Mohon tunggu...
Dee Shadow
Dee Shadow Mohon Tunggu... -

Esse est percipi (to be is to be perceived) - George Berkeley

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Apa yang Salah Dari "Warisan" oleh Afi Nihaya Faradisa?: Sebuah Kritik

1 Juni 2017   20:56 Diperbarui: 6 Juli 2017   08:38 1163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa hari terakhir perhatian warganet tertuju pada seorang remaja putri bernama Afi Nihaya Faradisa. Berkat tulisannya di salah satu media sosial berjudul “Warisan”, namanya melejit dan menyita perhatian publik dan sebagai akibat yang tak terelakkan, tulisan ini menjadi kontroversi yang menampilkan peta sosial politik yang mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara kita akhir-akhir ini.

Tulisan ini akan memberikan penelusuran deskriptif untuk menguji legitimasi epistemologi tulisan tersebut dengan mengambil resiko melakukan pembahasan yang terlalu berlebihan terhadap tulisan yang tidak begitu menampilkan struktur yang komprehensif. Tetapi penulis berharap yang terlalu berlebihan tersebut bisa dibawa ke wilayah kepantasan dengan alasan pentingnya kebutuhan untuk menemukan kejelasan dari apa yang disebut sebagai kontroversi dan kritik disini sebaiknya dipahami sebagai analisa kritis untuk membangun struktur kejelasan.

Afi membuka tulisannya dengan menyebutkan fakta bahwa agama atau kehidupan beragama adalah warisan atau sesuatu yang diperoleh dari individu lain. (Kebetulan saya lahir di Indonesia dari pasangan muslim, maka saya beragama Islam. Seandainya saja saya lahir di Swedia atau Israel dari keluarga Kristen atau Yahudi, apakah ada jaminan bahwa hari ini saya memeluk Islam sebagai agama saya? Tidak.) 

Dia juga menyampaikan sifat deterministik dari pengetahuan yang berasal dari pengalaman (posteriori). Di poin ini elemen empirisme yang positifistik terasa sangat kuat. Sebagai premis, pernyataan ini tidak bisa ditolak dalam kerangka berpikir kausalitas. Jika ada A maka muncul B. Tetapi penekanan Afi pada sifat deterministik pada hubungan kausalitas terkesan terlalu berlebihan dengan menegaskan “tidak”. Penekanan potensialitas pada A terlalu berlebihan sehingga B kehilangan wujudnya.

Kewarganegaraan saya warisan, nama saya warisan, dan agama saya juga warisan.” semakin menunjukkan kesan deterministik yang kuat yang mengesampingkan kehendak (free will). Jadi empirisme  Afi  bukan seperti empirisme John Locke dimana kehendaklah yang akan menjadi penentu tulisan di atas kertas putih tabularasa. Dalama empirisme Afi tidak terlihat kausalitas sekunder sebagai syarat wajib dari hubungan kausalitas helenistik karena B sebagai akibat juga memiliki potensialitas untuk memunculkan C. Setidaknya jika anggapan ini keliru, Afi tidak mengelaborasi konstruksi ini.

Setelah itu, kita membela sampai mati segala hal yang bahkan tidak pernah kita putuskan sendiri.” semakin menegaskan anggapan bahwa empirisme Afi melupakan kehendak, sebuah empirisme yang tidak berujung pada semangat yang menyala-nyala untuk terus mencari kebenaran seperti apa yang disampaikan Soren Kierkegaard untuk menjaga semangat wujud. Dalam empirisme ini kita tidak bisa membayangkan apa yang Ibnu Tufyl tulis tentang seorang anak yang terdampar di daerah terpencil, seorang anak yang terus mencari dan akhirnya menemukan kebenaran demonstratif.

Empirisme Afi adalah empirisme deterministik kolektif, sebuah empirisme yang sebenarnya bisa dijelaskan melalui deskripsi teologi yang menciptakan kerangka berpikir kolektif. Elemen-elemen predestinasi atau determinasi yang masih menjadi tema umum dalam konsep teologi yang sekali lagi mengabaikan persyaratan kehendak adalah pembahasan selanjutnya dari deskripsi teologi tersebut yang tidak akan dibahas lebih jauh di sini.

Di sisi lain yang lebih menarik, dari “Saya mengasihani mereka yang bukan muslim, sebab mereka kafir dan matinya masuk neraka. Ternyata, teman saya yang Kristen juga punya anggapan yang sama terhadap agamanya.” sebenarnya bisa dimunculkan pertanyaan kritis tentang institusionalisasi agama, apakah solidaritas kolektif yang muncul karena kesepahaman teologi bisa begitu kuat sehingga tidak ada ruang untuk munculnya kesadaran individu untuk melakukan penilaian kritis atau dengan kata lain apakah kesepahaman teologi tersebut harus tetap dijaga dengan mengorbankan kemampuan individu untuk melakukan penafsiran. Sebuah wilayah yang tidak dijelajahi oleh Afi. Jadi apakah  Afi benar-benar peripatetik, jika atribut itu yang ingin dilekatkan pada Afi?

Afi kemudian menyebut tidak adanya titik temu (di antara doktrin agama) yang bisa diartikan bahwa Afi sendiri tidak sedang berupaya untuk memberikan penjelasan (teodise) yang menampilkan struktur demonstratif analitik. Suatu saat nanti Afi mungkin akan tahu apa itu argumentasi ontologi meskipun ada sedikit keyakinan bahwa seharusnya dia tahu bahwa di berbagai kesempatan. orang mulai membahas pembuktian Tuhan.

Keimanan sebagai sifat inheren dari agama adalah sebuah atribut yang melekat karena sifat transenden dari agama. Tetapi pengabaian upaya intelektual dalam wilayah argumentasi ontologi dan teodise jugalah bukan sifat bijaksana. Setidaknya pengabaian akan pembuktian ontologi seperti itu terlihat dari “mereka juga tidak butuh pembuktian, namanya saja "iman"”. Tentu saja pembuktian tersebut tidak diarahkan pada radikalisme dan pihak-pihak yang melakukan pembuktian itu seperti katakanlah Descartes, Mulla Sadra, Leibniz dan sederet nama lain yang mungkin juga memasukkan Spinoza, bukanlah kelompok yang “radikal”. Tampaknya Afi mencampuradukkan wilayah pembuktian (argumentasi ontologi) dengan radikalisme dan fundamentalisme.

Pada “Latar belakang dari semua perselisihan adalah karena masing-masing warisan mengklaim, "Golonganku adalah yang terbaik karena Tuhan sendiri yang mengatakannya" sebenarnya Afi menyampaikan kritik pada anthropomorfisme, bukan pembuktian (argumentasi ontologi). Anthropomorfisme memang menjadi persoalan teologi yang banyak menuai kritik dan menjadi pekerjaan rumah bagi theis untuk menyelesaikan persoalan sosial yang muncul dari eksklusifitas agama seperti yang dikritik oleh Richard Dawkins.

Kemudian di bagian berikutnya Afi masuk ke pembahasan klasik filsafat tentang ketuhanan.

Pada “Lantas, pertanyaan saya adalah kalau bukan Tuhan, siapa lagi yang menciptakan para Muslim, Yahudi, Nasrani, Buddha, Hindu, bahkan ateis dan memelihara mereka semua sampai hari ini?” dia secara tidak langsung menyampaikan logika yang berada pada teodise bahwa dunia yang diciptakan Tuhan adalah yang terbaik dari semua kemungkinan karena Tuhan adalah sumber kebaikan.

Tetapi pada “Tidak ada yang meragukan kekuasaan Tuhan. Jika Dia mau, Dia bisa saja menjadikan kita semua sama. Serupa. Seagama. Sebangsa. Tapi tidak, kan?” dia bergegas kembali menyeberang ke sisi lain yang menentang teodise dan menekankan kemahakuasaan Tuhan, sebelum kemudian “dengan tergesa-gesa” menyeberang kembali ke sisi lain.

Pembahasan teologi di wilayah ini sangat pelik dan tidak akan disampaikan di sini.

Kemudian Afi seakan-akan melompat dari pembahasan transenden ke wilayah imanen yaitu dengan menyampaikan pentingnya sekulerisme dalam wilayah kehidupan berbangsa dan bernegara dari sebuah bangsa yang plural dalam “Karena itulah yang digunakan negara dalam mengambil kebijakan dalam bidang politik, hukum, atau kemanusiaan bukanlah Alquran, Injil, Tripitaka, Weda, atau kitab suci sebuah agama, melainkan Pancasila, Undang-Undang Dasar '45, dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.

Sekulerisme dan pluralisme adalah hubungan analitik. Pada entitas politik yang plural, maka sekulerisme dengan sendirinya akan muncul sebagai akibat dalam hubungan kausalitas yang tidak bisa mengabaikan potensialitas pada sebab. Dalam tulisan Afi sebenarnya bagian ini sangat berkaitan erat dengan keimanan yang disinggung jauh sebelumnya. Itulah mengapa muncul kesan melompat karena ternyata ide keimanan tersebut justru diikuti dengan problematika transenden untuk wilayah kemahakuasaan Tuhan.

Di bagian berikutnya Afi menjelaskan tentang hubungan agama dengan negara dalam bingkai sekulerisme. Pada “Hanya karena merasa paling benar, umat agama A tidak berhak mengintervensi kebijakan suatu negara yang terdiri dari bermacam keyakinan.” Afi semakin menegaskan sekulerisme atau lebih tepatnya sekulerisme rasional. Tetapi sekulerisme modern sebaiknya tidak dipahami dalam sudut pandang negara yang terpisah dengan agama, tetapi negara berada untuk semua agama. Sebuah negara sekuler yang berdiri dari umat beragama tentu saja merupakan cerminan bagaimana umat beragama menempatkan keyakinan agama mereka dengan sistem politik yang sekuler, bukan meniadakan semangat substansial yang dibawa oleh agama itu sendiri.  

Seandainya Afi konsisten berada di wilayah empiris materialistik, tulisan ini tidak akan menjadi kontroversial. Dari kehebatannya berpikir, mengingat usia dia, dia sebaiknya mulai belajar untuk tidak melompat dari wilayah empiris ke wilayah transenden karena pembahasan keduanya tentu saja lain. Contohnya, ketika Afi masuk ke wilayah transenden, argumentasi kausalitasnya bisa dipatahkan dengan argumentasi okasionalisme yang meniadakan hubungan kausalitas. Tapi apakah Afi dengan usia dia perlu mengetahui argumentasi seperti itu atau apakah status yang ada di media sosial harus melengkapi dirinya dengan detil seperti itu? Sepertinya membalas status Afi dengan tulisan ini di media sosial dengan kulturnya saat ini juga terasa terlalu berlebihan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun