Mohon tunggu...
Dee Dee Sabrina
Dee Dee Sabrina Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

http://insideedee.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Fin

27 Januari 2011   02:01 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:09 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Jangan pergi," perempuan itu menahan tangis dalam suaranya, aku tersenyum jahil.

"Aku cuma mau ke kamar mandi."

Kubasuh muka dengan air yang mengucur dari keran berwarna emas di kamar mandi, meraih tisu dan mengeringkan wajahku. Aku menginjak sebuah pengait di tong sampah dekat kaki, sehingga tutupnya membuka. Kulihat segumpal karet berwarna kekuningan dibuang di atas tumpukan sampah tisu bekas. Kuperhatikan gumpalan karet yang dalam sedetik kukenali sebagai kondom itu selama beberapa saat. Lalu kututup kehadirannya dari pandanganku dengan melemparkan tisu di tangan ke atasnya.

Aku kembali menghadapi kaca wastafel, membasuh mukaku sekali lagi, dengan gerakan yang lebih mirip menampar wajah. Kubiarkan rambutku ikut basah terkena cipratan air yang tak terkontrol jatuhnya. Aku melihat wajahku di depan cermin, terlihat lebih baik dalam keadaan basah, karena aku tak bisa membedakan yang mana air mata.

Perempuan itu melihatku dengan tatapan memelas saat aku keluar dan berdiri di depan pintu kamar mandi. Aku bergerak mendekat ke tempat tidur, dia menggeser tubuhnya ke arahku. Setelah aku duduk di tepian kasur, dia memberanikan diri menyentuh pundakku, meski terasa keraguannya di sana.

"Maaf, ternyata aku bukan dewa," kataku diikuti tawa satir yang samar, perempuan itu menarik tangannya.

Kusambar ransel yang tergeletak diam di lantai samping tempat tidur dengan satu gerakan. Sempat kudengar bunyi nafas tertahan perempuan yang sekarang berada di belakangku. Beberapa menit aku bertahan dengan posisi itu, saat semakin lama suara isaknya semakin terdengar, aku melangkahkan kaki menjauh.

"Tolong, jangan pergi," suaranya serak menahanku. Aku berbalik badan dan berusaha tersenyum meskipun ragu dia tidak melihat genangan yang memenuhi kelopak mataku.

"Sampai jumpa, Karenina."

Aku berjalan meninggalkannya, melewati lorong sempit yang menghubungkan kamar tidur dengan ruang tamu. Beberapa foto berserakan di atas meja, asal mula pertengkaran kami. Fotonya dengan beberapa orang pria, entah siapa. Terbayang kembali kejadian beberapa jam lalu, saat kutemukan alat tes kehamilan mengintip di balik plastik sampah yang hendak dibuang, seolah-olah membenarkan semua kecurigaanku.

"Kau pikir sejak kapan perempuan mengeluarkan sprema."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun