Namaku Padu Giring Hanuari. Dilahirkan di Frankfurt, Jerman, aku tumbuh hingga remaja di sana. Menjelang SMP, barulah aku menginjakkan kaki di Jakarta, Indonesia, setelah Papa berhenti menjabat sebagai duta besar di sana. Tak ada yang menarik dari kota ini, hanya sekumpulan orang yang merasa begitu wah dan diragukan kualitasnya sebagai manusia. Sejak awal aku tak pernah suka kota besar, membuatku tak nyaman.
Wajahku tampan, berasal dari keluarga terpandang. Perempuan mana yang tak akan jatuh hati, aku hebat sekali dalam menarik simpati. Sejak SMP lagi, aku sudah bergonta-ganti wanita untuk ditiduri. Bajingan? Mungkin, mungkin. Tapi percayalah, aku tak pernah memaksa. Bahkan, seringkali mereka yang meminta. Aku tak suka romansa, enggan merasakan sayang, cinta, atau apalah namanya itu. Katakanlah aku penakut. Aku tahu aku pecinta yang hebat, dan gadis-gadis itu tak layak mendapatkannya.
Hidupku serba berlebih, meski begitu, aku bukanlah anak kaya manja yang tak tahu rasanya susah. Saat melanjutkan pendidikan ke sebuah universitas negeri di Semarang, aku membiayai sendiri hidupku. Sebuah hukuman dari Mama yang sejak awal tak setuju aku berada jauh darinya.
Aku bekerja sambil kuliah. Menjadi pelayan kafe pun kulakoni, sampai akhirnya mendapat pekerjaan cukup layak sebagai designer grafis paruh waktu di sebuah perusahaan event organizer. Tak makan seharian pun aku tahu rasanya, saat aku belum terbiasa mengontrol pengeluaran dan berakhir kelaparan di penghujung bulan. Tak satu keluhan pun kuucapkan. Aku percaya setiap tindakan pasti diikuti oleh resiko.
* * *
"Pagi!"
Perempuan itu selalu memanggilku, Pagi. Seorang senior di kampus, Senja. Ya, betul itu namanya. Senja Merona Cerah Jingga. Tidak, tidak, aku bercanda. Senja Indira, nama lengkapnya. Cantik, pintar, supel dan ramah, mirip sempurna.
"Kamu hidup di masa lampau."
Pernah sekali kuutarakan, Senja memiliki terlalu banyak cerita lalu yang tak bisa ditinggalkannya. Kalau sudah begitu, dia akan membantah habis-habisan. Memutar segala bahasa untuk mencari kata paling tepat dan penyangkalan paling halus, yang intinya bermakna sama. Aku hanya akan tersenyum, dan diam. Oh iya, aku lupa bilang, aku tak suka berdebat panjang.
"Pagi!"
Entah sejak kapan, semua orang memanggilku dengan nama itu. Tak terlalu buruk sebetulnya, aku menyukai pagi. Karena pagi membuatku berpikir, setidaknya ada 24 jam lagi untuk memperbaiki keadaan, apapun itu. Aku selalu menyukai sebuah permulaan. Kembali kepada, Pagi. Bahkan beberapa dosenku pun mulai memanggilku begitu.