Senja tersenyum simpul, berkata sudah terlalu tua untuk berlagak remaja. Ada perasaan lega yang singgah di dada sebelah kiri. Lalu entah darimana keberanian tiba-tiba saja datang, aku menyatakan rasa dan memintanya untuk belajar setia bersamaku. Tak butuh waktu lama menjawab, Senja tertawa sekilas.
"Pagi dan Senja. Ah, kita terlalu sempurna!"
* * *
"Senja!"
"Senja!"
Senja berdiri menghadap belakang, aku mengulurkan tangan dan memanggilnya, tapi dia tak juga berbalik arah melihatku, aku terbangun. Mimpi itu seperti diulang selama beberapa hari.
Bermula saat pertengkaran kami, ketika aku melihatnya sedang menikmati kopi di sebuah kafe kecil, sore hari. Salahku, tak begitu sabar, aku memojokkannya ketika kami bertemu. Kupikir lagi kemudian, aku yakin dia akan bercerita, karena memang tak pernah ada rahasia.
Itu pertengkaran hebat kami pertama setelah empat tahun bersama, bukan yang terakhir, sayangnya. Tak berapa lama berselang, saat sedang meminjam telepon genggamnya, sebuah sms masuk dan terbaca, salah satu penggemar lama. Rasa penasaran membimbingku menjelajahi kotak masuk, pun kota pesan terkirim. Aku tak biasa seperti ini, karena semua kuatur berdasarkan porsi. Apa yang tak ku tahu, tentu tak akan menyakitiku. Maka pertengkaran kedua terjadi, kali ini lebih hebat lagi. Meski tak membentak atau berteriak, emosi membuat nadaku menjadi tinggi, tak tenang seperti selalunya.
Sebut saja aku cemburu. Bagaimana tidak, enam bulan lagi dia resmi menjadi istriku, kenapa tak memantapkan diri dan malah sibuk meladeni lelaki sana-sini? Angga, ya, terlebih lagi, dia. Bukankah, bagi perempuan, cinta pertama adalah yang tak terlupa? Aku merasa dibodohi, terluka. Semua penjelasannya terasa mentah, kami menjaga jarak, untuk pertama kalinya berjalan ke lain arah. Senja bahkan berganti menghakimi kedekatanku dengan beberapa kekasih di masa lalu. Kau bilang aku belum rela melepas para penggemar terselubungku, meski sudah pernah kujelaskan saat ini mereka bertahan sebagai teman, kurasa ketika emosi berdebat dengan ego, hanya akan melahirkan bom lebih besar dari yang masing-masing bawa.
"Kenapa tak akui saja, kau menikmati dipuja, memang suka membuat mereka bertanya, dan gemar tak terbaca. Bahkan dalam perkara rasa."
"Apakah usia ikut berperan dalam sikapmu? Karena aku lebih muda, kah? Kau bilang mereka semua sama, aku yang istimewa. Kau bilang tahu batasanmu, tahu kapan harus berhenti. Apakah kita sedang bermain, lagi?"