Mohon tunggu...
Dee Dee Sabrina
Dee Dee Sabrina Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

http://insideedee.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Bertigadipa : Legatoo, Stacato, Cressendo

12 Juni 2010   17:33 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:35 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

...

Aku mengintip dari belakang tirai. Undangan sudah berdatangan. Siapa itu? Ah! Itu Ibuku!! Mati aku. Mendadak isi perutku naik semua keatas. Aku mual. Aku bisa menghadapi jutaan penonton, sungguh. Tapi Ibuku? Tidak tidak, ini malapetaka. Kenapa dia tidak bilang-bilang mau datang? Ah ya, kalau dia bilang aku pasti akan melarang. Tanganku gemetar. Aku melakukan pemanasan jari dengan biolaku. Gilaaaa, kaku sekali rasanya. Keringat di wajahku mulai merusak make-up hasil karya Amel, masa bodolah. Gila, efek Ibuku lebih dahsyat dari apapun. Jungkir balik aku dibuatnya.

...

Lima belas menit sebelum..

Ini mengapa aku selalu datang lebih dulu. Dua jam lalu aku duduk di kursi penonton itu, berputar di sekitarnya, lalu naik ke atas panggung untuk sekedar menguasai tempat. Karena ini yang akan selalu terjadi, gugup ketika jam menunjukan segitiga siku-siku sebelum akhirnya tirai terbuka. Dua air mineral sudah habis. Shalawat pun tak pernah henti aku lantunkan karena itu satu-satunya obat penenang. Wanita yang ada di dekatku tidak lagi mengingatkan soal partitur, tapi soal rasa dan jiwa. Katanya nanti aku duduk disana, berkencan dengan si hitam nan gagah tanpa kertas partitur sama sekali. Penonton pun seperti persetan dengan itu, toh mereka hanya ingin telinga membawa damai ke hati mereka. Ibu tak pernah gagal memberi jiwa dalam setiap nada. Akupun harus begitu, tak boleh gagal menyairkan puisi dalam nada. Ibu memang tak pernah gagal menjadi guru terbaikku.

...

Aku berkaca sebentar dan merasa janggal dengan bagian dadaku. Sepertinya terlalu "jatuh". Aku memanggil Ibu meminta pendapatnya. Akhirnya tali braku dikencangkan sehingga dadaku terlihat lebih bervolume. Aku berkaca lagi dan mengambil nafas mencoba menyanyikan bait pertama. Jantungku berdebar sangat kencang. Lirik baris pertama tiba-tiba hilang begitu saja. Dan aku baru ingat. Aji! Apakah Aji datang? Kemarin dia bilang akan datang. Aku segera membongkar tas ibu mencari telpon genggam. Tidak ada pesan atau panggilan dari Aji. Mungkin dia tidak menonton. Aku sedikit gamang.

...

Sudah, aku harus tenang. Tidak ada yang boleh mengacaukan malam ini. Malam perdana aku kembali memegang biola dengan jariku, setelah 2 tahun meninggalkannya. Aku buka buku partitur di dalam tas, tidak ada masalah, sebagian besar sudah kuhafal luar kepala. Kubersihkan biolaku dengan selembar kain putih tipis, mengeratkan getah di keseluruhan panjang bow. Jangan sampai aku harus melakukan itu di atas panggung. Mulutku komat-kamit, membaca shalawat. Biasanya selalu berhasil menenangkan. Aku menarik nafas panjang, malam ini akan menjadi sejarah, bangkitnya seorang aku. Akan kubuat Ibuku bangga.

...

Sesaat sebelum..

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun