Mohon tunggu...
Dewi Lestari
Dewi Lestari Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Sudah di Bogor, sementara akan jadi pembaca setia kompasiana.. :)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kusuka karena Becaknya

2 Juni 2010   02:38 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:48 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_156006" align="alignleft" width="300" caption="Copas dari http://galeri99.com/gambar_produk/5_bigx.jpg"][/caption]

Aku menyukai kotamu. Bukan karena keindahannya, karena dinamikanya, karena fasilitasnya, karena keramahan penduduknya atau karena apa pun. Aku menyukai kotamu karena masih ada becaknya :) .

Di kotamu, moda beroda tiga bertenaga manusia ini bisa kutemui di sudut mana pun. Di tepian jalan protokol, di setiap perempatan atau pertigaan, selalu ada. Tak hanya satu dua, namun puluhan, bahkan mungkin juga ratusan (di kawasan Jembatan Merah).

Pemandangan yang cukup mengherankan. Di saat kota besar lainnya mulai menyingkirkan moda ini dari jalan-jalan protokolnya, namun tidak dengan kotamu. Predikatnya sebagai kota kedua terbesar di Indonesia, belum menciptakan kesombongan untuk menyingkirkan moda beroda tiga yang identik dengan wong cilik ini. Hmm, pemihakan yang cukup membanggakan.

Jika dibandingkan, konstruksi becak di kotamu ini berbeda dengan becak di kota lain. Cukup sederhana dan tampak lebih ramping daripada becak yang kunaiki di Jogja ataupun Pati. Akibatnya mungkin agak sesak jika dipakai bertiga. Berdua saja sudah cukup sesak, apalagi jika bertiga :)

Begitu pula dengan penutup bagian atas penumpangnya, cukup sempit. Sempat terpikir wah, kayaknya kalau kunaik, muka bakal tetap kena panas nih.. Tapi, pas dicoba, prasangkaku terbukti salah. Ternyata ga panas, meskipun aku mencobanya di tengah hari dalam perjalananku ke Masjid Ampel. Meski matahari bersinar dengan garangnya, adem masih bisa kunikmati dari angin yang bertiup sepoi-sepoi. Ahh, ternyata kotamu ini tak sepanas seperti yang sering kau keluhkan. Atau mungkin karena kunjunganku pas kebetulan lagi agak adem kali ya.. Ga taulah, kalau memang begitu, feel blessed saja aku.

Memandang muka para tukang becak yang cokelat terbakar, memandang penuh harap pada setiap pejalan kaki yang lewat, hati mana yang tak trenyuh melihatnya. Mendengarkan rayuan mereka dengan nada memelas mengatakan bahwa sampai siang dia belum mendapatkan penumpang sama sekali, "Mari Mbak.. buat penglaris.. Rp 3000,- an saja, gpp (padahal jarak yang ditawarkan cukup jauh)" siapa pula yang sanggup menolaknya. Maka akhirnya kuputuskan untuk menaikinya, menyusuri jalan-jalan di kota.

Jika biasanya si penumpang menanyakan berapa biaya untuk mencapai ke sana dan ke sini dengan harapan bisa menawar, kali ini aku memilih tidak melakukannya. Sudah lama tak mbecak, seandainya kena harga yang mahal, ya sudahlah, anggap saja konsekuensi sebagai pengunjung. Toh sudah jarang menaiki moda ini. Terakhir naik becak, ya di Jogja tahun awal tahun 2009 silam. Hohoho, betapa lamanya. Jika kemahalan, anggap saja sebagai harga dari sebuah nostalgia.

Andaipun mendapat harga yang mahal, yah anggap saja sedikit berbagi rezeki pada mereka. Menurut tuturan tukang becak yang kunaiki saat ke jembatan merah, kadang dalam sehari mereka bisa tak mendapat penumpang sama sekali. "Yah, namanya juga rezeki Mbak.. Ada naik turunnya. Lagian saingan yang mbecak kan banyak. Sementara makin lama penumpangnya makin dikit, karena dah banyak yang punya motor, mobil ber-AC.. Lha kalo disuruh berganti kerjaan lain, saya ga mampu.. Wong bisanya ya cuma ngontel saja.." Hmm, sungguh trenyuh mendengarnya. So, apabila mereka menaikkan ongkosnya seribu dua ribu rupiah (biasanya tak akan lewat dari ini), ikhlaskan saja. Toh, pada sopir taksi yang menaikkan tarifnya semena-mena dan kadang mengakali argonya saja bisa kita terima (meski kadang hati nggerundel juga karena naiknya memang tak cuma seribu dua ribu saja). Apalagi buat mereka yang mengandalkan tenaga sebagai pengayuhnya. Sudahlah, ikhlaskan saja.

Ahh, enak juga mengeksplor kotamu ini dengan becak. Kaki yang telah pegal bisa kuistirahatkan untuk sementara.. Ditambah ngobrol dengan tukangnya tentang berbagai hal di kota, wah.. seolah-olah menyusuri kota bersama pemandu wisata ! Hmm, akan kucoba lagi jika suatu saat nanti aku tiba (lagi) di kota ini ! Titip pesan buat pemkotmu, tolong jangan musnahkan mereka sebelum aku kembali.. ;)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun