Jemari ini yang nanti menari, bukan aku. Aku raih jemari tangan wanita idolaku, menggenggamnya erat, kencang, merundukan kepala sekedar memohon restunya. Lalu dia mengecup keningku mengingatkan lagi bahwa aku membaca puisi dengan nada, maka harus ada jiwa yang menari bersama melodi. Aku pun beranjak kesisi panggung dengan untaian panjang gaun putihku. Aku lihat pasanganku yang bersandang gagah di pusat cahaya. Aku hampiri dia dengan iringan tepuk tangan, lalu dalam hati aku berdoa “Tuhan.. Biarkan malam ini Ibuku mendapatkan hadiah terindah di hari ulang tahunnya. Biarkan puisi dalam nada ini menyanyikan rasa terimakasihku untuk setiap kasih sayangnya. Bismillahirahmannirahim..” Dan jariku pun menari untuk Ibunda.
...
OK. Cukup. Aku harus bisa! Ini konser perdana. Aku bekerja keras untuk bisa sampai ke tahap ini. Persetan dengan baju yang membuat dadaku aneh. Atau sepatu yang membuat kram. Atau Aji yang mungkin tidak akan datang. Ini adalah malamku. Orang akan tahu suaraku. Aku akan tegap melangkah ke panggung. Memberikan semua yang terbaik. Membius telinga yang telah membayar ratusan ribu untuk harmonisasi pita suara ini. Akan aku buat mereka tidak menyesal. Gamang, gugup, cepat pergi! Ini waktunya. Aku telah bekerja keras untuk semua ini. Standing applause adalah milikku. Sambil membuat tanda salib, aku bangkit berdiri. Lihatlah! Ketika namaku disebut, panggung akan jadi milikku.
...
Aku melihat diriku sekali lagi di kaca. Kemeja hitam, celana hitam dan sepatu fantofel hitam mengkilat. Kulihat wajahku di sana, sudah tidak ada takut seperti beberapa menit sebelumnya. Kukeraskan rahangku, kuatur ekspresi wajah agar terlihat meyakinkan. Sempurna. Aku melihat biola di tanganku, biola kesayanganku ini, dan bownya yang terbuat dari ekor kuda, meminta kerja sama yang baik dari mereka. Kemudian bersama para pengisi acara lainnya kami berdoa bersama. Semoga pertunjukan kali ini bisa berjalan sesuai rencana tanpa kesalahan. Malam ini harus sempurna. Aku naik ke atas panggung, Bismillah.. Tirai itu sudah dibuka.
----------------------------------------
Kami bertiga disana, di atas panggung besar dan mewah. Tirai sedang membuka, seorang laki-laki berteriak melalui mikenya..
“Hadirin sekalian, mari kita sambut.. BERTIGADIPA!”
----------------------------------------
Dan Zeina menulis seperti air, mengalir begitu tenang : Legatoo
lalu Gita adalah si penulis katak yang hobi melompat : Stacato
kemudian serahkan penutupan yang penuh kejutan padaku : Cressendo
*menulis bersama bertigadipa memang selalu menyenangkan, cups!
[Jawa, Sumatera, Amerika, 12 Juni 2010]
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI