Dia tiba-tiba saja merindukan perempuan yang dulu mereka panggil Ibu. Yang kasih sayangnya tak sempat Animus nikmati, karena terlalu sibuk memikul beban derita yang diakibatkan lelaki raksasa penguasa rumah mereka.
**
Anima menghembuskan nafas panjang, tangannya memasang earphone dan suara solo cello mengalun dalam kepalanya, seketika membuatnya merasa lebih baik.Ia mengalihkan pandangannya ke luar jendela, ke arah langit mendung yang penuh benih tetes hujan.
Langit seakan selalu memanggilnya, menunggu kedatangannya dengan sabar. Karena Anima tahu, Ibu ada diantara gumpalan awan berlapis-lapis itu. Malaikat bisunya, sang empunya sayap perak kemilau, malaikat yang tabah. Si Jahat telah mentato punggung mereka dengan sebuah sayap mengepak. Hanya pada kenyataan ini Anima bisa merasakan sebentuk rasa terima-kasih pada Animus, kembar dirinya. Kini mereka punya sepasang sayap, walau tidak berwarna perak kemilau, tapi hitam legam, kelam seperti dosa.
Tak pernah ia kehilangan Ibu lebih dari saat sekarang, tak pernah ia merasa sangat membutuhkannya. Matanya membasah kembali, kali ini air mata jatuh ke pipinya dengan tetesan-tetesan besar. Anima terisak, semakin lama semakin kencang, bahunya berguncang-guncang. Anima merasa begitu sendiri, begitu tak terjamah.
Animus masih saja bernyanyi sendiri. Tubuhnya masih di tempat yang sama, terbaring begitu saja. Sebuah suara membuatnya menoleh ke sebuah arah, ada pintu yang sedang terbuka. Animus mengernyitkan dahi. Berpuluh tahun dia tinggal di sana, di dalam ruang jiwa itu, dan tak sekali pun dia lihat ada pintu. Animus sempat tersenyum, berpikir mungkin itulah pintu keluar yang dia cari, pintu yang telah berpindah tempat, pintu kebebasannya untuk kembali menjajah Anima. Tapi senyum itu menghilang, ketika satu sosok yang sangat dia kenal keluar dari sana.
Sebuah kilat melecut dalam otaknya, dan pandangannya mengabur. Anima tersentak, kilat itu terasa akrab, dan Anima berseru keras pada dirinya: “Jangan berani kau keluar, mahluk jahat!” Anima memalingkan mukanya ke arah cermin yang tergantung tak jauh darinya, matanya melotot berusaha mengusir bayang si Jahat kalau-kalau ia berusaha keluar dan menampakkan dirinya di cermin. Anima terkesiap ketika pada bidang cermin itu, sepintas ia seakan melihat wajah malaikatnya, dengan senyum lembut dan kerlip bintang di matanya yang selalu tampak jika ia sedang bahagia. Anima tertawa bahagia menyambut senyum Ibu, air matanya semakin deras.
Dan lecut di kepala itu kembali terasa, sekali ini lebih besar, lebih lama. Semesta Anima kembali gelap.
“Ibu…”
Sosok itu tersenyum lembut kepada Animus. Malaikat mereka, dia dan Anima. Animus memaksa diri untuk bangkit, sosok itu tengah berjalan ke arahnya. Dia duduk di samping Animus, membelai rambut lelaki muda yang terlihat begitu lelah. Dikecupnya pelan dahi Animus.
“Beristirahatlah, kalian terlihat begitu lelah. Biar aku yang menyelesaikan semuanya untuk kalian. Biar kukembalikan kebebasan bagi kalian. Berdamailah, Animus. Berhentilah mengutuki kembaranmu.”
Animus tak mampu menjawab, seakan setiap kata malaikat bisu itu adalah sebuah titah yang harus dia patuhi. Sosok yang telah lama menghilang, yang selalu dicarinya, dirindukannya, dan Animus tahu, Anima pun merasakan hal yang sama. Animus merasa begitu lega, setidaknya ibu tak membencinya. Memang hanya dia, hanya malaikat itu yang paling mengenal Animus dengan segala emosi liarnya. Animus merasa begitu tenang bersama sosok perempuan tua itu, dia kembali membaringkan diri sesuai perintah ibunya.
Sosok itu kemudian berjalan, diikuti pandang mata Animus. Ibu menelusuri labirin yang terlalu sulit dipahami oleh Animus. Seperti hafal setiap seluk beluknya, Ibu berlalu dengan tenang masuk ke dalam kelindan labirin berliku itu. Ah, tentu saja, mereka adalah anak-anaknya. Ibu tentulah orang yang paling memahami Animus, juga Anima.
**
Ibu membetulkan letak gelungan rambut yang baru saja ia buat. Ia bangkit menuju tempat tidur dalam kamar sanatorium itu dan membaringkan diri di atasnya. Ia ingin Anima beristirahat, putrinya yang malang. Telah begitu banyak cobaan hidup yang telah di alami Anima. Ia takut Anima tak akan kuat menghadapinya, Animus saja telah cukup menyusahkan Anima. Sekarang yang dibutuhkan Anima adalah kekuatan dan kesabaran, dua hal yang ia punya, lebih dari cukup. Telah begitu lama ia meninggalkan Anima dan Animus, kedua buah hatinya, dan sekarang adalah waktu yang tepat untuk membayar hutangnya itu. Dia membiarkan Anima masuk, dan beristirahat jauh di dalam tubuh yang sekarang dikuasainya itu. Ibu mengucap doa, semoga Animus dan Anima bisa berdamai di sana. Ah, kedua anakku yang malang, pikirnya.
Ibu memejamkan mata, dan lelap yang ia rasakan kemudian adalah lelap tanpa mimpi, tanpa ilusi.
***
[Jakarta, Maret 2011]
kolaborasoy bersama Mba Mia,sebanyak 5000 kata, selamat membaca!
peserta NO 21, Duet Ponstan *uhuy!
Note : UNTUK MEMBACA TULISAN PARA PESERTA FFK YANG LAIN MAKA DIPERSILAKAN MENGUNJUNGI BLOG Kampung Fiksi berikut: KampungFiksi@Kompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H