Sebelum menuju bumi Majapahit, Mojokerto, pagi itu kuputuskan untuk mengeksplore kota pahlawan. Berbekal peta kota dari leaflet sebuah museum di Surabaya, ples print out jalur bis kota dan angkot di Surabaya hasil bertanya pada Om google sehari sebelumnya, maka penjelajahan pun kumulai. Dengan naik bis kota Purabaya-Jembatan Merah via tol berongkos Rp 3500,- , maka kunjungan pun kumulai di Tugu Pahlawan. Semula kubayangkan tugu pahlawan ini seperti tugu pahlawan yang ada di Semarang, terletak di sebuah tanah lapang kosong. Namun ternyata tanah lapang itu telah tersulap menjadi sebuah taman cantik yang multifungsi: taman bermain, makam pahlawan, museum, tempat olahraga. Di dinding/pagar luar taman, terdapat relief yang menceritakan perjuangan rakyat Surabaya sebelum proklamasi dan sesudahnya. Kemudian di pintu depan terdapat sebuah patung Bung Karno dan Bung Hatta yang sedang membacakan naskah proklamasi. Di belakangnya, terdapat sempalan sebuah dinding gedung yang pada tiangnya tertuliskan slogan-slogan populer pada masa itu, seperti merdeka atau mati, rawe-rawe rantas malang-malang putung, dst.
Saat kudatang, kebetulan ada apel polisi kota Surabaya dalam persiapan pengamanan pemilihan walikota. Namun demikian di sudut yang lain, tampak serombongan group senam sedang melakukan aerobik. Di pinggir-pinggir lapangan, anak-anak juga tampak asyik bermain badminton. Sedangkan yang remaja tampak asyik berpasang-pasangan.
Karena tak bisa melintasi lapangnya langsung menuju ke tugu, aku pun memutar dan menyusuri pinggiran taman. Owh, ternyata, di pinggir-pinggir taman ini juga terpasang patung tokoh-tokoh yang dianggap berperan dalam perjuangan meraih dan mempertahankan kemerdekaan saat itu. Total, ada 6 tokoh yang dipatungkan, antara lain Mayjend. Sungkono, R. Sudirman, R. Muhammad, Doel Arnowo, Bung Tomo, Gubernur Soerjo. Mayjend Sungkono adalah komandan BKR kota Surabaya, R. Sudirman adalah kepala karesidenan Surabaya yang ikut berunding dengan Jend.. Mallaby, R. Muhammad adalah mantan perwira PETA yang ikut berundingan dengan Jend Mallaby (Sekutu) di gedung Internatio, Bung Tomo adalah tokoh BPRI (Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia) yang mendirikan radio pemberontakan di Jalan Mawar Surabaya, Doel Arnowo adalah ketua KNI (Komite Nasional Indonesia) Surabaya, sedangkan Soerjo adalah gubernur pertama Surabaya pada tahun 1945 yang menolak kedatangan Sekutu dan ultimatumnya, serta berpidato meminta kepada rakyat Surabaya untuk bertahan sampai titik darah penghabisan.
Selain itu, ada pula 4 senjata rampasan dari Sekutu yang menjadi saksi perlawanan rakyat Surabaya terhadap pendudukan Sekutu periode Oktober – November 1945, 1 panser, 1 meriam dan dua pelontar martir.
Di tengah, tepat di belakang tugu, ada sebuah piramida yang terbangun sebagai tempat untuk pemakaman jenazah para pahlawan yang menjadi korban perang saat itu dan tidak dapat diketahui identitasnya. Untuk masuk ke kompleks pemakaman ini, kita harus masuk dulu ke museum yang ada di sebelah barat tugu. Sayang, aku datang saat museum ini sedang tutup libur nasional (hari raya waisak), jadi kesempatan mengeksplore piramida itu tak dapat kulakukan.
Di sebelah barat, di depan museum ada sebuah batu prasasti yang bertuliskan ” Padamu Generasi, tanpa pertempuran Surabaya, sejarah bangsa dan negara Indonesia akan menjadi lain”. Merinding membacanya. Melihat piramid yang di dalamnya berjajar mayat ratusan (mungkin ribuan) rakyat Surabaya, membayangkan darah rakyat Surabaya yang memerahkan sungai (sehingga memberi inspirasi lahirnnya nama jembatan merah untuk sebuah jembatan yang melintasinya), sungguh aku yakin mengenai kata-kata itu, tanpa perjuangan mereka, mungkin nasib bangsa kita akan lain !
Hmm, lapar.. maka langkahku pun kubawa keluar taman. Di sekeliling taman, banyak pedagang kaki lima yang menggelar dagangan. Menuju ke arah timur, ke depan kantor gubernur jawa Timur, yang semula kuduga adalah hotel Yamato, yang menjadi saksi penyobekan bendera Belanda merah, putih, biru, menjadi merah putih Indonesia. Terakhir, baru kuketahui, bahwa peristiwa itu terjadi di bukan di sana, namun di hotel Majapahit yang terletak di Jalan Tunjungan 65 yang baru kueksplore dua hari sesudahnya. Hehehe, sok tahu ya aku, habisnya bentuknya ga beda-beda jauh si..
Makin laper, berhentilah di PKL yang menjual gorengan. Pilih memilih, akhirnya resoleslah yang kubeli. Lucunya.. tak hanya mendapat resoles, saus dan cabe rawitnya, namun penjual juga menyelipkan juga sebatang kecil daun bawang ke resolesnya. Merasa aneh kutanyakan saja, “Ini buat apaan bu..”. Ohh, ternyata tu buat lalapan. Hohoho, baru tahu saya. Jarang ada yang beginian kalo di Pati..hehehe. Lahap dan kenyang.. maka ada tenaga lagi buat menyusuri jalan tersebut hingga ke ujungnya. Hmm, ada beberapa gedung tua yang masih berdiri dengan megahnya. Bank Mandiri, gedung BI, gedung PELNI dan entah beberapa gedung tua lainnya. Wah, serasa kembali ke masa Belanda. Sayangnya, banyak diantaranya yang keadaannya tidak terawat. (dewi)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H