Mohon tunggu...
Dee Shadow
Dee Shadow Mohon Tunggu... -

Esse est percipi (to be is to be perceived) - George Berkeley

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mencari Legitimasi Polemik

7 Juli 2017   13:06 Diperbarui: 7 Juli 2017   15:12 513
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebuah film pendek berdurasi sekitar 7 menit-an menuai polemik karena dianggap menyudutkan agama tertentu terutama terkait adegan pelarangan untuk menggunakan akses jalan yang sedang ditutup untuk  kegiatan agama tersebut terhadap ambulan yang membawa pasien yang ditampilkan memiliki agama yang berbeda. Pada akhirnya ambulan tersebut mendapatkan akses setelah terjadi dialektika internal  antara pihak-pihak yang  ditampilkan memiliki agama yang sama dengan pengikut agama yang sedang melakukan kegiatan keagamaan tersebut. 

Film ini sebenarnya memiliki pesan yang bagus dan sesuai dengan kondisi terkini.  Pesan yang ingin dibangun oleh film pendek ini kurang lebih adalah hubungan antara agama (keimanan transenden) dengan kemanusiaan (praktek imanen) atau beragama harus menyatu dengan nilai-nilai kemanusiaan.  Sebenarnya sangat disayangkan jika ada ide untuk menyampaikan pesan tersebut yang berarti secara tidak langsung  ada realita dalam  bentuk pandangan pihak luar yang memandang kelompok tertentu  menempatkan agama berseberangan dengan kemanusiaan.

Di sinilah awal mula kritik ini beranjak dengan bekal dua kata kunci tersebut, agama dan kemanusiaan. Agama disini tentu saja adalah entitas yang berada di wilayah perseptual untuk menghindari diri dari kebutuhan akan struktur epistemologi analitik untuk menjelaskan noumena dan kemanusiaan di sini tentu saja kemanusiaan sebagai wujudnya, bukan ide universal yang tidak memiliki legitimasi untuk dibahas karena ketidakadaan wujud. Dan yang terakhir, legitimasi polemik adalah sejauh mana polemik sosial bisa memperoleh legitimasi kewajarannya untuk perkembangan struktur sosial.

Untuk menghindari kekompleksitasan pembahasan, aspek-aspek teologi yang bisa ditemukan di balik "Aku Adalah Kau Yang Lain" sengaja tidak dibahas karena hal tersebut adalah "kebaikan". Sama seperti pilihan untuk tidak menyebut nama agama secara langsung untuk  menjaga keobyektifitasan. Sebagai pedoman kemudahan, ada dua aspek yang akan dibahas untuk melegitimasi polemik ini.

Ada kisah memang ketika simbol-simbol agama digunakan untuk melakukan tindakan yang tidak berperikemanusiaan. Dan tidak disangsikan  lagi bahwa deskripsi historis menunjukkan gambaran-gambaran  bahwa persepsi tentang agama bukan membawa kesejahteraan, tetapi justru kehancuran dalam bentuk konflik sosial yang tidak jarang berujung pada konflik militer dengan kuantitas keterlibatan dan  korban yang mencengangkan. Bahkan apa yang terjadi saat ini pun tidak bisa  dipahami lepas  dari apa yang sudah terjadi. Aspek-aspek kekinian (sinkronik) harus dipahami dengan aspek-aspek warisan yang sudah terjadi (diakronik). 

Tapi untungnya bangsa ini tidak pernah mengalami konflik kemanusian  berskala besar yang berkelanjutan yang dipicu oleh persepsi keagamaan yang melahirkan radikalisme. Bahwa konflik itu ada, memang benar. Bahwa ada ketegangan sosial dalam memaknai perbedaan keimanan memang tidak  bisa dipungkiri. Tetapi menempatkan ketegangan tersebut dalam skala intesitas yang sama dengan apa yang terjadi di  wilayah timur Suriah dan utara Irak, tentunya berlebihan. Bahwa potensi itu ada memang benar karena fakta menunjukkan bahwa ada beberapa individu yang  ikut serta dalam gerakan  pendirian negara agama berbasis trans-nasional.                                                    

Persoalannya  justru terletak pada  upaya untuk menggambarkan potensi itu  dalam wujud kemanusiaan yang berbeda, bukan wujud kemanusiaan yang ada dan berkembang di bangsa ini dan pilihan seperti itu lebih bersifat ketidakpantasan, bukanlah kekeliruan. Adegan pelarangan ambulan melintasi wilayah kegiatan  agama karena mengganggu kegiatan tersebut ditambah dengan ilustrasi bahwa pasien yang di dalamnya beragama lain menjadi kehilangan legitimasi "being there"nya, sedikit meminjam Heidegger, terkait hubungan antara ide yang disampaikan dalam adegan film dengan realita kultur sebagai wujud kemanusiaan yang tidak boleh ditinggalkan sebagai acuannya.

Pandangan seperti ini bisa saja memunculkan wilayah pemaknaan bahwa ada ketakutan dengan alasan yang tidak cukup kuat.  Bukan tidak ada alasannya karena jika meniadakan alasan maka berarti meniadakan potensi, sedangkan fakta menunjukkan potensi itu ada dalam bentuk serangan fisik terhadap properti negara, tempat ibadah agama dan individu-individu tertentu . Penggambarannya saja yang tidak pas atau terlalu berlebihan hanya jika ada kesengajaan  untuk menampilkan karakter yang mewakili komunitas  agama tertentu yang katakanlah non-moderat dengan komunitas agama lainnya yang moderat, yang menjadi dasar terjadinya dialektika internal.  

Selain itu pemisahan non-moderat dan moderat, jika itu yang sengaja ditampilkan, akan menimbulkan tindakan penyederhanaan (reduksionistik) yang tidak pada tempatnya karena reduksionisme sebaiknya digunakan untuk menampilkan aspek-aspek utama yang sama atau berbeda untuk mempermudah memahami subyek, bukan melekatkan atribut pada subyek yang justru membutuhkan penjelasan lebih lanjut.

Tampaknya pembuat film kurang mempertimbangkan hal tersebut sehingga adegan ambulan itu justru  seakan-akan menampilkan kemanusiaan yang tidak "being there", selain juga muncul kritik yang tidak disadari pada kondisi layanan kesehatan nasional (apakah memang di rumah sakit kita ada antrian sepanjang itu untuk keadaan darurat?).  Semoga saja asumsi ini keliru karena sikap seperti itu adalah bentuk kecerobohan.

Berikutnya, bagaimana  jika karakter yang dipersepsikan memiliki persoalan ketidakharmonisan antara keimanan dengan kemanusiaan adalah "oknum"?  Sebagai akibatnya individu yang lain bisa dipersepsikan sebagai "oknum" juga sehingga  film ini akan berdialektika di wilayah individu dan pesan yang muncul adalah pesan-pesan beragama dalam keindividuan seperti yang disampaikan Soren Kierkegaard. Dan dialektika antara agama dan kemanusiaan harus ditempatkan di wilayah ini sebagai bentuk yang paling ideal.

Tentu saja dari sudut pandang ini polemik sosial akan dipahami sebagai dialektika antar individu dan seperti yang bisa dilihat dari sudut pandang Soren Kierkegaard polemik tersebut akan lebih berada di wilayah individu dalam perenungan  yang tidak berujung dengan gairah "mengetahui" yang tidak pernah padam karena atribut keimanan dengan sendirinya, secara analitik, das ding an sich memang pertama kali menampilkan "kesendirian" bukanlah "keriuhan" kolektif  atau pondasi wujud-wujud kolektif  terletak pada pengolahan polemik dalam wilayah individu.

Jadi yang akan muncul adalah polemik dengan sifat yang berbeda dengan tingkat ketegangan yang jauh lebih longgar karena komunitas yang menempatkan persepsi hubungan antara agama dan kemanusiaan dalam wilayah individu akan memunculkan hubungan kolektif  yang  bersumber dari sumber-sumber personal yang sudah melakukan pengolahan dan pengelolaan  kognitif sehingga komunitas akan cenderung memahami karakter-karakter dalam sebuah film tersebut sebagai dinamika  individu.

Tetapi  komunitas yang menampilkan  hubungan antara agama dan kemanusiaan yang berasal dari pencarian pengetahuan secara deduktif dari sumber-sumber kolektif yang legitimasinya bukan dari arah individu-kelompok akan menampilkan  polemik dengan tingkat ketegangan yang lebih kuat sehingga karakter dalam film akan cenderung dipahami sebagai karakter yang mewakili komunitas, bukan individu.

Hal tersebut tampaknya tidak diantisipasi oleh pembuat film.

............Yang terakhir niat baik saja ternyata tidak cukup. Penyampaian yang baik disertai kehati-hatian, kecermatan dan kearifan juga tidak kalah pentingnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun