Mohon tunggu...
Dee Dee Sabrina
Dee Dee Sabrina Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

http://insideedee.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Hingar, Bingar, Hujan dan Tuhan

7 Januari 2011   22:49 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:51 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku melaju dalam hujan.

Dan seketika saja kerasukan sebuah wangi dari masa lalu.

Lelah. Lalu bagaimana?

Atau kumohonkan saja sebuah do"a kepada Tuhan yang tidak pernah kukenal?

* * *


Kau menderu cepat dalam derau,
kata mereka hujan adalah pembawa lalu dan pelangi adalah pengingat pulang.

Masa sekarang.

Dalam kepalaku begitu ramai, seperti berjuta suara tanpa tuan.

Jangan-jangan itu doamu.

Jangan-jangan akulah si Tuhan.


* * *


Kami melaju dalam hujan.

Memenjerakan diam kami, memerdekakan suara kami dari ketiadaan.

Kami lelah.

Namun, tak tahu kepada siapa kami bisa berdo'a.

* * *


Kepada pagi, kataku.

Seorang pria berperawakan sedang dengan kumis tipis yang kupanggil guru pernah berkata,

sematkan doa seperti menyemat bunga di kantong jas saat acara istimewa.

Tak perlu diumbar, tak selalu harus berbayar.
Jangan dikira, karena jumlahnya sungguh di luar logika.

Jadi berdoalah pada pagi, kataku lagi.

Karena pagi selalu datang. Setiap hari.

* * *


Lalu bagaimana?

Aku melaju dalam hujan sambil menelan veronal yang

tak kunjung habis dari sakuku.

Aku lelah, tetapi tak bosan.

Maka, perlukah aku berdo'a?

Bagaimana jika aku teriak saja?

kepada Tuhan?

* * *


Oh, Tuhan yang Maha Segala.

Apakah hukum tak mampu berlaku juga padaMu, ataukah kau penganut paham, terjadi bila mau?

Atas dasar pertimbangan apa kehendakMu?

Seperti hujan yang Kau turunkan sewaktu-waktu, dan aku tetap bergembira atasnya.

Serupa meski bingar kepalaku dengan suara, tak sekalipun Kau kutepis juga.

* * *


Kami melaju dalam hujan.

Kami basah diguyur hingar dan bingar dari

kepala kami sendiri.

Lalu bagaimana? Siapa Tuhan?

Lelahkah Ia?

* * *


Masih kau me-reka tentang Tuhan sembari menikmati hujan.

Bongkahan besar di puncak tubuh yang bernama kepala kau penuhi hingar.

Hujan tak berbicara, mana mungkin dia menjawab tanya?


* * *


Aku melaju dalam hujan. Menyematkan dosa-dosaku sendiri.

Menduakan do'a-do'aku sendiri.

Aku enggan berbagi. Karena, aku tahu,

kami lelah.

Lalu bagaimana --- siapa? --- Tuhan?

* * *


Dan kau selalu begitu, melaju tanpa tahu yang dituju.

Bukahkah sudah kukatakan kepadamu,
tinggal kau cermati keberadaan-Nya di tempat yang kau mau.

Pada pagi. Pada semat sekelebat doa. Di dalam kepala. Di antara gendang telinga. Bersembunyi di balik suara. Tersembunyi di keseluruhan alam semesta.

Harusnya kau mulai belajar percaya,

Tuhan adalah aku,

dan tak mustahil untuk-Nya menjadimu.

* * *


Kami melaju dalam hujan.

Aku, aku --- kami.

Merapatkan saluran nafas kami sendiri.

Membuang takdir kami sendiri.

Mencelakakan aku, aku --- kami.

Lelah. Kami lelah. Dan tidak pernah mau tahu harus bagaimana.

Mungkin --- siapa? ---Tuhan? --- tahu harus bagaimana.

* * *

Aku melaju dalam hujan.

Kami melaju dalam hujan.

Tuhan melaju dalam hujan.

------------------------------------------------------------------------

[Stabat - Jakarta, 8 Januari 2010]

*baris sebelah kanan ditulis oleh Saby

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun