Mohon tunggu...
Dee Shadow
Dee Shadow Mohon Tunggu... -

Esse est percipi (to be is to be perceived) - George Berkeley

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Apa yang Salah Dari "Warisan" oleh Afi Nihaya Faradisa?: Sebuah Kritik

1 Juni 2017   20:56 Diperbarui: 6 Juli 2017   08:38 1163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kemudian di bagian berikutnya Afi masuk ke pembahasan klasik filsafat tentang ketuhanan.

Pada “Lantas, pertanyaan saya adalah kalau bukan Tuhan, siapa lagi yang menciptakan para Muslim, Yahudi, Nasrani, Buddha, Hindu, bahkan ateis dan memelihara mereka semua sampai hari ini?” dia secara tidak langsung menyampaikan logika yang berada pada teodise bahwa dunia yang diciptakan Tuhan adalah yang terbaik dari semua kemungkinan karena Tuhan adalah sumber kebaikan.

Tetapi pada “Tidak ada yang meragukan kekuasaan Tuhan. Jika Dia mau, Dia bisa saja menjadikan kita semua sama. Serupa. Seagama. Sebangsa. Tapi tidak, kan?” dia bergegas kembali menyeberang ke sisi lain yang menentang teodise dan menekankan kemahakuasaan Tuhan, sebelum kemudian “dengan tergesa-gesa” menyeberang kembali ke sisi lain.

Pembahasan teologi di wilayah ini sangat pelik dan tidak akan disampaikan di sini.

Kemudian Afi seakan-akan melompat dari pembahasan transenden ke wilayah imanen yaitu dengan menyampaikan pentingnya sekulerisme dalam wilayah kehidupan berbangsa dan bernegara dari sebuah bangsa yang plural dalam “Karena itulah yang digunakan negara dalam mengambil kebijakan dalam bidang politik, hukum, atau kemanusiaan bukanlah Alquran, Injil, Tripitaka, Weda, atau kitab suci sebuah agama, melainkan Pancasila, Undang-Undang Dasar '45, dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.

Sekulerisme dan pluralisme adalah hubungan analitik. Pada entitas politik yang plural, maka sekulerisme dengan sendirinya akan muncul sebagai akibat dalam hubungan kausalitas yang tidak bisa mengabaikan potensialitas pada sebab. Dalam tulisan Afi sebenarnya bagian ini sangat berkaitan erat dengan keimanan yang disinggung jauh sebelumnya. Itulah mengapa muncul kesan melompat karena ternyata ide keimanan tersebut justru diikuti dengan problematika transenden untuk wilayah kemahakuasaan Tuhan.

Di bagian berikutnya Afi menjelaskan tentang hubungan agama dengan negara dalam bingkai sekulerisme. Pada “Hanya karena merasa paling benar, umat agama A tidak berhak mengintervensi kebijakan suatu negara yang terdiri dari bermacam keyakinan.” Afi semakin menegaskan sekulerisme atau lebih tepatnya sekulerisme rasional. Tetapi sekulerisme modern sebaiknya tidak dipahami dalam sudut pandang negara yang terpisah dengan agama, tetapi negara berada untuk semua agama. Sebuah negara sekuler yang berdiri dari umat beragama tentu saja merupakan cerminan bagaimana umat beragama menempatkan keyakinan agama mereka dengan sistem politik yang sekuler, bukan meniadakan semangat substansial yang dibawa oleh agama itu sendiri.  

Seandainya Afi konsisten berada di wilayah empiris materialistik, tulisan ini tidak akan menjadi kontroversial. Dari kehebatannya berpikir, mengingat usia dia, dia sebaiknya mulai belajar untuk tidak melompat dari wilayah empiris ke wilayah transenden karena pembahasan keduanya tentu saja lain. Contohnya, ketika Afi masuk ke wilayah transenden, argumentasi kausalitasnya bisa dipatahkan dengan argumentasi okasionalisme yang meniadakan hubungan kausalitas. Tapi apakah Afi dengan usia dia perlu mengetahui argumentasi seperti itu atau apakah status yang ada di media sosial harus melengkapi dirinya dengan detil seperti itu? Sepertinya membalas status Afi dengan tulisan ini di media sosial dengan kulturnya saat ini juga terasa terlalu berlebihan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun