"Harusnya cuma aku yang boleh memanggilmu, Pagi."
Senja berkata padaku suatu hari, dengan wajah ditekuk cemberut. Aku kira dia tak serius, tapi raut wajahnya benar terlihat kesal. Keningnya berkerut-kerut dan matanya menerawang tak tentu arah.
"Kenapa?"
Senja tidak menjawab, dan aku tak hobi mengulang pertanyaan, kubiarkan saja. Bukan aku tak tahu tentang itu, karena satu kali pernah aku tak sengaja mendengar perbincangannya dengan Gara, sahabat kentalnya di kampus. Saat itu Gara bertanya, apa ada hubungan di antara kami. Kulihat Senja tertawa.
"Terlalu sempurna. Pagi dan Senja, pasangan bumi? Aku dan Pagi hanya teman."
"Begitu? Lalu kenapa harus kesal jika orang lain memanggilnya dengan nama pemberianmu?"
"Anggaplah panggilan kesayangan. Sesederhana itu."
Aku menyukainya, betul. Sejak masa orientasi lagi, dia hanya dua angkatan di atasku, saat itu pertama kukenal Senja. Dia bukanlah perempuan-perempuan kelas tinggi yang dulu selalu menjadi incaranku di ibukota. Tak sama dengan gadis-gadis metropolitan yang selalu memancing pikiran kotor untuk ditiduri. Senja terlalu istimewa, bahkan untuk sekadar dikhayalkan saat malam, menjelang tidur dengan harapan mimpi basah dengan perempuan jelita.
Senja yang tak bisa melupakan Angga, si cinta pertama sejak SMA. Senja yang entah sadar atau tidak, nyatanya masih memupuk mimpi-mimpi yang dulu pernah mereka bagi. Menikah, hidup di sebuah rumah sederhana pada kota kecil seperti Semarang, Solo atau Jogja, membesarkan dua anak dan bahagia sampai tua. Beberapa kali kulihat dia mencibir diri sendiri di depanku, ketika menertawakan pemikiran remaja yang begitu percaya dengan mimpi utopis macam itu. Senja yang kemudian memiliki banyak sekali penggemar. Senja yang lalu bergonta-ganti pacar, menganggap lelaki sebagi pengisi waktu luang di kala bosan. Senja yang menyimpan kekecewaan dan membaginya dengan cara yang salah kepada setiap orang.
Adalah tahun keempatku kuliah, ketika Senja yang telah lebih dulu lulus, datang bertandang. Maka bernostalgia lah kami. Menyusuri lorong-lorong kampus yang dipadati mahasiswa baru. Tertawa-tawa mengenang masa orientasi, saat dia bergaya kacak pinggang di depanku yang masih malu-malu dan lugu.
"Masih gemar menikmati pemuja?"