Satu jam sebelum..
Aku yang paling pertama datang tadi tapi selalu meminta giliran terakhir untuk make-up. Ah, kenapa selalu harus menangis setiap eye-liner bawah di goreskan ke mataku? Butuh 10 menit untuk membuatnya kering. Sudah jangan dimarahi, begini adanya. Partitur! Oh bukan, yang terpenting puisi! Sekarang bukan lagi Mozart atau Beethoven, tapi transformasi karya puisi Sapardi Djoko Darmono, Goenawan Mohammad dan komposer Amir Pasaribu. Oh Tuhan, jangan salah, tolong jangan ada yang salah. Tidak bisa latihan lagi, cukup tadi malam aku ingat-ingat yang tersulit, “D minor 7 chord, terdiri dari D, F, A lalu C lalu G, B, D dan F”. Mengingat lagi.. lagi.. lagi..
...
Make-up sudah okeh, tapi sepertinya bagian mata masih kurang menyala. Sepatu yang sekarang rasanya kurang nyaman. Aku putuskan mengganti dengan sepatu yang kedua yang haknya lebih rendah. Nah, ini lebih nyaman. Semoga kakiku tidak kram seperti konser sebelumnya. Make up OK, baju OK, sepatu OK. Sempurna! ya ya, seperti kata Ibu, penampilan prima akan menambah rasa percaya diri. Okeh. Sip. Semua okeh. Vokalisasi dulu.
...
Aku masih berlari-lari di koridor panjang gedung pertunjukan ini. Bangsat, harusnya tadi malam tidak minum kopi! Susah tidur dan akhirnya kesiangan. Masuk ke ruang ganti para pemain. Nah, si Amel tukang make-up itu sudah menungguku tidak sabar. Sambil ngomel-ngomel dia meratakan bedak di wajahku. Amel seperti biasa memaksa memakaikan perona pipi, aku beranjak dari kursi make-up dan menghindar. Gila! Aku belum mau disangka banci. Aku berganti baju dengan cepat. Jas, ah tidak usahlah. Kemeja hitam dengan kancing terbuka dua seperti biasa, itu ciri khasku. Sudah, sepatu juga sudah oke. Tidak ada masalah.
...
Tiga puluh menit sebelum..
Sudah aku pakai baju putihnya. Anggun, cocok untuk duduk di kiri panggung. Cermin cermin! Ya cukup, sempurna! Partitur partitur! Komposisi Preludio, Angel, dan Rondo. Coba sekali lagi, duduk sebentar dan aku mainkan jemari untuk lagu pembuka The Child in The Silent Morning. Imajinasi yang selalu sama hadir di setiap tarian jemariku tentang lagu ini. Lalu buyar saat seseorang memanggil meminta aku tengok panggung. Mengapa sang piano gagah sekali? Lalu penonton mulai berdatangan. Cahaya panggung terlihat sudah mulai menerang. “Allahumma Shali Ala Muhammad Wa’ala Ali Muhammad”, ya itu yang bisa aku ucapkan saat tangan ini mulai gemetar. .
...
Vokalisasi beres. Aku disuruh mengecek panggung sebentar. Tata cahaya panggung yang katanya sedikit diubah itu ternyata tidak terlalu berpengaruh banyak. Aku segera kembali ke backstage meregangkan kaki. Nada-nada tinggi tadi kurang mantap dan goyang. Tidak pitch. Tidak seperti latihan kemarin. Aku buka kembali partitur untuk memastikan nada yang tadi dibunyikan benar. Dan oh iya, aku suka lupa lirik bait terakhir. Tampaknya pintu sudah dibuka dan penonton mulai masuk. Tiba-tiba jantung berdetak makin kencang. Gugup. Gugup. Gugup maksimal.